Pernah suatu ketika, Gubernur Azerbaijan Utbah bin Farqad mengirimkan hadiah manisan untuk Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Manisan ini dibawa oleh utusan Gubernur. Setelah dicicipi, Umar menyatakan rasanya enak.
Lalu, ia bertanya,’’Apakah semua rakyatmu di sana menikmati makanan yang sama seperti ini?'' Utusan itu menjawab, “Tidak. Itu adalah makanan orang-orang tertentu.” Mendengar hal tersebut, Umar pun langsung menutup kembali wadah makanan itu.
Umar memerintahkan utusan tersebut untuk kembali ke Azerbaijan dan menegaskan, ’’Kirimkan salamku kepada Utbah, katakan kepadanya, takutlah kepada Allah, kenyangkanlah rakyatmu dengan makanan yang membuatmu kenyang.”
Demikianlah cuplikan ketegasan dan kepekaan Umar saat mengemban amanat sebagai pemimpin kaum Muslimin. Betapa responsif dirinya melihat sesuatu yang tidak pantas di matanya. Padahal bagi kebanyakan orang, hal itu sangat biasa atau lumrah adanya.
Rasa empati menantu Rasulullah itu luar biasa. Sesungguhnya Umar telah menyisakan warisan keteladanan yang sangat berharga bagi siapapun yang didaulat sebagai pemimpin.
Sebagai pimpinan tertinggi, ia bersama para gubernurnya berhasil memelopori kesalihan struktural dan fungsional dalam masyarakat. Tidak ada yang memungkiri, masa lalu Umar sebelum memperoleh hidayah sangat kelam.
Namun setelah memeluk Islam, ia berubah total. Mulai saat itu, Umar selalu mendukung perjuangan Rasulullah Semua itu demi menebus kejahiliyahan pada masa lalu. Begitu pula setelah menjadi Amirul Mukminin, semakin besar pula takwanya kepada Sang Pencipta.
Umar menetapkan aturan ketat bagi para gubernurnya. Mereka harus hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Iman dan akhlak harus jadi penopang kepemimpinan. Bukan sekadar sensasi atau basa-basi namun dalam bentuk aksi nyata.
Apa yang dicontohkan Umar ribuan tahun lalu itu, hari ini seperti perkara tabu di kalangan pemangku jabatan di negeri kita. Para pejabat dan pemimpin kita seolah hidup untuk diri, keluarganya, atau golongannya saja.
Mereka tidak peduli, rakyat bawah sudah makan enak atau tidak. Sudah tidur nyenyak atau tidak. Betapa pekanya hati Khalifah Umar itu sehingga ia menahan diri meski pada makanan yang halal. Apalagi untuk sesuatu yang haram.
Banyak pejabat hari ini tidak kenal dengan perkara halal, haram, apalagi syubhat. Semua fasilitas dan kemewahan hidup mereka anggap sebagai anugerah yang harus dinikmati. Namun yakinilah, kisah keteladanan Umar di atas bukan mustahil nyata kembali.
Keteladanan itu memang harus dipelopori terutama oleh para atasan. Inilah cara yang paling efektif untuk mengubah keadaan rakyat menjadi lebih baik.
Manusia tergantung kebiasaan pemimpinnya. Tidak bisa dengan pencitraan, sensasi, apalagi berpura-pura. Keteladaan itu harus ikhlas, apa adanya, dan lahir dari hati terdalam.
Oleh: Habib
Ziadi
Jika di negeri ini pemimpin-pemimpin kita mempunyai komitment seperti itu alangkah makmurnya Indonesiaku
BalasHapus