Konflik di Syria telah
memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi ‘berjuang’ di bawah bendera
Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA), kini masing-masing faksi di
dalamnya mulai berpecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA
dibentuk di Turki. Di dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak
menyebutnya ‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan
Al-Arour yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah
satu pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa bila
pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang lalu dberikan ke anjing’.
Kaum muslim ‘moderat’,
dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk bergabung dalam National
Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces yang baru dibentuk
bulan November lalu di Doha, Qatar. Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab
Saudi, AS, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah
membiayai, mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari
berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara terbuka
telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi baru tersebut.
Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan angkat senjata melawan
rezim Assad.
Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak
mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara terbuka
dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia), mengecam
pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain, Gabhat al Nousra,
Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan
diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria.
Meski ‘bercerai-berai’,
kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim
Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun selama ini saling membantu dalam
menciptakan opini publik: betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam
membantai rakyatnya sendiri. Semua ini mengaburkan fakta yang sebenarnya terang
benderang: AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya
dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan
sejarah yang panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan
jihad melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu.
AS dan sekutunya
sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan Libya: dukung kelompok
oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah berusaha mengendalikan
pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan pemerintah menghadapi
pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia bila misalnya,
tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat angkat senjata dan ingin
mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan menyerahkan pemerintahan atas nama
demokrasi?), kelompok oposisi pun berteriak meminta bantuan internasional
(dengan nama indah: ‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO
membombardir Libya. Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh
tokoh-tokoh yang ‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan
eksplorasi minyak diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat.
Inilah yang sedang
terjadi di Syria. Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook
dan twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak
signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu,
terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat
perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal
mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi
karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordan. Demo di Daraa
terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas adalah 7 polisi dan sedikitnya
4 demonstran. Adanya data bahwa polisi tewas dalam demonstrasi itu sangat
penting karena ini menunjukkan bahwa ada tembak-menembak antara polisi dan
demonstran. Artinya, demonstrasi saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim
media massa Barat. Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera)
juga menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga
dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini?
Berbeda dengan kondisi di
Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local memuncak menjadi demo nasional yang
berpusat di ibu kota negara, justru menyusul tragedi di Daraa, muncul demo
besar-besaran yang mendukung Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26
Maret 2011. Kantor berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun,
tidak disebut-sebut dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria
menyiarkannya secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat
massif ini bisa didapatkan di You Tube.
Selanjutnya terjadi
aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat, dengan korban di dua pihak,
polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang disebarluaskan media massa dunia dan
media massa Islam yang berafiliasi dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim
Assad melakukan kebrutalan terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan
jurnalis-jurnalis independen sejak awal, terkait suplai senjata dan pasukan
dari negara-negara Arab, diabaikan begitu saja. Temuan para blogger tentang
rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan media massa juga dianggap sepi,
padahal semua begitu jelas: gambar demo di Tunisia disebut demo di Syria,
gambar demo pendukung Assad, disebut demo anti-Assad, gedung hancur di
Palestina disebut gedung yang hancur di Syria; orang tewas berdarah-darah di
Palestina disebut korban pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan
mujahidin diklaim sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi.
Dan tentu saja, sekali
lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata sedemikian lengkap dan didukung
pasukan jihad multinasional, lalu pemerintah melawan, pastilah ada korban di
kedua pihak. Keduanya harus diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh
media mainstream dan yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak
‘mujahidin’. Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen
journalist yang dengan gigih melakukan pengimbangan berita.
Para pengamat politik
yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa Rezim Assad
berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat sekuler. Rezim Assad
jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan Alawi’. Tapi karena
‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya bermazhab Alawi, isu
Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80% rakyat Syria adalah
Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat. Data-data menunjukkan bahwa
mayoritas anggota militer Syria adalah Sunni, meski elitnya Alawi. Bila
mayoritas mereka memang membenci Assad, sangat mudah menumbangkannya,
sebagaimana tumbangnya para diktator lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak.
Tak perlu ada pasukan asing yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak
perlu mengemis bantuan senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak
perlu berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel.
Dulu, Syah Pahlevi di
Iran, kurang kuat apa secara militer? Militer Iran saat itu yang terkuat di
Timteng, dilatih langsung oleh CIA dan MOSAD, dukungan besar pun diberikan
Barat karena kilang-kilang minyak Iran saat itu dikuasai Inggris dan AS. Tapi
karena mayoritas rakyat Iran, apapun mazhab dan agamanya, memang sudah muak,
mereka bangkit tanpa senjata, hanya berdemo masif berpekan-pekan. Tentu saja,
mereka ditembaki tentara Syah; tapi mereka tidak membalas dengan senjata, dan
tidak pula minta bantuan asing. Akhirnya, Syah pun tumbang, hanya dengan aksi
demo; sebagaimana juga Ben Ali dan Mubarak.
Lalu bagaimana ujung dari
konflik ini? Minimalnya ada dua hal yang bisa diprediksi:
1. Seandainya Assad
terguling dan kelompok jihad meraih kekuasaan, di antara mereka pun akan
muncul peperangan karena perbedaan manhaj; di antara mereka sejak awal
sudah ada perbedaan visi, model pemerintahan Islam seperti apa yang akan
dibentuk? Sejak sekarang pun di antara mereka sudah saling kecam.
2. AS sendiri sedang
ketakutan melihat potensi berdirinya khilafah. Selain telah memasukkan Gabhat
Al Nousra dalam daftar teroris, AS pun mulai berupaya terjun langsung ke
medan perang. Thierry Meyssan melaporkan, AS tengah berencana mengirim 6000
pasukan jihad, termasuk 4000 orang dari Lebanon, lalu beberapa mantan jenderal
angkatan bersenjata pemerintah akan mengklaim berhasil meraih kekuasaan dan
meminta bantuan internasional. Hal ini, ditambah dengan isu penggunaan senjata
kimia oleh Assad akan dijadikan pretext perang yang melibatkan NATO atau
PBB.
Apapun yang akan terjadi
ke depan, yang jelas, mayoritas rakyat Syria kini menderita. Syria, negeri yang
indah dan disebut sebagai the craddle of civilization itu kini
luluh lantak. Lebih setengah juta rakyat hidup menderita di pengungsian. Kaum
perempuan Syria juga jadi korban perdagangan perempuan, dijual ke lelaki-lelaki
hidung belang dari negara-negara Arab pendukung perang. Dan akar semua ini
adalah ketidakmampuan sebagian elemen Syria mengidentifikasi siapa musuh
mereka sebenarnya. Mereka merasa sedang berjuang, padahal sebenarnya
sedang menari bersama iringan genderang musuh.
Dina Y. Sulaeman, magister Hubungan Internasional
Universitas Padjadjaran, Reserch Associate of Global Future Institute
http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/12/17/terungkapnya-jati-diri-para-aktor-di-syria/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar