Al-Usrah (keluarga) merupakan cikal-bakal
masyarakat dan embrio generasi penerus. Artinya, masyararat dan generasi yang
baik hanya akan terwujud bila setiap keluarga yang ada di dalamnya
mengejewantahkan nilai dan tatanan kebaikan pada kesehariannya. Sebaik apa pun
aturan dan sistem yang disiapkan pada suatu komunitas tanpa adanya bibit-bibit
unggul yang disiapkan oleh madrasah keluarga, maka hanya akan menjadi barang
mati dan tidak berarti sedikit pun. Sebaliknya, bila setiap madrasah keluarga
mampu mendidik-ajarkan nilai dan budi pekerti luhur kepada peserta didiknya,
maka mereka akan mampu merubah bahkan merombak keterbelakangan menjadi
kemajuan, keburukan menjadi kebaikan dan kerendahan menjadi keluhuran.
Dan untuk mewujudkan keluarga yang
berkemampuan mulia tersebut, tentu diperlukan keria sama solid yang saling
mengisi dan melengkapi. Keduanya harus rela hati bersatu padu dan bahu membahu.
Suami tidak akan mampu mewujudkannya tanpa peran serta isteri, demikian pula
isteri, tanpa bantuan dan pertolongan suami.
Dinul Islam telah penuh dengan khazanah dan
sejarah yang dapat dijadikan uswah hasanah di kancah kehidupan ini, tak
terkecuali kehidupan keluarga. Setelah bulan suci Ramadhan yang penuh hikmah,
di hadapan kita kembali disuguhkan bulan yang tidak kalah indahnya, yakni
bulan-bulan haji. Berbicara tentang haji, ingatan kita tertuju kepada pendiri
Baitullah, Nabi Ibrahim as. Dan sebagai keluarga muslim-mukmin sudah sepatutnya
bila perjalanan keluarga Ibrahim as kita jadikan uswah dalam menata-rapikan
tatanan kehidupan rumah tangga.
Mengelola Konflik
Kehidupan dunia bagaikan lautan, terkadang
surut terkadang pasang. Bagikan siang dan malam, terkadang terang-benderang
terkadang gelap-pekat. Itulah sunnatullah yang harus dihadapi dengan lapang
dada dan husnudzdzon kepada-Nya. Pada hakikatnya semua problem amatlah berguna
bagi orang yang memahaminya sebagai tantangan bukan sebagai halangan yang
memutus-asakan. Seorang muslim-mukmin pasti memilih bersikap positive thinking
ketika menghadapi suatu masalah dan menyediakan diri mencari celah dan
memanfaatkannya sebaik mungkin.
Hal itu semata didasarkan pada keyakinannya
bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Alam Nasyrah (94): 4 -5) dan
boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah (2): 216). Dengan demikian seorang
muslim-mukmin pasti menemukan jalan keluar dari berbagai problemnya,
sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar. ” (QS. Ath-Thalaaq (65): 2)
Setiap manusia dalam hidup ini pasti
menghadapi masalah, tak terkecuali para nabi. Bahkan para nabi mendapatkan
ujian terberat. Namun karena kedekatan dan husnudzdzonnya kepada Allah mereka
mampu keluar darinya dengan baik nan cantik.
Nabi Ibrahim as dan ibunda Sarah ra dalam
perjalanan rumah tangganya harus menghadapi kenyataan belum punya keturunan.
Padahal umur keduanya sudah udzur. Menghadapi kenyataan seperti itu keduanya tidak
larut didalamnya, tetapi bermusyawarah guna mencari jalan keluar terbaik. Dan
akhirnya diperoleh permufakatan bahwa Ibunda Sarah memperkenankan Nabi Ibrahim
as menikahi ibunda Hajar ra. Sesiap apa pun Ibunda Sarah ra, tetap saja dia
harus bergelut dengan rasa cemburunya ketika mengetahui bahwa Ibunda Hajar
telah hamil. Untuk membantu memadamkan kecemburuaannya, Nabi Ibrahim as
menjauhkan jarak di antara keduanya dan atas perintah Allah, beliau menempatkan
ibunda Hajar yang waktu itu sudah menimang bayi Ismail di padang Sahara yang
jauh dari manusia dan hanya dibekali sedikit buah kurma dan air. Permasalahan
tidak berhenti di sini, justeru sekarang yang harus mengahapi masalah adalah
ibunda Hajar dengan bayi mungilnya. Namun lagi-lagi keluarga Nabi Ibrahim as
mampu melewatinya. Dengan gigih dan tentu saja bersandarkan kepada Allah,
mencari air tanpa mengenal lelah, berlari ke sana kemari, bolak-bail
Shafa-Marwah hingga akhirnya menemukan sumber air yang kemudian terkenal dengan
sumur Zam-Zam.
Inilah uswah dalam mengelola konflik yang
membuahkan hasil sangat gemilang. Kisah ini nyata dan sepatutnya dijadikan
kenyataan oleh setiap keluarga muslim dalam menghadapi berbagai masalah yang
timbul dan senantiasa akan muncul di dalam kehidupan rumah tangganya, agar
memperoleh dan meraih kesuksesan. Insya Allah.
Sabar, Berupaya Maksimal dan Betawakkal
Dalam hidup ini tidak ada hasil tanpa
didahului dengan upaya dan usaha terlebih dahulu. Dan bahwasanya seorang tidak
memperoleh selain apa yang di usahakannya (QS. An-Najm (53): 39). Namun sebaik
muslim-mukmin yang yakin pasti memahami bahwa pada kenyataannya, hasil tidak
sepenuhnya bisa diramalkan seratus persen. Karenanya, dalam Dinul Islam selain
berupaya dan berusaha bekerja secara maksimal, seseorang juga meniatkannya
untuk mencari ridha Allah SWT (ibadah). Allah-lah yang Mahamengetahui dan
Mahakuasa mendatangkan hasil. Itulah yang diteladankan Ibunda Hajar ra. Dia
menentukan prioritas dan upaya yang jelas, yaitu mencari air, bukan yang lain.
Kemudian ia berlari-lari bolak-balik antara Shafa dan Marwah dalam upaya
maksimalnya mendapatkan air. Namun pada akhirnya air itu diperoleh di dekat
Ka’bah, bukan di Shafa atau Marwah.
Adalah maklum bahwa seharusnya yang menjadi
prioritas ialah terimplemantasikannya ajaran-ajaran luhur dalam kehidupan rumah
tanggah kita. Suami mewujudkannya dalam mencari dan menjalani pekerjaan yang
halal. Bersabar dan berupaya maksimal di dalamnya. Dan tidak lupa senantiasa
menambah keilmuwan diniahnya untuk menunjang taqarubnya kepada Allah.
Sementara itu sang isteri mewujudkannya dalam
pengabdian tulusnya menjaga suasana rumah agar tetap terhiasi dengan aneka
keindahan dan kedamaian yang tidak bertentangan dengan peraturan agama.
Bersama-sama dengan sang suami menjaga dan mengarahkan putera-puterinya agar
senantiasa berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jangan sampai mereka
ikut-ikutan dengan polah tingkah para remaja yang terjerumus dalam propaganda
budaya yang amoral. Mulai dari sikap, tingkah laku, cara berpakaian dan
pergaulan mereka.
Marilah kita meyakini dan meyakinkan kepada
keluarga bahwa kaum muslimin mempunyai dua pusaka (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
yang bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh niscaya kebahagian akan kita
genggam di tangan. Tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Jangan
sampai putera-puteri kita tidak percaya diri dengan jaminan tersebut, sehingga
mereka memilih mengikuti cara dan pandangan hidup orang-orang yang jauh dari
sentuhan keimanan, yang diantaranya ialah berpakaian tidak sesuai dengan aturan
Islam. Jika mau berbusana muslim pun mereka lebih memilih model yang
dicontohkan oleh para selebriti dari pada model yang sesuai dengan jati diri
dan dan citra diri yang islami. Bahkan kalangan yang dianggap mempunyai
pengetahuan agama yang cukup pun (para remaja puteri yang belajar di pesantren
dan lembaga pendidikan Islam), tak mau ketinggalan dalam hal ini. Seakan-akan
mereka khawatir tergolong sebagai kaum yang ketinggalan jaman. Pergaulan bebas
(takhlid) antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi kebiasaan, bahkan
menjadi kebanggaan. Anehnya ada sebagian dari para orang tua merasa bahagia
bila anak-anak perempuannya pandai bergaul dengan teman laki-laki mereka. Dan
merasa khawatir bila mereka terkesan malu dan tidak mempunyai keberanian untuk
melakukan hal itu.
Akibatnya bisa kita saksikan, betapa banyak
pemuda-pemudi (terutama mahasiswa dan mahasiswi) yang terjerumus pada
perzinaan, bahkan tidak sedikit yang merekam perbuatan nista tersebut dengan
kamera elektronik yang sekarang ini mudah diperoleh dan dipergunakan oleh siapa
pun dan untuk apa pun. Mengerikan sekaligus menjijikkan, namun merupakan
kenyataan.
Kenapa semua itu terjadi?. Wallahu A ‘lam.
Tapi menurut hemat penulis, pada dasarnya yang mereka inginkan ialah mencari
dan meraih kebahagiaan. Di sinilah semestinya tugas berat orang tua dalam
artian yang khusus (bapak ibu) dan orang tua dalam artian yang lebih luas
(ulama, pemimpin, cendekiawan, pendidik pengajar dan pengusaha). Para orang tua
tersebut harus mengajarkan dan memberi teladan bahwa bagi orang yang beriman,
bahwa kebahagiaan hanya dapat diraih dengan usaha maksimal disertai tawakkal
dalam menjalani semua perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan sabar
menghadapi segala bentuk godaan dan fitnah yang semakin marak akhir-akhir ini.
Jujur saja, ambil salah satu contoh, dewasa ini kita sangat kesulitan mencari
orang tua yang bisa dijadikan panutan. Sekarang ini kita sulit menentukan
sipakah ulama yang benar-benar ulama. Yang sering kita jumpai ialah orang-orang
yang hanya pandai bersilat lidah namun miskin amal (khuthoba) dan jarang sekali
kita bertemu dengan orang-orang yang berilmu, mengamalkannya dan takut kepada
Allah SWT (ulama).
Jadi, marilah kita tradisi-biasakan
memberikan teladan bekeria keras, berusaha gigih dan berupaya maksimal untuk
kemudian bertawakkal kepada Allah tentang hasil yang akan dicapai, niscaya Allah
akan memberikan hasil yang terbaik kepada kita. Janganlah kita menjadi contoh
yang buruk, yakni mendambakan kesuksesan besar tapi miskin usaha dan upaya dan
lebih memilih jalan pintas daripada jalan lurus yang telah terbukti dapat
membahagiakan semua orang, yaitu jalan Allah dan Rasul-Nya: “Tidak, barang
siapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan,
baginya pahala pada Tuhannya. Tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada
mereka berduka cita. ” (QS. Al-Baqarah (2): 112)
Berdoa
Salah satu amalan penting yang sering
diabaikan oleh sebagian besar kaum muslimin dalam membina rumah tangga ialah
berdoa. Sebagai orang yang beriman seharusnya meyakini bahwa doa adalah salah
satu dari sekian faktor keberhasilan seseorang. Doa adalah sejajar dengan
usaha, bahkan lebih utama. Bahkan Allah telah menyatakan bahwa salah satu satu
sifat ibaadurrrahman (para hamba kekasih Allah) ialah orang yang istiqamah
mendokan istri dan keluarganya, sebagaimana difirmankan-Nya: “Dan orang-orang
yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri yang kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah imam bagi
orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan (25): 74).
Karenanya, dalam rangka menciptakan suasana
rumah tangga idaman sudah saatnya setiap kaum muslimin mentradisikan saling
mendoakan keluarganya; suami mendoakan isteri, isteri mendokan suami, orang tua
mendoakan anak dan tentu saja anak mendoakan orang tua. Doa merupakan pengakuan
tulus akan kekurangan dan keterbatasan seorang hamba dan kesadarannya yang
tinggi terhadap ke-Mahasempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh sangatlah tidak
patut jika kita sebagai makhluk yang lemah nan bodoh ini merasa mampu
mengawasi, melindungi, mengarahkan dan menata keluarga dan enggan untuk memohon
pertolongan kepada Dzat Yang Mahasempurna. Bukankah Khalilullah, Ibrahim as
telah memberikan uswah dengan doa indahnya yang diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim as berdoa:
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah
aku beserta anak-cucuku dari menyembah berhala-herhala. Ya Tuhanku,
sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia,
maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku,
dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Mahamengetahui apa yang kami
sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala
puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan
Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Mahamendengar (memperkenankan) doa. Ya
Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunanlah aku
dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab
(hari kiamat).” (QS. Ibrahim (14): 35-41). Wallahu A ‘lam bishshowab.
Abu Kafa, Ponpes Langitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar