Kamis, 30 September 2010

Manusia yang Beruntung

Dalam bahasa Arab, kata al-falaah berasal dari al-falh yang artinya petani. Sedangkan falaha maknanya menunjukkan pada aktivitas yang dilakukan petani, yaitu mencangkul, menggali tanah, atau membuat lubang di tanah untuk menyimpan benih. Menurut ahli bahasa Arab maknanya sama dengan al-syaqq, yaitu membelah. (Shafwah Al-Tafaasiir [1])

Kata muflih, diterjemahkan dengan orang-orang beruntung atau memperoleh apa yang dimohon, adalah karena melihat proses yang biasa dilakukan oleh petani, di antaranya menyiram dan memberi pupuk. Pekerjaan ini biasanya dilakukan terus-menerus sehingga untuk sampai kepada waktu panen membutuhkan waktu yang cukup lama.

Selain itu, bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud al-muflih adalah orang yang berusaha secara konsisten menanam benih amal saleh di dunia, kemudian menjaga dan menyuburkannya sehingga dia memperoleh hasilnya di akhirat nanti, yaitu mendapatkan surga dan selamat dari neraka.

Lawan dari kata al-falh adalah al-kuffar. Maknanya juga petani, tetapi dalam aktivitas yang lain. Menurut ahli bahasa, kata al-kuffar maknanya adalah al-ghithaa' yang berarti menutup, yakni menimbun benih dengan tanah. Berdasarkan uraian ini, bisa disimpulkan bahwa aktivitas al-falh dan al-kuffar merupakan dua aktivitas yang berlawanan, yaitu pertama menggali lubang dan yang kedua menutup lubang.

Karena itu, orang yang muflih adalah orang yang senantiasa membuka pintu rahmat Allah SWT. Apa pun yang dikerjakannya semata-mata untuk mencari karunia dan rahmat Allah SWT. Maka, apabila karakter muflih ini bersemayam pada diri seorang pemimpin, niscaya ia akan menggunakan kemampuannya untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan setiap masalah. Dalam persoalan bangsa, ia akan menggunakan potensinya untuk mewujudkan negeri yang aman dan diridai oleh Allah SWT.

Karena itu, yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan kemampuannya untuk perbaikan, bukan manusia-manusia yang hanya memikirkan kekuasaan, kekayaan, jabatan, atau popularitas. Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Itulah manusia yang muflih (beruntung), yaitu mereka yang beriman kepada Allah, Alquran, hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Mereka adalah orang yang senantiasa menggali potensi untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan, bukan menciptakan kemungkaran dan kerusakan. Wallahu A'lam

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/09/28/136851-manusia-yang-beruntung

Mata Hati yang Tajam

Syekh Atha' as-Silmi dikenal sebagai guru mengaji yang tulus. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang yang pandai menenun pakaian. Sekali dalam seminggu, ia membawa hasil tenunannya ke pasar untuk dijual. Syekh Atha' as-Silmi sangat yakin bahwa tenunannya sangat apik dan tak ada cacat.

Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar, kalimat tasbih dan tahmid mengiringi hembusan-hembusan napasnya. Tiba-tiba, ada seseorang yang mendekat dan melihat-lihat pakaian tenunannya. Orang tersebut adalah seorang penjahit. Kemudian, orang itu berkata, "Baju ini cukup bagus. Namun sayang, ada cacatnya, ini, ini, dan ini."

Dengan tanpa kata, Syekh Atha' menyahut pakaiannya dari tangan orang itu. Kemudian, dia duduk dan menangis terisak-isak. Orang itu bingung melihat Syekh Atha' menangis. Namun, penyesalan tampak di wajahnya atas apa yang diucapkan. Dia meminta maaf bila ucapan tadi melukai hati. Dan, dia mau membeli tenunan itu berapa pun harganya.

Kemudian, Syekh Atha' berkata, "Sebab yang menyebabkan aku menangis bukan seperti yang kamu kira. Aku telah bersungguh-sungguh menenun baju ini. Tenunan baju ini tidak seperti baju-baju lain yang telah aku buat. Aku membuatnya lebih halus, lalu kemudian aku tambahkan keindahan di dalamnya. Setelah itu, aku periksa dengan amat teliti untuk memastikan tidak ada cacat di dalamnya.

Tapi, ketika hasil tenunanku ini diperiksa oleh manusia, terlihat ada cacat di bagian yang mana aku tidak menyadarinya. Lalu, bagaimana nanti dengan amal-amal perbuatan kita tatkala diperiksa oleh Allah, Zat yang Maha Tahu di Hari Kiamat nanti? Berapa banyak cacat dan dosa yang akan tampak dari amal ibadah kita, dan itu yang tidak kita sadari!"

Kisah di atas menggambarkan bahwa orang yang bertakwa, sangat sensitif dalam keimanan. Apa yang terjadi di hadapannya langsung mengetuk hatinya untuk ingat terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka sangat takut akan segala kekurangan ibadah kepada Allah. Mereka sangat sedih bila amal ibadah yang dikerjakannya selama ini terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan. Hal itu, dapat menyebabkan berkurangnya pahala atau bahkan tertolaknya amalan yang dikerjakan. Jika itu terjadi, niscaya sia-sialah amal ibadahnya.

Imam Ibnu Jauzi menuturkan, "Ketakwaan dan keimanan akan mempertajam mata hati pelakunya. Apa pun peristiwa yang terjadi di sekitar, ia akan dapat mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Panasnya musim kemarau mengingatkan pada api neraka, gelapnya malam mengingatkan gelap gulitanya alam kubur, hawa sejuk dan indahnya musim semi mengilhami untuk mencari rezeki yang halal."

Ketajaman mata hati hanya dapat diasah dengan taqarrub, mujahadah, dan bertawakal kepada Allah. Maka, tidak heran jika ada beberapa alim ulama yang mampu menguak rahasia di balik peristiwa karena mereka memiliki mata hati yang tajam.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/09/29/137081-mata-hati-yang-tajam

Memberikan yang Terbaik

Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa baru dinamakan berbuat kebajikan bila mereka dengan rela memberikan nafkah yang paling dicintainya kepada orang yang membutuhkan.

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS Ali Imran [3]: 92).

Pada zaman dulu, di Yatsrib (Madinah, sekarang), kaum Anshar telah lama menanti kedatangan kaum Muhajirin, saudara seiman mereka yang berasal dari Makkah. Ketika Muhajirin benar-benar tiba, kaum Anshar sangat senang. Mereka pun menjamu saudara seiman ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang Anshar berkata kepada seorang Muhajirin. "Ini adalah kekayaanku; ambillah separuh. Dan ini adalah dua istriku; lihatlah mana yang lebih menyenangkanmu dan katakan kepadaku, maka aku akan menceraikannya dan ia akan menjadi istrimu setelah ia menyelesaikan idahnya."

Orang Muhajirin ini membalas kebaikan Anshar ini suatu jawaban yang lebih baik. Ia berkata: "Semoga Allah memberi rahmat atas kekayaan dan istrimu kepadamu. Aku tidak memerlukan mereka. Tolong, tunjukkan kepadaku di mana pasar yang aku dapat bekerja."

Dalam riwayat lain, seorang Anshar memberikan ucapan selamat datang kepada orang Muhajirin dan menganggapnya sebagai tamu. Ia pun berusaha menjamu tamunya ini dengan baik. Sayangnya, ia tidak memiliki makanan yang cukup. Namun, sebagai rasa sayangnya, ia memerintahkan istrinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada tamunya.

"Bawa anak-anak ke tempat tidur dan matikan lampu lalu sediakan apa yang engkau punya untuk tamu kita. Kita akan duduk dengannya di meja dan membuatnya berpikir bahwa kita makan meskipun kita tidak makan."

Maka, mereka duduk bersama sambil melayani tamunya. Si tamu ini pun makan dengan lahapnya, sementara tuan rumah terpaksa menahan lapar sepanjang malam. Pada pagi berikutnya, seorang Anshar pergi kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata kepada beliau atas apa yang terjadi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Allah meridai atas apa yang engkau lakukan untuk tamumu malam ini." (Muttafaqun alaih).

Orang-orang Muhajirin sangat bergembira atas sambutan yang baik dari kaum Anshar. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad SAW. "Ya, Rasulullah, kami tidak pernah melihat sesuatu pun seperti orang-orang ini. Jika memiliki sedikit (harta), mereka tetap memberikan bantuan. Dan jika kaya, mereka sangat murah hati. Mereka membantu dan membagi harta mereka dengan kami sehingga kami khawatir bahwa mereka akan menerima semua pahala." Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak, selama engkau menghormati (menyanjung) mereka dan berdoa kepada Allah untuk mereka." (HR Bukhari, Ahmad, Abud Dawud, Tirmidzi, dan Nasai).

Alangkah indah dan mulianya akhlak orang-orang Anshar. Mereka merelakan harta yang dimiliki untuk saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mereka rela kelaparan demi menghormati saudaranya yang kekurangan. Semoga kita bisa mengambil teladan dari akhlak mulia sahabat Anshar ini. Wallahu A'lam.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/09/30/137334-memberikan-yang-terbaik

Minggu, 26 September 2010

Olahraga Bikin Masa Tua Lebih Bahagia


Kesehatan merupakan harta berharga bagi kaum lansia. Karena itu menurunnya kemampuan fisik seharusnya bukan halangan bagi warga senior atau orang lanjut usia untuk hidup sehat. Dan hal itu bisa dicapai dengan terus melakukan aktivitas fisik.

Ada banyak alasan mengapa para lansia tidak mau atau malas memulai olahraga. Selain berkurangnya stamina, banyak lansia yang mengaku takut jatuh jika melakukan aktivitas fisik. "Seiring usia, ada banyak hal yang mengganggu keseimbangan tubuh. Bagi kebanyakan orang hal ini menakutkan sehingga banyak orang tua yang takut berolahraga," kata Amy Ashmore, juru bicara American Council on Exercise.

Alasan lain yang sering menjadi hambatan untuk melakukan olah tubuh adalah merasa tidak cocok dengan pakaian olahraga yang ada. "Mereka pikir olahraga harus menggunakan pakaian elastis berbahan lycra," kata Dr.William Hall, direktur Center for Healthy Aging, AS.

Berbagai penelitian telah menunjukkan tidak ada kata terlambat untuk berolahraga. Bahkan pada orang tua, manfaat olahraga juga akan dirasakan.

Gaya hidup aktif terbukti mengurangi risiko penyakit jantung dan membantu menjaga berat badan yang sehat. Selain itu, olah tubuh juga terbukti mampu mengatasi gangguan kesehatan yang sering diderita para lansia, seperti rematik, sendi kaku, atau diabetes.

Saat ini pun banyak pilihan jenis olahraga yang bisa disesuaikan dengan kemampuan fisik kaum lansia. Selain olahraga senam, para lansia juga bisa melakukan kegiatan jogging, berjalan kaki, berenang, atau bersepeda. Yang penting, terus aktif dan bugar.

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/22/07215989/Olahraga.Bikin.Masa.Tua.Lebih.Bahagia

Tetap Sehat dan Produktif di Usia Tua


Menjadi tua memang tidak bisa dicegah. Meski begitu, banyak orang tidak siap memasuki usia lanjut. Bagi mereka, masa tua bak momok yang menakutkan, karena khawatir tidak bisa lagi melakukan hal produktif dan berguna.

Maklum saja, saat usia memasuki senja, banyak organ tubuh mulai mengalami penurunan fungsi. Misalnya mata menjadi rabun, tubuh cepat lelah, serta daya ingat turun alias pikun. Tubuh pun menjadi gampang sakit-sakitan.

Bila ini terjadi, tentu bakal menguras keuangan. Inilah yang membuat orang cemas masa tuanya hanya akan merepotkan beban keluarga.

Padahal, tak selamanya saat usia bertambah senja, kesehatan kerap mengganggu. Banyak juga kok, orang lanjut usia (lansia) yang tetap fit, produktif, berguna dan mandiri.

Nah, hidup sehat di masa tua ini bisa diusahakan. Salah satu caranya. menerapkan gaya hidup sehat sejak muda.

Djoko Maryono, Dokter Spesialis Internis dan Kardiologis Rumah Sakit Pusat Pertamina, menjelaskan, ada dua hal yang membuat lansia gampang jatuh sakit. "Itu disebabkan penuaan sel tubuh dan akumulasi gaya hidup ketika muda," katanya.

Gaya hidup tidak sehat bisa mempercepat terjadinya penuaan sel-sel tubuh. Gaya hidup itu mencakup pengaturan pola makan, ditambah dengan olahraga dan istirahat cukup. Jika gaya hidup selagi much tidak teratur, maka proses kerusakan sel di usia tua lebah cepat terjadi.

Sebab, pola makan dan gaya hidup tidak sehat itu bisa memicu radikal bebas masuk ke dalam tubuh. "Radikal bebas ini menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel," kata Djoko.

Semakin banyak radikal bebas masuk ke dalam tubuh, akan semakin banyak sel yang mengalami kerusakan.

Rimbawan, Dokter dari Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor menjelaskan, radikal bebas adalah molekul yang berdiri sendiri dan sifatnya merusak sel-sel lain dalam tubuh.

Radikal bebas mudah sekali ditemukan di sekitar kita. Mulai dari makanan yang digoreng dengan tidak sehat, polusi udara, rokok, hingga polusi elektromagnetik. "Semua ini memendekkan hidup sel," kata Rimbawan.

Antioksidan
Untuk menahan serangan radikal bebas, diperlukan antioksidan. Antioksidan akan melindungi sel dengan menangkap radikal bebas, sehingga molekul yang tadinya berbahaya tidak mengancam sel-sel dalam tubuh lagi.

Antioksidan ini bisa diperoleh dari makanan yang sehat seperti sayuran dan buah-buahan. Selain itu, antioksidan bisa didapatkan dari produk lebah dan lidah buaya. Namun, tidak semua orang bisa memenuhi kebutuhan antioksidannya. Maklumlah, gaya hidup masa kini semakin menjauhkan orang dari pola makan sehat. Kalau tidak bisa dipenuhi dari asupan makanan, kita bisa mendapatkan antioksidan dari suplemen makanan.

Selain lansia, suplemen tambahan ini baik juga dikonsumsi anak-anak, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur, dan perokok. Selain itu, orang yang terkena infeksi dan stres oksidatif juga disarankan mengonsumsi suplemen antioksidan ini.

Djoko mengingatkan, seseorang sebaiknya mengonsumsi antioksidan sejak masa produktif. Tujuannya, untuk menjaga kebugaran sel dan organ tubuh hingga tua.

Suplemen makanan untuk lansia bisa dikonsumsi oleh seseorang yang memasuki usia 40 tahun. Namun, jika diperlukan, usia 35 tahun juga sudah bisa mengonsumsi suplemen ini.

Suplemen makanan ini juga diperlukan oleh orang tua. Soalnya, fungsi organ tubuh pada lansia menurun mulai, dari fungsi sel, hormonal dan pencernaan. Alhasil, makanan yang dikonsumsi lansia tidak dapat terserap dengan baik oleh tubuh.

Penurunan fungsi organ ini juga membuat lansia tidak bisa mengonsumsi makanan terlalu banyak. Lagi pula, para lansia memang disarankan untuk mengurangi porsi makannya. Sebab, asupan makanan yang berlebih justru akan memboroskan penuaan sel. "Prinsipnya gizi yang cukup dan tidak berlebihan," kata Djoko.

Karena makanan yang masuk ke dalam tubuh terbatas, tentu asupan gizinya juga terbatas. Padahal, saat memasuki usia lanjut, orang tentu membutuhkan gizi sebanyak mungkin untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuhnya.

Untuk mengatasinya, para lansia perlu mengkonsumsi suplemen makanan. Suplemen makanan yang dikonsumsi sebaiknya mengandung vitamin C. "Vitamin C akan membantu menyerap vitamin dan mineral lain yang dibutuhkan tubuh," kata Djoko.

Untuk lansia, suplemen ini sebaiknya dilengkapi juga dengan mineral lain, seperti vitamin B kompleks, vitamin D,omega 3 atau ginko biloba. Vitamin B kompleks berguna meningkatkan kekebalan tubuh. Sementara vitamin D berfungsi sebagai tambahan kalsium untuk kesehatan tulang. Ada pun omega 3 untuk kesehatan jantung, dan ginko biloba menutrisi otak dan mencegah kepikunan.

Sebaiknya lansia mengonsumsi suplemen yang berdosis rendah sehingga aman dikonsumsi setiap hari. "Dosis kecil aman karena fungsi penyerapan orang tua lebih rendah dibandingkan orang muda,"

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/20/10412129/Tetap.Sehat.dan.Produktif.di.Usia.Tua

Sabtu, 25 September 2010

Bergunjing Sampai Mati

Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Arthur Schopenhauer, filsuf yang menjadi inspirator Nietzsche, sering makan malam di sebuah hotel di Frankfurt yang sering dipenuhi tentara Inggris. Setiap sebelum makan, dia akan menaruh sekeping koin emas di meja, dan selesai makan, dia akan mengambil dan memasukan koin itu ke saku. Kebiasaan aneh tersebut menggelitik seorang pelayan untuk menanyakannya. Schopenhauer menjelaskan bahwa dia membuat sedikit taruhan dengan dirinya sendiri: bila tentara-tentara Inggris tersebut berbicara apa pun selain kuda, anjing, dan perempuan, maka Schopenhauer akan memasukkan koin tersebut ke kotak amal.

BEGITULAH dunia keseharian manusia. Inilah yang merangsang Martin Heidegger sehingga memikirkan ihwal proses kejatuhan manusia secara eksistensial: terperangkapnya manusia ke dalam dunia umum atau dunia keseharian yang bersifat common-sense.

Dalam dunia kesehariannya, manusia dikelilingi dengan gunjingan. Gunjingan yang dimaksud bukan semata terbatas pada gosip yang mengumbar aib orang lain. Gunjingan di sini adalah berbagai perbincangan yang tidak substantif, tak mendasar, banal, minim refleksi, tak memiliki daya untuk merangsang membangun ruang penghayatan dan pengayaan diri sendiri, serta mengondisikan manusia dalam rantai rasa ingin tahu yang tak pernah berhenti terhadap berbagai fenomena yang dangkal.

Gunjingan Sosial dan Agama

Pergunjingan merupakan bagian dari kehidupan sosial manusia. Dalam kesehariannya manusia saling berbicara tentang berbagai hal ringan, sekadar berbasa-basi dan bertukar canda. Hal itu memiliki dampak positif sangat besar bagi kehangatan dan keakraban dalam interaksi personal dan sosial manusia. Namun, segala sesuatu yang berlebihan pasti akan menjadi eksesif dan berdampak negatif, termasuk kesemua bentuk percakapan di atas.

Salah satu percakapan eksesif adalah bergunjing dalam pengertian membuka dan menyebarkan aib orang lain. Meski lelaki pun suka bergunjing, namun perempuanlah yang paling sering diidentikan dengan pergunjingan seperti ini. Dalam pergunjingan jenis ini, tersirat hasrat dan kepuasan ketika bisa menelanjangi aib kehidupan orang lain, termasuk menikmati kehancuran orang lain dalam interaksi sosial. Umumnya agama mengutuk tabiat bergunjing ini. Di masa ini, kita kadang menyebutnya dengan ‘pembunuhan karakter’.

Dalam khazanah Islam, Imam Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, pernah berkata,

“Lidah itu laksana seekor binatang buas, bila dilepaskan pasti membunuh.”

Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa mukmin yang bergunjing itu seperti memakan daging saudaranya sendiri. Dalam kata-kata manusia sekapasitas beliau, ini bukanlah semata sebuah ibarat. Pernah diriwayatkan, telah sampai kepada Rasulullah saw kabar seorang perempuan yang bergunjing. Beliau memanggil perempuan itu dan memerintahkannya memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Maka tunduklah segenap mikrokosmos dalam diri si perempuan pada perintah Rasulullah, sehingga keluarlah segumpal daging mentah dari tenggorokannya.

Pada kalangan sufi, hal ini semakin dipertegas dengan penjelasan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia sejak dari mauthin barzakh (atau awam menyebutnya sebagai alam kubur) hingga mauthin-mauthin berikutnya, sesungguhnya hanya merupakan manifestasi kongkrit berbagai hal yang, ketika di mauthin dunia, hanya dianggap sebagai konsep atau perkara abstrak belaka. Misalnya, Al-Quran yang sering dibaca seseorang mewujud menjadi lelaki tampan yang mengawalnya, atau berbagai sifat dan amal buruk seseorang mewujud menjadi sosok mengerikan yang memangsanya, dan demikian seterusnya.

Bahkan Rasullulah saw pernah menjelaskan kepada Mu’adz bin Jabal maksud QS An-Nâzi’ât [79] : 1-2, yaitu tentang penggambaran bahwa di mauthin akhirat, kelak azab neraka bagi seorang penggunjing adalah dicabik-cabik oleh anjing-anjing Jahanam. Cara dicabik-cabiknya, entah secara kasar atau pelan, bergantung kepada cara bergunjingnya: apakah secara vulgar atau halus berupa sindiran. Sedikit banyak, paparan bahwa isyarat-isyarat seperti ini bukanlah semata kiasan memang terasa asing bagi yang sudah terlalu terbiasa berpikir dengan logika abstrak modern beserta pandangan realitas non-hierarkisnya.

Di komunitas keagamaan, gunjingan biasanya terjadi dengan didahului apologi untuk (bergaya) mengambil hikmah. Namun, seringkali batasnya menjadi samar dan berekses sama: membunuh karakter. Karenanya, dengan tajam sekaligus akurat, Imam Ali bin Abi Thalib menandaskan,

“Pergunjingan adalah puncak kemampuan orang yang lemah.” (Ali bin Abi Thalib r.a.)

Salah satu penyebab suburnya pergunjingan jenis ini dalam interaksi sosial adalah ekses dari pikiran menganggur yang tak mendapat “makanan” atau ”pekerjaan” yang tepat. Misalnya, ibu rumah tangga yang kesehariannya memang disibukan dengan urusan pekerjaan rumah. Namun sayangnya, seringkali yang letih hanyalah fisiknya; sementara pikirannya belum cukup terpenuhi hak kerjanya. Akibatnya, interaksi antar perempuan sering mengondisikan mereka untuk saling menjejali “makanan” maupun ”pekerjaan pikiran” berupa gunjingan remeh-temeh dan aib orang lain, akibat dari kelebihan energi pikirannya hari itu yang belum habis dipakai untuk bekerja (baca: beramal).

Agama, dalam hal memenuhi hak pikiran, umumnya menyarankan manusia untuk berefleksi ihwal dirinya sendiri: rahasia besar misi hidup personal yang diamanahkan Tuhan; maupun juga ihwal kehidupan, alam semesta dan sebagainya, yang —tentu saja— tidak melulu harus dipikirkan melalui metode filsafat atau teori ilmiah.

Gunjingan Media

Abad-abad terakhir ini muncul sesuatu yang disebut oleh Walter J. Ong sebagai kelisanan sekunder melalui media elektronik seperti telepon (genggam), radio, televisi dan internet. Pada masa dominasi media cetak berlaku slogan “man make news”, namun pada masa dominasi media audio visual seperti saat ini yang berlaku adalah slogan “image make news”. Pergunjingan pun menjadi lebih canggih melalui pengolahan citra, yaitu sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.

Citra ini juga terkait erat dengan hasrat untuk menjadi populer. Meski hasrat seperti ini sudah ada sejak awal keberadaan manusia, kini hasrat tersebut difasilitasi media, misalnya melalui reality show “pencari bakat”. Para mahasiswa, misalnya, tidak lagi berkumpul untuk berdiskusi atau berjuang membela masyarakat kecil, tapi berbaris panjang untuk mengikuti audisi. Bahkan orang dari desa terpencil pun bersedia mengorbankan apa saja untuk mengikuti audisi tersebut (bahkan hingga terlilit hutang kepada lintah darat).

Menjadi ’populer’ diilusikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan, atau mencapai kesuksesan dengan cepat. Maka televisi pun diramaikan oleh acara semacam itu. Namun ironisnya, seringkali hasil akhirnya tidak sesuai dengan tema awalnya. Misalnya, pemenang reality show menyanyi bukanlah orang yang bersuara paling bagus, tetapi yang kisah hidupnya paling memilukan penonton. Hal ini merupakan indikasi terlalu mudahnya penonton untuk larut dalam pergunjingan, baik ke dalam dirinya sendiri maupun ke luar dirinya, mengenai hal-hal yang di luar konteks kemampuan menyanyi para kontestannya.

Bukan hanya itu. Kini, cukup dengan berpacaran dengan pesohor atau tampil sekali dua kali di sebuah sinetron, bisa dianggap sebagai selebritis. Penisbatan selebritis inilah yang menjadi modal citra untuk menjadikan diri sebagai objek incaran para juru tulis gosip (sebutan ‘wartawan’ gosip, menurut saya, agak berlebihan), yang pada akhirnya bisa meningkatkan popularitas dirinya sendiri. Para juru tulis itu bertindak dengan mengatasnamakan masyarakat yang disebutnya ’berhak tahu’. Dalam kacamata sosial, tentu saja tampak jelas bahwa yang dimaksud para juru tulis itu dengan ’masyarakat berhak tahu’ sebenarnya berarti ’masyarakat berhasrat menggunjingkan’.

Meski dilematis, para selebritis membutuhkan para juru tulis gosip untuk melanggengkan populeritasnya. Namun konsekuensinya, kehidupan pribadi mereka menjadi seperti berada di bawah mikroskop media. Maka, hampir sepertiga acara televisi kita dipenuhi oleh infotainmen. MUI pun angkat bicara, mengeluarkan fatwa mengharamkan infotainmen. Namun, di tengah hiruk pikuk industri media, fatwa tersebut hanyalah jeritan sunyi yang segera terlupakan.

Selain itu, kini televisi lokal diramaikan pula oleh acara bergunjing lainnya, yaitu talk show. Ada baiknya kita perhatikan dulu acara Oprah Show. Kebanyakan panelis yang dihadirkan adalah orang-orang biasa yang mempunyai sisi menarik dalam kehidupannya. Perhatikan bagaimana orang-orang biasa itu menjawab pertanyaan Oprah dengan cukup reflektif. Oprah, misalnya, pernah menghadirkan Richard Gere dan Susan Sarandon. Oprah memperlihatkan kepada keduanya foto mereka sewaktu muda dan bertanya apa pendapat mereka tentang orang dalam foto tersebut. Keduanya menjawab dengan sebuah refleksi yang nyaris sejenis: orang yang ada di foto itu keras kepala, tidak mau menerima saran siapa pun,egois. Saya sering membayangkan jika itu dilakukan pada selebritis kita. Sangat mungkin reaksi yang tereksitasi akan berupa teriakan histeris malu, untuk kemudian berujar tentang hal-hal yang tidak esensial dari stimulus berupa fotonya itu.

Setidaknya, pengungkapan yang sederhana namun reflektif dari para panelis itulah yang membedakan kualitas talk show di masyarakat Barat dengan Indonesia. Maklum, bagaimana pun tradisi literasi di kalangan masyarakat Barat jauh lebih kuat, sehingga para panelis tersebut lebih bisa mengambil jarak dari pengalamannya sendiri untuk berefleksi. Sementara Indonesia cenderung bertradisi lisan, sehingga kualitas talk show-nya pun lebih menyerupai pergunjingan yang terlalu banyak diimbuhi lelucon berlebihan. Hal itu disebabkan, salah satunya, ketidakmampuan para panelisnya untuk mengambil jarak dari pengalamannya, antara lain karena minimnya tradisi literasi di keseharian masyarakat kita.

Gunjingan Politik

Heidegger menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa bertanya tentang ’ada’: kenapa saya ada di sini, siapa saya, dari mana saya, mau ke mana, dan berbagai pertanyaan eksistensial lainnya. Keadaan “terjatuh” itu disebut Heidegger sebagai faktisitas.

Terkait dengan perenungan akan ’ada’ tersebut, Yasraf Amir Piliang menganalisis tentang berubahnya ’ada yang autentik’ menjadi ’ada sebagai citra’. Orang mengalami ilusi eksis dan autentik ketika tampil sebagai citra, yaitu ada di dalam televisi, tabloid, internet, dan sebagainya, yang notabene hanya hadir sebagai citra yang tidak autentik.

Terkait citra, Yasraf mengamati bahwa persilangan antara politik, media, dunia hiburan, sosial, dan ekonomi menciptakan semacam kategori ontologi politik berupa ’ada hibrid’. ’Ada politik’ kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ’ada sebagai citra’. Kini, apa beda antara berita politik dengan gosip infotainmen? Perhatikan bagaimana belakangan ini semakin marak terjadi objek gosip yang juga menjadi objek berita politik.

Selebritis terjun ke dunia politik bukanlah perkara baru di dunia. Namun di Indonesia, tampaknya pertimbangan modal citra yang dimiliki seorang selebritis —meski tak punya pengalaman politik sama sekali— lebih dominan ketimbang pertimbangan kemampuannya untuk memimpin. Maka, ketika diwawancara tentang apa yang akan dilakukannya seandainya terpilih nanti, ucapan yang meluncur pun lebih menyerupai pergunjingan klise yang tidak memperlihatkan adanya visi autentik untuk dijalankan semasa kepemimpinannya nanti.

Ke-’gombal’-an politis seperti ini tak berbeda dengan pergunjingan yang seringkali diusung oleh para politikus non-selebritis melalui janji-janji politik ketika kampanye. Yasraf menunjukkan adanya semacam dinding pemantul atau reflektor, sehingga yang tampil di dunia realitas adalah citra murni (berbagai kemasan ide, gagasan, keyakinan, proyeksi dan janji-janji), akan tetapi semuanya tidak pernah menembus dunia realitas, dalam pengertian tidak pernah diinternalisasikan ke dalam berbagai tindakan nyata. Setiap kali citra dan tanda itu akan memasuki dunia realitas, ia selalu berbalik arah dan memantul kembali ke dalam jagat simbiosis ideologi-citra, tidak pernah menjadi realitas nyata.

Bukan hanya itu, Yasraf pun menguraikan bahwa: “Perangkap citra tidak saja melupakan insan politik terhadap perenungan eksistensial, tetapi citra itu sendiri menipu mereka seakan-akan citra itu sendiri adalah eksistensi. Dengan terbenamnya aktor-aktor politik dan dunia politik mereka ke dalam dunia citra, tidak saja gerbang menuju permenungan eksistensi tertutup rapat, akan tetapi lebih jauh lagi ontologi citra itu menawarkan perenungan palsu. Misalnya, ada (tokoh, aktor, institusi) politik di dalam televisi adalah ada dalam bentuk citra (ontology of image), akan tetapi ia dianggap sebagai bentuk keberadaan. Di dalam virtualitas dunia citra, obrolan banal politik (di dalam berbagai media virtual) membenamkan manusia dalam keseharian, yang di dalamnya obrolan banal yang diperantarai oleh media (elektronik, digital) menjadikan berbagai kepalsuan dan kesemuan menjadi bagian inheren dunia politik. Dunia politik yang jatuh dalam perangkap banalitas kesehariannya (misalnya obrolan banal politik di dalam televisi), menjauhkan politik dari alam perenungan ontologis yang mendalam.”

Gunjingan Ilmiah

Diakui atau tidak, sebagian besar akademisi Indonesia juga masih terjebak dalam atmosfir tradisi lisan. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tradisi sabbathical, atau cuti mengajar untuk menulis karya ilmiah. Padahal, jantung kehidupan dunia ilmiah di zaman ini adalah tulisan, bukan ucapan (yang tidak dipahat menjadi bentuk tertulis). Runyamnya lagi, dengan berbagai alasan penghidupan, banyak para akademisi yang menjadi lebih antusias untuk mengerjakan proyek ketimbang bergiat menghidupkan kegiatan ilmiah. Bahkan, kegiatan penelitian pun sudah berubah menjadi peluang untuk bisa mendapat dana untuk membeli mobil baru, bukan pengetahuan baru. Gelar formal akademis lebih sering menjadi kebanggaan ketimbang kualitas keilmuan yang dimilikinya.

Minimnya tradisi menulis ilmiah di kalangan akademisi Indonesia membuat transfer pengetahuan pun lebih bersifat oral ketimbang tekstual. Akibatnya, seringkali pengetahuan tersebut cenderung bersifat konservatif, terlebih dengan adanya atmosfir feodalisme di banyak perguruan tinggi Indonesia. Dialektika pengetahuan yang tak terjadi secara tekstual, semakin terhambat secara lisan akibat arogansi senioritas.

Memang banyak juga bermunculan komunitas ilmiah, baik di dalam maupun di luar lingkungan kampus. Namun, diskusi yang terjadi di sebagian komunitas itu lebih cenderung berisi gunjingan atau obrolan kesana-kemari yang kurang produktif dalam bentuk tertulis. Heidegger menyebutnya sebagai idle talking.

Hal ini, misalnya, bisa terasa di beberapa komunitas cendekiawan berlabel Islam yang antusias dengan proyek Islamisasi Pengetahuan, sebuah usaha yang sangat patut memperoleh apresiasi. Namun proyek bercita-cita luhur ini sayangnya seringkali disarati dengan gunjingan pseudo-ilmiah yang dilakukan secara ‘utak-atik-gathuk’. Misalnya, mengkaji peristiwa Isra Mi’raj menggunakan fisika cahaya atau astronomi. Padahal, fisika maupun astronomi dalam paradigma sains jelas-jelas tidak mengakui adanya realitas lain selain realitas fisik ini. Lagi pula, perlu berapa juta tahun cahaya bagi Rasulullah saw untuk melintasi galaksi yang belum kita ketahui batasnya ini?

Solusi paling pas untuk menghindari pergunjingan di komunitas ilmiah mungkin dengan focused-group discussion. Moderator setidaknya bisa menjaga alur pembicaraan agar tidak melantur ke mana-mana, dan setiap partisipan mempunyai kesempatan berpendapat, sehingga ada pendalaman eksplorasi masalah dan diharapkan bisa lebih produktif menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang bernas.

Meski demikian, manusia itu selalu berkembang dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah bisa betah hanya dijejali dengan gunjingan, apapun bentuknya, sebagaimana dijelaskan di atas. Ibaratnya, tidak mungkin manusia hanya makan permen terus menerus, tanpa pernah mendapatkan makanan dengan asupan gizi, mineral, protein, vitamin dan lain sebagainya, yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Oleh karena itu, dalam fase-fase tertentu dalam hidupnya, manusia akan tergerak untuk mencari hal-hal yang lebih esensial untuk memperkaya penghayatan hidupnya, meskipun arus di sekelilingnya seakan mengondisikannya untuk terus bergunjing sampai mati.

Alfathri Adlin
(Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB, editor Jalasutra dan Pustaka Prabajati)

Tentang Cinta

Anakku, begitu sering kau bicara tentang cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan. Apakah isi, atau esensi, dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama… Apakah benar begitu, anakku?


“ANAKKU, mari kita bicara tentang cinta. Cinta apa yang kau miliki?” Merasa diri ini memang belum paham apa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiap hikmah yang menyemburat seperti cahaya.

Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkap esensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu untuk nanti, karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akal melayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauh dari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.

Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkan bunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernah ditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanya dengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawar itu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga dengan hatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yang terkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmu dengan kedamaian.

Anakku, begitu sering kau bicara tentang cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan. Apakah isi, atau esensi, dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama… Apakah benar begitu, anakku?

: : : : : : : :

Mungkin di desamu kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau pada kuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kau bersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagian dari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati. Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan harga yang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya. Cintamu tidak sepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda, karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketika menungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikan kesenangan, kau berpaling. Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatu dari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan. Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan. Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.

Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kau bilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jika pasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun, ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau enggan menghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa. Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang, tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuat salah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal. Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf. Dan kelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kan kau cari pengganti dengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu, maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena dia memberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampu mendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.

Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kau bermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih saling membantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabat sejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan oleh harta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan keyakinanmu. Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun dia terus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekal keyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukan saudaramu lagi. Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kau mencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kau mendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena dia seiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudah cintamu. Cintamu telah berubah.

Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kau beri makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kau tinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu. Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah dan membakar tanpa ampun. Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untuk mengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghina agamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkau jauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cinta kepada makhluk-Nya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud atau menghina-Nya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yang diajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.

Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskan cintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukan True Love. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cinta karena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedang mengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untuk meninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal. Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap hari kendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turun dengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannya mengelupas, dan lama-lama tampak lah lobang di atas jalan itu. Cinta yang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubah ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami hal ini, anakku.

: : : : : : : :

Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cinta-Nya. Dia mencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahmaniyyah) yang sama, tidak membeda-bedakan. Manusia yang menyembah-Nya dan manusia yang menghina-Nya, semua diberi-Nya kehidupan. Kekuasaan-Nya ada di setiap yang hidup. Dia tidak meninggalkan makhluk-Nya, hanya karena si makhluk tidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yang menyembah-Nya saja, maka Dia pilih kasih, Dia memberi cinta yang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetap mencintai setiap ciptaan-Nya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernah berubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan. Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanam bibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam di sekitarmu.

Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yang kau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memiliki cinta sejati, True Love. Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kau melihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kau mencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kau lihat, tapi yang kau lihat “Ya Allah! Ini ciptaan-Mu, sungguh cantiknya. Ini kebaikan-Mu yang kau sematkan dalam dirinya.” Ketika kau lihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kau lihat pancaran Cahaya-Nya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalam misteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kau cintai, setiap yang kau lihat. Ketika kau melihat makanan, kau bilang “Ya Allah, ini makanan dari-Mu. Sungguh luar biasa!” Ketika kau melihat seekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupan-Nya yang mewujud dalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihat Dia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadi berhalamu. Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yang menciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kau belum mengerti.

Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulah kau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidak terikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu oleh baju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamu langsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, dan harta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsung melihat Dia.

Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku. Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahaya-Nya. Dirimu harus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawar merekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangi ke sekitarnya. Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu, mekarkan mawarmu.

Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri sajalah yang akan memancarkan cahaya-Nya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegang segala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhala filosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akan pengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, teliti dengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu? Apakah Dia sudah membenarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang “Allahu Akbar,” apakah kau benar-benar sudah bisa melihat ke-”akbar”-an Dia dalam setiap yang kau lihat?

Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, maka sesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang. Jalanmu menuju keber-”Islam”-an masih jauh di depan. Kau masih harus membuka kebun bunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yang memegang kunci kebun itu. Mintalah kepada-Nya untuk membukanya. Lalu, masuklah ke dalam taman mawarmu. Bersihkan rumput-rumput liar di sana, gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkal-lah. Insya Allah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru istana.

Semoga Allah membimbingmu, anakku.


Oleh M. R. Bawa Muhaiyaddeen
http://suluk.blogsome.com/2008/09/11/cinta-bawamhy/#more-167

Pohon dan Buahnya



Anakku, hidupmu pun demikian. Walaupun kau telah tumbuh begitu tinggi, sama seperti pohon: keterikatan akalmu, pemikiranmu, dan hasratmu masih pada bumi dan keduniaan. Seperti itulah kondisimu saat ini.


SEORANG MURID bertanya pada Bawa Muhaiyaddeen, “Bisakah Guru menjelaskan kondisi spiritualku, di mana aku sedang berada saat ini?”

Sang Guru menjawab, “Sebuah benih haruslah ditanam di saat yang tepat. Ketika ia mulai tumbuh, akarnya menyelusup jauh ke dalam tanah, memeluk dari semua penjuru. Segera benihnya tumbuh menjadi sebuah pohon. Seiring perjalanan waktu, pohonnya akan semakin membesar, lalu berbunga dan berbuah. Tatkala berbuah, buahnya tampak tidak lagi memiliki ikatan dengan tanah. Walaupun pohonnya terikat ke dengan tanah, namun buahnya justru terhubung kepada manusia dan seluruh makhluk hidup.

Anakku, hidupmu pun demikian. Walaupun kau telah tumbuh begitu tinggi, sama seperti pohon: keterikatan akalmu, pemikiranmu, dan hasratmu masih pada bumi dan keduniaan. Seperti itulah kondisimu saat ini.

Tapi anakku, kau memiliki sebuah penghubung dalam qalb-mu, di dalam hatimu, yang berfikir tentang Tuhan dan mencari-Nya. Akan aku jelaskan cara mengembangkan hubungan tersebut. Ikutilah arahan ini baik-baik.

Sebanyak apa pun keterikatanmu pada dunia, jika kau ingin menemukan Tuhan, jika kau ingin menapaki jalan menuju-Nya; engkau, doa-doamu dan ibadahmu harus seperti pohon. Walaupun sebuah pohon terikat ke tanah, ia memberikan buahnya untuk semua mahluk. Walaupun kau terikat pada dunia seperti pohon, niatmu harus seperti niat sebuah pohon terhadap buahnya: doa-doamu, pengabdianmu, ibadah-ibadahmu, keunggulan-keunggulanmu maupun semua yang kau lakukan harus terhubung dengan Tuhan, dan kau harus melakukan pekerjaanmu dengan diniatkan untuk kemaslahatan semua makhluk, bukan untuk dirimu sendiri. Maka setelah itu, barulah kau akan berjalan dengan baik ketika menapaki jalan menuju-Nya.”

Oleh Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen
(diterjemahkan oleh Dimas Tandayu dan Herry Mardian).

http://suluk.blogsome.com/2009/11/02/pohon-dan-buahnya/#more-184

Pengertian "Ihsan"


Apa sih sebenarnya makna ‘ihsan’ itu?
Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?

Kenapa sangat penting membahas arti kata ‘ihsan’?
Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), ‘Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.

Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.

Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.

Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:

“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”

Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.

Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina, perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?

Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniin sih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuat baik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….

Contoh lain, sebuah hadits:

‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq (diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 - Hadits hasan shahih).

‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.

Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ‘ihsan’ itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yang seberapa baik?

Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.

Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.

Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”

Jawab Rasulullah,

“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”

“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.

Nah, itulah ‘ihsan’. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.

Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Maha penyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.

Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzat yang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.

Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah, tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orang yang ada di ihsan kualitas kedua ini?

Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ’suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).

Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluq adalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.

Nah, dari arti ‘ihsan’ yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.

Jadi kalau Qur’an menyebut ‘orang-orang yang ihsan‘ atau muhsiniin, itu kita bukan? Lha monggo kita tanya ke nurani kita masing-masing.

Oh ya, kita sekarang jadi lebih mengerti makna dari kalimat “kematian yang ‘husnul-khatimah’” kan? (‘khatam’ : akhir, selesai, penutup)

Semoga kita dijadikan-Nya termasuk kedalam Al-Muhsiniin dan diberi-Nya kematian yang husnul-khatimah.

Semoga bermanfaat.
Wassalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

Herry Mardian.
http://suluk.blogsome.com/2006/10/13/pengertian-ihsan/

Kriteria Muhsinin

“Alif Laam Miim, Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS 31:1-5)

Kriteria Muhsinin:

1 orang-orang yang menjadikan Al Quran sebagai petunjuk

2 orang-orang yang mendirikan shalat

3 orang-orang yang menunaikan zakat

4 orang-orang yang yakin akan adanya negeri akhirat

Pahala:

Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (muflihun)

Kajian Tafsir Ibnu Katsir oleh KH Abdul Hasib Hasan, Lc:
(didownload dari: www.layananquran.com)

“Alif laam Miim Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat, Menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan,” (Luqman: 1-3).

Pengertian Muhsinin
Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang berbuat baik, Ihsan perbuatannya, orangnya disebut Muhsin, kalau jamak muhsisnin, Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya padahal kamu tidak melihatNya.

Sifat-sifat Muhsinin

Pertama, muhsiniin adalah orang yang menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah Artinya setiap perilakunya selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktunya penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, Allah menjadikan Al Qur’an ini sebagai obat untuk orang yang muhsisnin mereka itu orang-orang yang selalu berbuat baik dengan mengikuti syari’at. Kadang-kadang orang memahami syari’at itu sempit, potong tangan, rajam begitu pemahamn orang non muslim ketika syari’at itu akan ditegakan. Padahal, bersikap adil itu merupakan syari’at, pemberantasan korupsi juga syari’at.

Ibnu Katsir mengatakan shalat-shalat nafilah yang rotiba dan juga sunnah yang lain termasuk kedalam iqomatu sholat, dan juga menurut Ibnu Abbas termasuk khusyunya, karena khusyu itu termasuk rukun shalat.“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.”(Luqman : 4).

Kedua,
menegakan Shalat dan Membayar zakat
Ibnu Katsir menjelaskan esensinya dari zakat dan shalat, yaitu mereka menguatkan kekrabatan, shalat itu adalah membangun hubugan pertikal dengan Allah sedangkan zakat adalah hubungan horizontal, padahal ada yang lain, bukan cuma dua hal ini tapi ini telah memenuhi hubungan pertikal dan horizontal.

Ketiga, dan kepada Akhirat mereka yakin
Kita lihat ketika menyangkut ahirat menggunakan kata yakin, seperti dalam Al Baqarah, kata ulama yakin itu meyakini dan memahaminya sampai pada tingkat terbayang kejadiannya, Sayid Qutub mengatakan keyakinan kepada akhirat itu akan meningkat kwalitas dan akan terjamin keikhlasannya, dan kontinyuitas ibadahnnya akan terjaga, kalu orang keyakinannya kepada akhirat maka keikhlasan dan kontinyuitasnya terjaga.
“Mereka Itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”(Luqman:5).

Balasan untuk orang Muhsinin
Balasan bagi orang muhsinin Kata Sayid hawwa, menafsirkan ayat ini,’ala itu pas, artinya yang mendapatkan petunjuk itu pas, tidak melanceng sedikitpun. Dan mereka akan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan yang tertinggi adalah ketika Allah SWT, menjadikannya pewaris surga firdaus, Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan kata-kata terakhir di ayat ini, mereka itulah yang akan mendapat keuntungan didunia dan akhirat.


http://dien24.wordpress.com/2007/11/09/kriteria-muhsinin/

Menguatkan Komitmen pada Alquran


"Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan, yaitu Alquran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang; gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang pada waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya." (QS az-Zumar [39]: 23)

Begitulah Allah menjadikan Alquran sebagai rujukan kaum Muslimin dalam meniti hidup. Guna mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, Alquran juga menjadi obat (penawar) bagi penyakit hati, yang terus mewabah di tengah masyarakat modern. (QS Al-Israa [17]: 72).

Karena itu, setiap Muslim hendaknya menguatkan kembali komitmen kepada Alquran. Mengimani, membenarkan, mencintai, menghormati, dan mengagungkannya. Setiap saat, seorang Muslim hendaknya terus berkomitmen mengamalkan Alquran. Untuk itu, diperlukan langkah padu dan konsisten agar komitmen ini terus terjaga. Sedikitnya ada lima langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, meyakini dengan sepenuh hati bahwa Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Kita wajib mengimani semua ayat yang dibaca. Baik yang berupa hukum-hukum maupun kisah-kisah. Baik yang menurut kita terasa masuk akal maupun yang belum dapat dipahami. Yang nyata maupun gaib. (QS Al-Maidah [5]: 83).

Kedua, menjadikan Alquran sebagai kawan akrab dalam kehidupan, yakni sebagai bahan bacaan terbaik dalam perjalanan umat manusia. (QS Al-Baqarah [2]: 121).

Ketiga, berupaya memahami setiap kata dan kalimat indah yang tertera dalam kitab mulia ini. Tadabbur Alquran dilakukan dengan mengulangi ayat-ayat yang dibaca dan merepasinya dalam hati. (QS An-Nisa' [4]: 82).

Keempat, mencoba menghafalkan dan menjaga hafalan ayat demi ayat dengan sepenuh jiwa. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang di dalam rongga tubuhnya tidak ada sedikit pun Alquran, tak ubahnya bagaikan rumah yang bobrok."

Kelima, mengamalkannya dalam hidup keseharian dan berpegang teguh pada hukum-hukumnya. Senantiasa berusaha menyelaraskan hidup dan tingkah laku, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Karena, sesungguhnya akhlak Rasul SAW adalah gambaran aplikatif dari Alquran.

Marilah kita menjadi Alquran sebagai teman sejati. Ke mana dan di manapun berada, Alquran selalu menjadi tuntunan. Sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Hudzaifah, "Hendaklah kalian sekalian beredar bersama kitab Allah ke mana saja dia beredar."

Bila sudah demikian, tak ada lagi kekhawatiran menghadapi berbagai himpitan. Bahkan, saat puncak kesulitan menerpa setiap diri di hari perhitungan kelak, Alquran akan menjadi syafaat. Wallahu a'lam.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/09/22/135910-menguatkan-komitmen-pada-alquran

Lima Keutamaan Istighfar


Muhammad Shalih Al-Khuzaim dalam bukunya Shifat Shalat Qiyamullail, menjelaskan bahwa istighfar merupakan penutup amal saleh, penutup shalat, haji, puasa, dan juga penutup majelis. Istighfar berfungsi untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama melaksanakan ibadah tersebut. Selain itu, istighfar juga sebagai penyebab utama mendapatkan ampunan Allah SWT.

Karena itu, setiap Muslim hendaknya memperbanyak istighfar dalam berbagai kesempatan. Minimal mengucapkan: Astaghfirullah, Rabbighfirli, Allahummaghfirli, dan yang lainnya. Melalui istighfar tersebut seseorang akan memperoleh banyak keutamaan.

Pertama, dihapus kejelekannya dan diangkat derajatnya. "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An-Nisa' [4]: 110).

Kedua, dilapangkan rezeki, anak, harta, dan penyebab turunnya hujan. "Maka Aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?" (QS Nuh [71]: 10-13).

Ketiga, ditambah kekuatannya. "Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (QS Hud [11]: 52).

Keempat, dilenyapkan dosanya. Setiap dosa meninggalkan noda hitam pada hati. Noda hitam bisa lenyap dengan melakukan istighfar. "Sesungguhnya bila seorang Mukmin melakukan satu dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat, berhenti dari maksiat, dan beristighfar, niscaya mengilap hatinya." (HR Ahmad).

Kelima, dimudahkan segala urusannya. "Barangsiapa membiasakan diri untuk beristighfar, Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari setiap kesulitan, akan memberikan kebahagiaan dari setiap kesusahan, dan akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).

Untuk itu, ketahuilah, dalam sebuah atsar disebutkan bahwa, "Sesungguhnya Iblis pernah berkata: 'Aku membinasakan manusia dengan dosa, dan mereka membinasakanku dengan La Ilaha Illallah dan istighfar'." Wallahu a'lam

Imam Nur Suharno MPdI
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/09/25/136485-lima-keutamaan-istighfar

Jumat, 24 September 2010

Kesulitan Hidup

Setiap orang pasti pernah mengalami saat-saat sulit dalam menjalani kehidupannya. Kadang kesulitan itu memang membuat seseorang frustasi, bingung, stres, panik, putus asa dan sikap negatif lainnya.
Sesungguhnya ada tiga pelajaran penting dari adanya kesulitan hidup, yaitu:

Pertama, setiap kesulitan seharusnya “memancing” seseorang untuk berpikir. Allah menciptakan pikiran di dalam diri manusia agar manusia mampu menciptakan peluang-peluang dalam setiap keadaan, termasuk dalam situasi yang sulit. Janganlah kita cepat putus asa ketika menghadapi kesulitan, tetapi tenanglah dan berpikirlah.
Hambatan sering kali berarti bahwa kita harus berpikir lebih keras, lebih baik, dan lebih kreatif. 

Kedua, ide untuk mendapatkan jalan keluar biasanya ada di sekitar kita. Biasanya hal-hal kecil dan sederhana di sekitar kita, kurang kita perhatikan. Padahal, Allah dapat memakai hal-hal tersebut untuk memberikan ide kepada kita sehingga kita bisa mendapatkan jalan keluar untuk setiap masalah yang kita hadapi. 

Ketiga, apa yang kita hasilkan dari “pemerasan” otak kita, pasti berguna bagi sesama. Mari kita mulai mewujudkan apa yang sudah kita pikirkan, jangan ditunda-tunda.
Cepat atau lambat, karya kita akan menjadi berkah bagi orang lain.

Seorang mukmin tentu berbeda dalam menyikapi berbagai kesulitan hidup yang dihadapinya. Mereka memahami bahwa kesulitan atau ujian diberikan oleh Allah dalam rangka menguji hamba-Nya. Dan mereka tahu bahwa kesulitan itu dibuat untuk membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya, yaitu mereka yang tidak tulus dalam meyakini keimanan mereka. Karena itu, ujian atau kesulitan yang hadir dalam kehidupan kita akan menunjukkan siapakah kita sebenarnya. 
Allah menjelaskan melalui firman-Nya, bahwa Dia akan menguji manusia untuk melihat siapakah yang benar-benar beriman.

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Ali Imran: 142)

"Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)...."
(al-Baqarah: 179)

Ketika membaca terjemahan ayat tersebut, hendaknya semakin menambah kesadaran kita bahwa kehidupan ini memang dipenuhi dengan aneka masalah dan berbagai kesulitan. Karena dunia ini merupakan Darut Taklif, maksudnya adalah tempat pembebanan. Tidak ada seorang pun yang terbebas dari masalah selama mereka hidup di dunia. Dan sungguh merugi orang yang larut dalam kesedihan, kesedihan yang panjang justru akan semakin menyulitkan diri dalam menghadapi masalah. Hanya dengan keberanian untuk bangkit dan bersabar, kesulitan itu akan terasa mudah. Berbahagialah orang yang mampu bersabar dalam menghadapi setiap kesulitan hidup, karena Allah beserta orang-orang yang sabar.

Ketekunan itu mahal


Di sebuah negeri hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan. Mereka adalah pengrajin emas dan pengrajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan itu, sebab itu adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan: cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai penghias.

Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil kerja itu ke kota. Hari pasar, demikian mereka menyebut hari itu. Mereka akan menjual barang-barang logam itu dan membeli keperluan selama sebulan. Beruntunglah pekan depan akan ada rombongan tamu agung mengunjungi kota dan bermaksud memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Tentu, berita ini mendorong para pedagang agar membuat lebih banyak barang untuk dijajakan. Tak terkecuali dua orang pengrajin yang menjadi tokoh kita ini.

Siang-malam terdengar suara logam ditempa. Tungku-tungku api seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang membara seakan mewakili semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah dihiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias telah dihasilkan. Hari pasar makin dekat. Dan, lusa adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.

Hari pasar telah tiba dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan. Tampaklah barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah sayang.., ada kontras diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tidak berkilau. Ulir-ulirnya kasar. Pokok-pokok simpul rantai tidak rapi. Seakan pembuatnya adalah orang yang tergesa-gesa.

”Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasan kawannya tampak kusam. ”Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi. ”Apalah artinya logam buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya. Aku akan membawa uang lebih banyak darimu”

Pengrajin kuningan hanya tersenyum. Ketekunannya mengasah logam membuat semua hasil karyanya lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperti lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap dipandang mata.

Ketekunan memang mahal. Hampir semua orang yang lewat tak menaruh perhatian pada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup membuat mereka tertarik dan mau membelinya. Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Perajin emas tertegun diam dan perajin kuningan tersenyum senang.

Hari pasar usai. Para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu pun telah membereskan barang dagangan. Dan, keduanya mendapat pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

Ketekunan memang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalaninya. Begitupun kemuliaan dan harga diri. Tak banyak orang yang menyadari bahwa kedua hal itu tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini. Setidaknya tindak-laku kedua pengrajin di atas adalah potongan siluet kehidupan kita.

Ketekunan adalah titin jalan panjang yang licin berliku. Seringkali jalan panjang itu membuat kita tergelincir dan jatuh. Sering pula titian itu menjadi saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kepada kebahagiaan di ujung simpulnya. Namun percayalah, ada balasan bagi ketekunan. Di ujung sana ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.

Emas dan kuningan tentu punya nilai yang berbeda. Tapi, apakah kemuliaan dinilai hanya apa yang disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari simbol-simbol yang tampak dari luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari pengrajin kuningan bahwa kemuliaan adalah buah dari ketekunan. Dan, bahwa kemalasan akan membuahkan kelemahan jiwa.

Membentuk ketekunan mungkin hampir sama sulitnya dengan menempa logam, bahkan lebih sulit. Tanyakan saja kepada mereka yang berusaha untuk tekun qiyamullail, betapa sulit dan keras usahanya. Atau tanyakan kepada mereka bagaimana beratnya membiasakan diri shoum sunnah. Atau coba tanyakan kepada mereka yang sudah menekuni tilawah Qur’an 10 halaman hingga satu juz setiap harinya. Tanyakan kepada mereka yang punya hafalan 5 juz. Atau coba tanyakan pula kepada saudara kita yang sudah berusaha menekuni diri selalu hadir di majelis halaqoh dan majelis taklim. Apalagi mereka yang menekuni peran sebagai guru, murabbi atau ustadz. Hanya orang bermental baja yang bersedia menekuni pekerjaan itu.

Sekali lagi, ketekunan itu mahal. Dan, ketekunan itulah yang bisa merubah nilai atau harga diri seseorang, walaupun pada mulanya ia hanyalah berasal dari keluarga "kuningan" bukan keluarga "emas". Karakter diri yang kuat, kedewasaan, daya juang yang tinggi dan kematangan bertindak hanya mungkin diraih oleh orang-orang yang punya ketekunan dan mau berproses untuk bisa menjadi tekun. Tingkat ketekunan adalah ukuran yang bisa dipercaya untuk menilai seseorang.

Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga bila ulir-ulir hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia, jika lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga jika pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya tak dipenuhi dengan simpul-simpul ikhlas dan perangai nan luhur?

Mari kita asah kalbu dan hati kita agar bersinar mulia. Mari kita bentuk ulir dan leku-lekuk jiwa kita dengan ketekunan agar menampilkan cahaya-Nya. Susunlah simpul-simpul itu dengan jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah dengan kesungguhan diri agar hati kita tidak keras dan menjadi lembut, luwes, serta mampu memenuhi hati orang lain. Percayalah, ada imbalan untuk semua itu. Amin.

http://beranda.blogsome.com/2008/06/09/ketekunan-itu-mahal/

Kamis, 23 September 2010

ALLAH ITU DEKAT

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) , sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Sebab itu hendaklah mereka memohon perkenan kepadaKu dan berimanlah kepadaKu , supaya mereka memperoleh petunjuk."
(Surat Al Baqarah , ayat 186).


"Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya"
(Surat Qaaf , ayat 16)


" Tuhan kamu (Allah) berfirman,"Berdoalah kepadaKu , niscaya Aku perkenankan bagimu." Sesungguhnya orang-orang yang takabur dari menyembahKu , mereka akan masuk jahannam dalam keadaan terhina"
(Surat Al Mu'min ,ayat 60)

Sepuluh Strategi Setan Menghadang Iman

1.Menanamkan rasa sombong. Sombong adalah tidak mau menjalankan perintah Allah SWT (Takabur)
Penyebab sombong antara lain:
a. Seseorang yang memiliki kelebihan terhadap orang lain tetapi tidak sadar bahwa kelebihan yang ada pada dirinya, terlepas sebagai akibat kerja keras dirinya, utamanya adalah karena karunia yang datang dari Allah.
b. Seseorang yang memiliki kekurangan dan tidak mau mengakui kelebihan orang
lain dibanding dirinya.

2.Menanamkan keraguan untuk melakukan amal salih (Waswasah)

3.Menanamkan rasa nikmat pada perbuatan maksiat (Tazyin)

4.Menanamkan perasaan tidak ikhlas dalam beramal salih (Riya')

5.Ikhlas artinya hanya beribadah dan mengharap pada Allah SWT (Tamanni )

6.Berharap pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi Menanamkan rasa bermusuhan di antara orang-orang beriman (A'dawah)

7.Menanamkan perasaan takut yang tidak sesuai tuntunan Islam (Takhwif) , misal takut miskin , takut hantu dantidak berani amal ma'ruf nahyi munkar Ada rasa takut yang diperbolehkan misalnya adalah takut berbuat dosa.

8.Menanamkan rasa malas untuk beramal salih (Shaddun)

9.Memberikan janji palsu (Wa'dun)

10.Tipu daya setan (Kaidun)

Doa Buat Yang Sakit

BismillaahirRahmaanirRahiim

AllaahummaRabbannaas ...... Ya Allah Tuhan Manusia

Engkau Maha Penyayang ...... sementara kami sedang mengalami kesulitan

Adzhibilba'sya isyfi. ........sembuhkan kami dari penyakit kami dan hilangkan rasa sakit yang menyertai penyakit kami.....

Sesungguhnya di balik rasa sakit yang kami derita,terdapat suatu penyakit di dalam diri. Dan jika kami telan obat penghilang rasa sakit , maka rasa sakit mungkin hilang, tetapi penyakit kami masih mungkin ada di dalam tubuh kami.. Padahal rasa sakit yang kami derita dapat Engkau jadikan sebagai penghapus dosa kami.

Karena itu...

Ya Allah sembuhkan kami dan ampunilah dosa kami....

Penyembuhan yang datang dari Engkau Ya Allah , adalah yang menyembuhkan penyakit sekaligus rasa sakit yang menyertainya

AntasySyaafii ....laasyifa'a illaa Syifaa'uka...

Engkaulah Maha Penyembuh..... tiada kesembuhan sejati kecuali yang datang karenaMU

Tolonglah kami dengan mendatangkan orang yang ahli mengobati kami....

Tolonglah kami dengan mendatangkan orang yang tahu obat penyakit kami...

Tolonglah kami dengan menunjukkan cara yang benar dalam pengobatan penyakit kami............

Sesungguhnya ahli pengobatan maupun obat yang tepat untuk kami , hanya akan datang karenaMU ...yang hanya akan kami terima , jika Engkau meridhai....

Syifaa'an laa yughaadiru saqamaa.......

Ya Allah yang maha Penyayang, sembuhkan kami secara tuntas.....kesembuhan yang tidak membawa komplikasi rasa sakit atau penyakit lain..... , yaitu kesehatan yang datang karena ridhaMu. Kesehatan yang semakin meningkatkan ketakwaan kami.

Astaghfirullah Ya Gafur .....Astaghfirullah Ya Afuw......Astaghfirullah Ya Salam


Sigit Haryadi
http://telecom.ee.itb.ac.id/~sigit/doabuatyangsakit.htm

Yang Harus Diperhatikan Orang Sakit & Do’a Untuk Orang Sakit

Seorang muslim yang sedang sakit hendaknya bersangka baik kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, bahwa Allah akan mengasihinya dan tidak menyiksanya. Rasululloh shallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya:
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”
(HR: Muslim).
Berada antara takut dan penuh harap, takut pada siksa Allah dan berharap pada keluasan rahmatNya, Rasululloh bersabda, yang artinya:
“Tidaklah menyatu (rasa takut dan harapan) dalam hati seorang hamba pada saat seperti ini (sakit) kecuali Allah mengabulkan harapannya dan memberikan kepadanya rasa aman dari apa yang ditakutkannya.”
(HR:At-Tirmidzi dengan sanad hasan).

Seorang muslim yang sedang sakit hendaknya juga tidak mengharapkan kematian meskipun penyakitnya sangat parah. Namun kalau terpaksa hendaknya berdo’a:
“Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku. Jadikanlah kehidupan sebagai penambah segala kebaikan bagiku dan kematian sebagai istirahatku dari segala keburuk-an.”
(Hadits Anas bin Malik-HR: Al-Bukhari dan Muslim).

Jika ada hak-hak orang lain yang menjadi tanggungannya, baik berupa hutang, amanat atau lainnya hendak-nya bergegas mengembalikan atau menunaikannya. Dibenarkan untuk mewasiatkan sebagian hartanya untuk hal-hal yang baik, dan tidak dibenarkan lebih dari sepertiga. Rasululloh shallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang wasiat:
“Sepertiga, dan sepertiga itu jumlah yang besar.” (Muttafaq ‘Alaih).

Wasiat yang dibuat tidak boleh bersifat merugikan, seperti berwasiat tidak memberikan harta peninggalannya kepada sebagian ahli warisnya, atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada salah seorang ahli waris, karena tidak dibenarkan mewasiatkan harta kepada ahli waris, sebab masing-masing dari mereka telah mendapat bagian waris sebagaimana yang ditentukan syari’at.Hendaknya orang yang sakit selalu menjaga shalat, menghindarkan diri dari apa-apa yang najis dan bersabar dalam beratnya melakukan hal tersebut. Wajib bagi setiap muslim, terutama yang sedang sakit untuk bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dari segala dosa.

Hendaknya memperbanyak membaca Al-Qur’an,dzikrullah, do’a, istighfar, bertasbih dan bertahlil.

Do’a-do’a Untuk Orang Sakit

Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya senantiasa ber-do’a. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya:
“Dan Tuhanmu berfirman:
“Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuper-kenankan.”
(QS: Al-Mukmin: 60).
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku .”
(QS: Asy- Syu’ara: 80).

Nabi shallAllahu ‘alaihi wasallam biasanya meletakkan tangannya pada tubuh orang yang sakit seraya berdo’a, yang artinya:
“Ya Allah Tuhan segenap manusia, hilangkanlah sakit dan sembuhkan-lah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali dengan penyembuhanMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaq ‘Alaih).

Beliau juga mengajarkan kepada sahabatnya yang sakit untuk berdo’a, seraya bersabda, yang artinya:
“Letakkan tanganmu pada bagian tubuhmu yang sakit dan ucapkan: ‘Bismillah’ Tiga kali, kemudian ucapkan ‘A’udzu bi ‘izzatillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadzir’u (Aku berlindung kepada keagungan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku dapati dan aku takutkan) sebanyak tujuh kali.” (HR: Muslim).
Sahabat tersebut berkata: “Maka aku lakukan (nasihat beliau) dan Allah Subhannahu wa Ta’ala pun menghilangkan penyakit yang selama ini aku derita”.

(sumber Rujukan: Al-Hadiqatul Yani’ah minal ‘Ulumin Nafi’ah, Syaikh Ibrahim bin Jarullah Al-Jarullah)

Selasa, 21 September 2010

Perantara dalam tawasul

1. Tawasul dengan nama Allah
2. Tawasul melalui amal soleh
3. Tawasul melalui do'a Rasul
4. Tawasul melalui doa orang Mukmin
5. Tawasul melalui Nabi dan Hamba soleh
6. Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba soleh
7. Tawassul melalui orang yang sudah wafat
8. Tawassul melalui orang yang belum lahir
1. Tawasul Nabi Adam a.s kepada Rasulullah
2. Tawasul orang Yahudi kepada Rasulullah

Menurut keterangan di Al Quran dan Hadis, terdapat beberapa perkara yang dapat dijadikan sebagai wasilah/perantara dalam tawasul, yaitu sebagai berikut:

* Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung
* Tawassul melalui Amal Soleh
* Tawassul melalui Do'a Rasul
* Tawassul melalui Do'a Saudara Mukmin
* Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
* Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh
* Tawassul melalui orang yang sudah wafat
* Tawassul melalui orang yang belum lahir

Tawasul dengan nama Allah


Allah swt. berfirman:

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A'raf: 180)

Tawasul melalui amal soleh

Allah swt. dalam al-Qur'an berfirman:

“Dan (ingat- lah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo'a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang' ” (QS al-Baqarah 127-128)

Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Sholeh (pembangunan Ka'bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim al-Khalil agar Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
Tawasul melalui do'a Rasul

Tentang keagungan nama Rasulullah, Allah swt. berfirman:

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS an-Nur: 63)

Hadirnya Rasulullah menghindarkan manusia dari azab/siksaan. Allah swt. berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu (Rasulullah )berada diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).

Allah swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw.:

“Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan ‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan' ” (QS at-Taubah: 94).

Allah menjadikan Rasulullah sebagai jalan untuk mendapatkan pengampunan. Allah swt... berfirman:

“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa': 64).

Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah swt...:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5).

Tawasul melalui doa orang Mukmin


Dalam al-Qur'an, Allah swt berfirman:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo'a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami , dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman'; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.' ” (QS al-Hasyr: 10).

Dalam ayat ini ditunjukkan tentang berdoa minta ampun untuk diri dengan cara mendoakan orang-orang terdahulu. Artinya orang-orang terdahulu tersebut dijadikan sarana wasilah.

Tawasul melalui Nabi dan Hamba soleh

Ada hamba-hamba Allah yang namanya telah ditinggikan . Allah swt.. berfirman:

“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4).

Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh pengikut sejati Rasulullah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah swt.. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka.

Allah swt.. berfirman:

“(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A'raf: 157).

Jika kunci terkabulnya do'a terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap manusia Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagai- mana do'a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah swt..

Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do'a manusia sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian ( dzat/syakhsyiyah ) dan kedudukan ( jah/ maqom / manzilah / karamah / fadhilah ) manusia sholeh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara sarana pengkabulan do'a' dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia sholeh' terdapat relasi/hubungan erat dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar'i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do'a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur , dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt.. Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadits yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadits dari Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat tig orang yang tertutup didalam goa. Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138 hadits ke-16789; Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385; Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da'awaat, bab 119 hadits ke-3578 dan kitab lainnya.
Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba soleh

Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari'at yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh, dimana diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah swt...

Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana apa yang di kemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal ra ini, Rasulallah bersabda:

“Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui'. Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun'. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah bersabda: ‘Wahai Muadz !' aku (Muadz) menjawab: ‘Ya wahai Rasulallah !?'. Rasulallah bertanya: ‘Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?'. aku (Muadz) menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui'. Rasulallah bersabda: ‘“Ia tiada akan mengadzabnya' “. ( Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).

Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah swt... Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah swt.– maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur'an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia.

Allah swt.. berfirman:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-An'am: 122).

Atau sebagaimana dalam firman Allah swt... lainya;

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan ber- imanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Peng- ampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28).

Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.

Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur'an telah menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Ya'qub)– telah melakukan tawassul. Dan al-Qur'an pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan do'a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan do'a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat.

Tawassul melalui orang yang sudah wafat

Rasulullah bertawasul kepada nabi-nabi yang sudah wafat sebelum beliau:

"Dan sahabat Nabi Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. berkata dalam do'a beliau begini : Ya Allah, ampunilah Fatimah binti Asad dan lempangkanlah tempat masuknya (ke kubur) dengan hak Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum saya. Engkau yang paling panjang dari sekalian yang panjang". (Had its riwayat Imam Thabrani - lihat kitab Syawahidul haq hal. 154).

Tawassul melalui orang yang belum lahir

Ada beberapa ayat Al Quran dan hadis yang menyebutkan adanya tawasul kepada orang yang belum lahir.
Tawasul Nabi Adam a.s kepada Rasulullah

Tawasul ini disebut di dalam Al Quran

Penjelasan hadis juga ada. Potongan hadis (lengkapnya silakan lihat di dalil-berdoa-tawasul, dalil ke sebelas):

"Berkata Rasulullah Saw. : Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia bertaubat dan berkata : Hai Tuhan, saya mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad supaya Kamu ampuni saya.

Nabi Adam a.s sudah bertaubat dengan bertawasul dengan nabi Muhammad s.a.w, padahal nabi Muhammad s.a.w belum lahir ke dunia.

Tawasul orang Yahudi kepada Rasulullah

Disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 89 :

Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka [70] , padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.

Dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa orang Yahudi sudah bertawasul dengan seorang nabi yang akan muncul, yang kemudian ternyata nabi itu adalah nabi Muhammad s.a.w. Dalam ayat tersebut terdapat kritikan bahwa setelah nabi tersebut datang, orang Yahudi malah ingkar dengan nabi tersebut (Muhammad s.a.w). Amalan tawasul orang Yahudi itu sendiri tidak dianggap perbuatan keliru.


http://kawansejati.ee.itb.ac.id/book/export/html/19168