“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘’Bukankah aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi\". Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’’ (QS Al-A’raf: 172)
Saat menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadis sahihain (Bukhari dan Muslim) yang menyatakan, “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), yakni beragama (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.’’
Lebih lanjut, Ibnu Katsir menegaskan, melalui ayat ini, Allah SWT menginformasikan kepada manusia, ketika mereka berada di alam ruh (rahim), Allah telah mengikat mereka dengan sebuah persaksian. Yakni Allah adalah Tuhan mereka, tidak ada tuhan selain Dia.
Hal ini bertujuan agar kelak manusia tidak mengatakan mereka lalai mengenai persaksian ini. Ironisnya, setelah manusia lahir ke muka bumi, tumbuh dari kanak-kanak menjadi remaja, dewasa sampai meninggal dunia, banyak yang justru melupakan perjanjian itu.
Perjalanan hidup anak manusia diwarnai beragam peristiwa, baik yang menghadirkan suka maupun yang meninggalkan duka. Warna-warni kehidupan tersebut pada gilirannya akan membentuk pribadi setiap manusia.
Ada orang yang sebagian besar hidupnya diwarnai penderitaan dan kekecewaan, tetapi justru semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Hingga akhirnya Allah pun melimpahkan karunia berupa kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
Di sisi lain, ada pula orang yang sebagian besar hidupnya diliputi kesenangan, materi berlimpah tetapi justru menjauhkan dirinya dari Allah. Pada akhirnya, berujung dengan dihilangkannya segala kenikmatan dan kesenangan hidup yang pernah dialaminya.
Pada hakikatnya, jika kita mengingat perjanjian yang pernah kita ikrarkan dan sepakati dengan Allah, maka hidup kita akan senantiasa berada di jalan yang benar dan diridhai Allah. Tetapi jika kita melupakannya, sangat mungkin melenceng jauh dari jalan kebenaran.
Janji dengan Tuhan adalah janji tauhid, janji untuk terus mengesakan-Nya, janji untuk selalu berada di jalan-Nya. Jika janji tersebut kita pegang teguh, Tuhan pun terus menuntun kita tetap berada di jalan-Nya.
Tetapi jika kita mengingkarinya, Dia pun akan memalingkan wajah-Nya dari kita. Tuhan sesuai persangkaan kita kepada-Nya. Jika kita mengingat-Nya dalam diri kita, Dia pun akan mengingat kita dalam diri-Nya. Demikian disebutkan dalam sebuah hadis qudsi.
Betapa banyak di antara kita atau mungkin diri kita sendiri yang sering melupakan Tuhan. Tuhan hanya kita tempatkan di masjid, mushala, tempat-tempat ibadah, majelis taklim serta majelis dzikir. Tapi, saat kita di kantor, pasar, tempat kerja, dan jalan, kita tinggalkan Tuhan.
Kita tak sertakan Dia dalam aktivitas keseharian. Maka, yang terjadi adalah munculnya manusia-manusia berkepribadian ganda. Di satu sisi mereka kelihatan khusyuk ketika beribadah, di sisi lain mereka juga gemar korupsi dan curang dalam berdagang.
Perilaku mereka sehari-hari seringkali tidak mencerminkan ibadah yang mereka lakukan. Mereka tidak risih dan tanpa malu lagi berselingkuh, berzina, meganiaya, bahkan membunuh. Inilah bukti nyata manusia sering melupakan Tuhannya.
Mereka melalaikan janji sucinya dengan Tuhan untuk menjadi hamba-Nya yang saleh. Mari kita kembali mengingat perjanjian dengan Tuhan, kemudian kita penuhi janji tersebut. Dengan demikia, kita mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Oleh: Didi Junaedi
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/20/n2pokt-perjanjian-dengan-tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar