Jumat, 28 Juni 2013

Mulia Dalam Kejujuran



“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan syaitan, mengapa mesti galau?

Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena dalam dirinya ada ruang untuk keliru.

Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.

Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.

Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal, masih pula merasa lurus.

Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran nyinyir khalayak publik.

Menjauhi kicuh

Muslim yang autentik berani jujur meski ketika salah. Ibda bi-nafsika, orang jujur akan selalu berkonsultasi kepada hatinya. Pihak lain akan mudah dikelabui dengan 1.001 cara. Tetapi manakala diri salah maka nurani tak pernah dusta.
 
Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati jujur, berkata dan berbuat jujur.

Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai kejujuran.

Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara, pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga mencintai kejujuran.

“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.

Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting dijadikan mutiara kehidupan.

Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.

Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”

Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja tercela, apalagi terhadap sesama manusia.

Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan dusta itu hina.

Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.

Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat, tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).
 
Kehormatan diri

Perilaku kicuh sering membuat pelaku bebal diri. Bertipu muslihat dianggap lumrah dan bukan dosa. Boleh jadi perbuatan muslihat bagi sementara orang dipandang sebagai cara hidup demi meraih tujuan.

Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.

Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia melampaui takaran.

Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).

Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus apologia.

Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam. Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun dilakukan.

Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan. Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah, yang penting menang dalam meraih tujuan.

Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama. Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu.

Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan. Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).

Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]: 32).


Oleh Haedar Nashir 

A

Anak Sebagai Amanah dan Akibat Menelantarkannya



Dalam Alquran, anak dapat dikelompokkan kepada lima tipologi, yaitu anak sebagai ujian (QS. Al-Anfal [8]:28), anak sebagai perhiasan hidup dunia (QS. Al-Kahfi [18]:46), anak sebagai cahaya mata (QS. Al-Furqan [24]:74), anak sebagai musuh (QS. At-Taghabun [64]:14) dan anak sebagai amanah (QS.At-Tahrim [66]:6).

Hubungannya dengan tugas dan kewajiban orangtua, maka tipologi di atas menunjukkan besarnya peranan dan tanggung jawab orang tua (ibu dan bapak) dalam mengasuh dan mendidik anak, terutama agamanya sehingga terbentuk sebuah keturunan yang ideal (zurriyah thayyibah) atau anak saleh.
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras; mereka tidak mendurhakai Allah atas apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka  dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]:6).
Dalam hadis sahih yang sudah begitu populer, Rasulullah SAW menegaskan, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala Negara adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap nasib rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangganya dan dia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta benda majikannya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).

Intinya, anak merupakan bagian dari amanah Allah, di mana kalangan orangtua tidak dibenarkan melalaikannya, apalagi lari dari memikul amanah besar tersebut.  

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan yang sangat keras terhadap orangtua yang lari dari tanggung jawab ini. “Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang tidak akan diajak berbicara pada hari kiamat, tidak disucikan dan tidak dilihat.” Lalu beliau ditanya: “Siapa mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Anak yang berlepas diri dari orangtuanya dan membencinya serta orangtua yang berlepas diri dari anaknya.” (HR. Ahmad dan Thabrani). 

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah pernah mengatakan, “Barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi anaknya dan menelantarkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama termasuk sunnah-sunnahnya.”  

Di zaman sekarang ini, orang tua pada umumnya nampak tidak mengalami banyak kesulitan dalam menyekolahkan putra-putrinya, khususnya dari segi peluang.  Lembaga pendidikan sekolah dan pesantren banyak berdiri di hampir merata tempat, pemerintah dan lembaga swasta pun banyak yang menyediakan beasiswa pendidikan. Banyak yang memperoleh semua peluang itu.

Akan tetapi, tidak sedikit orang tua yang lepas kontrol, bahkan ada yang sama sekali tidak peduli terhadap bimbingan agama dan karakter kepribadian anaknya. Akibatnya, terjadi kerusakan pada diri anak yang ditandai dengan sifat dan tingkah laku yang tidak terpuji. Nauzubillahi Min Dzalik.

Oleh sebab itu, agar dapat dianugerahi keturunan yang baik, baik dari segi intelektualitas mahupun moralitas, maka terdapat sejumlah ayat alQuran yang penting untuk dibaca dan diamalkan. Sekurang-kurangnya selepas shalat wajib lima waktu. 

Di antaranya adalah surah Ali Imran ayat 38 sebagaimana berikut, “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisiMu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a.” (QS. Ali Imran [3]: 38). Wallahu al-Musta’an.


Oleh Ustaz Imron Baehaqi MA

[VIDEO] Islam Menjaga Kehormatan Perempuan

[VIDEO] Islam Menjaga Kehormatan Perempuan



Rabu, 19 Juni 2013

Istidraj




Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan intropeksi. 

Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai. 

Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj".

Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).

Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka". 

Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.

Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa' (penangguhan) dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).

Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang banyak kemewahan, ini adalah istidraj. 

Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan organisasinya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, ini pun termasukistidraj. 

Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala cara, sesungguhnya hal ini juga istidraj. 

Demikian pula, kalau ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas dakwah, namun secara zhahir tampak maju di beragam aspek kehidupan, hal ini masuk katagori istidraj.

Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Sayfi'i, IV/157). Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan yang membinasakan. Na'udzbillahi min dzalik.


Oleh: Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA

Pentingkah Ziarah Kubur?



Ziarah kubur menjelang Ramadhan dan Idul Fitri merupakan tradisi yang baik dilakukan. Dengan ziarah kubur, orang diingatkan tentang kematian. Rasulullah bersabda: Aku mohon izin kepada Tuhanku untuk meminta ampun bagi ibuku, namun tidak diperkenankan. Lantas kumohon izin untuk menziarahi kuburannya, maka diperkenankan-Nya bagiku. Karena itu, berziarahlah kalian ke kuburan, karena hal itu bisa mengingatkan kalian akan kematian.

Fenomena kematian merupakan tarbiyah ruhaniyah (pendidikan rohani) yang efektif untuk meningkatkan kadar moralitas keagamaan seseorang. Ini, karena dengan mengingat kematian, seseorang akan berpikir seribu kali bila ingin berbuat maksiat. Orang gampang korupsi, bertindak sewenang-wenang, tiranik, serakah, mau menang sendiri, suka menyakiti orang lain, misalnya, karena tiadanya kesadaran akan kematian.

Itulah sebabnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz selalu berupaya mengingat tentang fenomena kematian itu. Hampir setiap malam beliau kupulkan para ulama untuk bermudzakarah (saling mengingatkan) tentang mati, kiamat, dan akhirat. Kemudian mereka menangis sesenggukan seolah-olah jenazah hadir di tengah-tengah mereka.

Kuburan, tempat jenazah dimakamkan, adalah saksi bisu dari kematian. Sabda Rasulullah saw, ''Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat.''(HR Thabarani dan Baihaqi). Dengan demikian, maka kuburan menjadi semacam tugu peringatan bagi orang yang mudah lalai akan kematian. Hadis riwayat Imam Muslim yang dikutip pada awal tulisan ini mengingatkan kepada kita bahwa dengan ziarah kubur kita senantiasa diingatkan tentang adanya kehidupan lain setelah kehidupan ini. Dan orang yang masih hidup namun menyadari akan kematian, sama halnya dengan orang yang piawai dalam membaca trend masa depan, yang karenanya tidak kaget lagi, dan cakap dalam mengendalikan dunia ini. Karena memang kehidupan yang sekarang adalah rentetan dari kehidupan lain yang akan dilakoni manusia. Dan kematian hanya perhentian sementara dari pekerjaan yang bakal kita lalui itu.

Ziarah kubur sebenarnya bisa dilakukan tidak saja tiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri seperti yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat kita, namun bisa dilakukan kapan saja. Nabi Muhammad saw menyatakan: Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah satu darinya tiap Jumat, maka dosanya diampuni dan ditulis sebagai orang yang berbuat kebajikan.'' (HR Baihaqi).

Maka, makna positif dari ziarah kubur tidak saja pada almarhum atau almarhumah yang didoakan, tapi juga bagi kita buat mempertajam kesadaran akan mati. Di tengah krisis dan banyak tantangan yang dihadapi sekarang ini, sugesti dari keyakinan akan mati ini layak dihidupkan. Karena keinsyafan ini bisa memompa semangat dan optimisme. ''Barangsiapa yang menyadari akan kematian, maka segenap musibah dan kerisauan dunia akan terasa kecil baginya,'' jelas Ka'ab seperti yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.




Minggu, 16 Juni 2013

Berjamaah



Islam memerintahkan pemeluknya untuk berjamaah. Tidak hanya dalam shalat. Tapi juga dalam ekonomi dan lain-lain hal, termasuk makan. Innal barakata ma’al jamaa’ah, sesungguhnya keberkahan itu ada di dalam kebersamaan. 

Shalat sendiri, beda dengan shalat berjamaah. Jika berjamaah, beda 27 derajat. 27 kali lipat dapatnya. Bahkan istimewanya, siapa yang shalatnya lebih bagus, baik dalam ilmu, rasa, keikhlasan, maka derajat dia yang dipakaikan ke semua yang ada di dalam shalat berjamaah tersebut. 

Dapat pula pahala ikutan lain-lainnya sebab shalat berjamaah. 40 orang yang berdoa, maka dikabulkan itu doa. Berapa kalo kita kemudian berjamaah dalam masjid yang jamaahnya mencapai lipatan 40? 

Sebab berjamaah, maka dapat pahala melangkah ke masjid, dapat pahala jika datang ke masjid udah dalam keadaan berwudhu, bisa dapat pahalatahiyyatul masjid, qobliyah ba’diyah, zikir, sesuatu yang mungkin tidak dapat kita laksanakan manakala gak berjamaah dan tidak ke masjid.

Bersedekah juga begitu. Begitu berjamaah, maka Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu jadi sesuatu yang besar. Jika sebelumnya 20 ribu, bisa dapat dua bungkus nasi plus lauk sederhana, 50 ribu dapat lima bungkus nasi plus lauk sederhana, 100 ribu bisa dapat 10 nasi bungkus plus lauk sederhana. 

Maka bila satu juta orang berkumpul, bersedekah Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu? Dapat berapa? Dapat apa? Dapat ribuan hektar sawah, yang bisa kemudian sedekahnya bisa bergulir dan bergulir. 

Bisa punya peternakan sapi yang gak bergantung sama import, bisa membeli perahu dan membangun pasar ikannya sendiri, bisa membuka perkebunan yang tidak dikontrol harganya oleh pasar.

Sayang, ummat kita belom dimaksimalkan potensi berjamaahnya. Potensi ummat, terutama dari sisi berjamaah ini, baru dimanfaatkan oleh segelintir orang. 

Misal, kebutuhan orang untuk makan, udah kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berjualan. Bukan kemudian pasarnya yang dimiliki oleh masyarakat. 

Salah satu atau mungkin banyak properti besar, dikucurkan dana hingga ratusan milyar, dari sebuah bank. Itu juga pemanfaatan yang boleh jadi positif, boleh jadi tetap negatif, untuk ekonomi jangka pendek dan panjang.
Ulasannya bukan di sini tentunya. Seperti satu berita bahwa satu bank memberi Rp 600 milyar untuk satu kelompok properti besar. Apa yang saya baca? 

Jutaan ummat berkumpul, menabung. Lalu tabungan mereka digunakan untuk membiayai properti tersebut, yang kelak properti ini justru menggusur masyarakat penabung yang notabene rakyat kecil, yang justru tidak akan mampu membeli properti mereka. Duit mereka membunuh mereka sendiri. 

Tapi saya gak mau jadi the loser. Sisi positifnya jelas banyak. Pasti ada keuntungannya. Jangka pendeknya, bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak.
Kemudian bila pajaknya cakep pengelolaannya, bisa dipakai untuk ummat yang lebih banyak. Tappiii... Entahlah. 

Berjamaah, sungguh Allah dan Rasul-Nya menyeru, bukan hanya di urusan shalat. Ayo dong, di semua urusan. Bahkan di dalam urusan politik. Ummat bercerai berai gak keruan. 

Visi misi yang udah gak sama lagi, hingga kemudian noda perilaku dan karakter, menyempurnakan ketidaksolidan suara. Akhirnya suara banyak dipegang sama yang tidak lagi membela Allah dan Rasul-Nya, agama-Nya, dan ummat Islam. 

Di urusan ekonomi, saya mengingatkan diri saya, dan sebanyak-banyaknya orang, sesungguhnya kita masih teramat kuat.
Sebab kita ini banyak. Sungguh, kita ini banyak. Banyak banget. Bener-bener banyak. Mudah-mudahan kita ini sadar. 

Saya mencoba mengumpulkan baru 15 ribu orang saja, dan itupun baru tiga ribu orang kurang lebihnya, tapi sudah bisa mentake-over hotel Siti, yang didedikasikan buat hotel haji dan umrah sebagai pasar utamanya. 

Dua tower, masing-masing 12 lantai, 300 kamar. Baru 15 ribu orang, dan sekali lagi, itu pun baru tiga ribu orang. Gimana jutaan ummat? Perusahaan apa yang tidak bisa dibeli ulang? 

Bahkan perusahaan asing sekalipun, di negara mereka langsung, bisa dibeli oleh kita. Semoga kita semua diizinkan Allah bersatu, berjamaah. Diberi-Nya ilmu, kesempatan, kekuatan, termasuk juga ridha-Nya. Salam.

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur


Sabtu, 15 Juni 2013

Pandai Berkaca


 

Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan sertailah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menutupinya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang yang terpuji”. (HR. At-Tirmidzi dari Mu’az bin Jabal ra.) 

Dalam Matan Arba’in Imam an-Nawawi, (Hadits ke-35) mengutip nasehat Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa ketakwaan itu bersumber dan bermuara di dalam hati seseorang. 

Maka jangan hasad, tipu menipu, benci membeci, jauh menjauhi, menzhalimi dan menghina.  Setiap muslim itu bersaudara, sehingga haram darah, harta dan kehormatannya. (HR.Muslim). 

Jangan sombong, karena Allah tak suka kepada kesombongan walau hanya sebiji sawi. (HR. Muslim). Allah SWT. tidak melihat seseorang dari tampilan  jasmaniyah dan rupa, tapi dari  hati dan amal perbuatan. (HR. Muslim). 

Tidak patut menghina, mencari-cari kesalahan, menzalimi dan menghukumi orang lain, meskipun secara lahiriyah ia berbuat kesalahan.
Jangan mengejek, menertawakan kekurangan dan menggunjing. Semua manusia sama di hadapan Allah, kecuali karena ketakwaannya. (QS.49:11-13). 

Jangan pula karena kebencian, kita tidak adil, menghina dan mengambil haknya. Adil dan baik dekat dengan ketakwaan  (QS.5:8, 16:90). 

Syaikh Abdul Kadir al-Jailani (1077-1166 M), seorang ulama dan sufi yang sangat terkenal khususnya di kalangan dunia tasawuf dan pengamal tarekat pernah memberi petuah berharga.  

Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam buku Nashaihul ‘Ibad (Bab. III. makalah ke-21) menukil enam petuah bijaksana dari guru para sufi tersebut agar menjadikan setiap orang yang kita temui menjadi cermin hidup yang baik untuk meningkatkan kualitas, moralitas dan integritas diri.   

Pertama, apabila engkau bertemu seseorang, katakanlah mungkin dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Pesan ini mendorong kita untuk tidak meremehkan seseorang meskipun secara tampilan lahiriyah bahkan juga kelakuannya sepintas kurang berkenan. 

Menghormati dan memuliakan orang lain adalah perbuatan terpuji. Setiap orang punya kekurangan juga kelebihan.
Tidak boleh menilai seseorang dari kelemahannya. Mungkin, dia punya keutamaan yang kita tidak miliki. Don’t judge the book by the cover(jangan nilai sebuah buku dari sampulnya).

Kedua, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih kecil (muda), katakanlah dia belum berbuat dosa kepada Allah, tentu dia lebih baik.
Bukankah seringkali orang tua under estimate (menilai rendah) kepada anak-anak karena usianya yang muda ?   

Padahal, ilmu dan kearifan tidak selalu melekat dengan usia yang tua. Orang yang muda bisa lebih berilmu dan arif melihat sesuatu.
Islam mengajarkan orang tua harus menyangi yang lebih muda. Justru, orang tua harus kagum dan mau belajar kepada yang muda.  

Ketiga, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah dia telah banyak beribadah kepada Allah.
Sepatutnya orang yang lebih muda menghormati dan memuliakan orang yang lebih tua.  Bukan termasuk seorang muslim yang baik, jika yang muda tidak menghormati yang tua. 

Pandangan kita bahwa orang tua sudah lebih banyak kebaikan dan kontribusinya bagi umat, tentu membuat kita hormat kepadanya dan berupaya untuk mengikuti langkahnya yang baik itu. 

Keempat, apabila engkau bertemu dengan orang yang berilmu (alim), katakanlah dia telah diberikan anugerah yang belum aku dapatkan, mengatahui apa yang belum aku ketahui dan mengamalkan ilmunya. 

Ilmu mendapat tempat terhormat dalam Islam, sehingga orang berilmu diberikan derajat yang mulia. (QS. 58:11).  Orang yang muda akan dituakan (dibesarkan) karena ilmunya. Sementara orang tua akan dikecilkan karena tidak berilmu. 

Jangan cari-cari kesalahan dan kekurangannya untuk menjadi alasan tidak perlu belajar kepadanya. Ikuti yang baik dan tinggal yang buruk darinya.   

Kelima, apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, katakanlah dia durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sementara aku berbuat dosa dengan pengetahuanku. 

Memang, paling mudah kita memerehkan orang bodoh, tidak sekolah dan tidak terpelajar. Sementara kita yang berpendidikan tinggi seakan paling terhormat dan patut dihormati. 

Bukankah tindakan buruk yang merugikan orang banyak justru dilakukan oleh orang berilmu (white crime)? Korupsi dan kemaksiatan sosial dan politik dilakukan oleh orang terpelajar.

Keenam, apabila engkau bertemu dengan orang kafir (kufur), katakanlah, mungkin juga aku bisa kafir  sehingga berakhir dengan amal yang jelek. Nilai dari sebuah amal diukur dari akhirnya. 

Orang saleh belum tentu berakhir dengan kesalehan. Begitu pun orang durhaka (ahli maksiat) belum tentu berakhir dalam kemaksiatan. 

Kita diajarkan untuk meminta  diberi ujung hidup yang  baik (husnul khatimah) dan dijauhkan dari akhir hidup yang buruk (suul khatimah).

Imam Bukhari meriwayatkan : “al-mukminu mir’atul mu’min” (seorang mukmin itu cermin bagi mukmin yang lain).  Meskipun, kita seringkali tidak pandai berkaca dari kehadiran seseorang. Merasa orang baik itu tidak baik. Tentu, lebih baik merasa belum baik.  

Pada akhirnya, kita tidak pernah tahu ujung dari perjalanan hidup ini. Apakah ketika ajal tiba, hidup berakhir dalam kebaikan atau keburukan ? Itu rahasia Ilahi.   

Merasa paling benar dan baik adalah kesombongan. Kesombongan adalah dosa awal makhluk (Iblis) dan mengikuti rayuannya adalah dosa pertama manusia (Nabi Adam as.), serta iri hati (hasad) menjadi awal pertumpahan darah manusia pertama di muka bumi (Qabil dan Habil).Allahu a’lam bish-shawab. 

Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA

Menjemput Rezeki-Nya



Tatkala turun perintah hijrah dari Mekkah menuju Madinah, seorang sahabat Rasulullah SAW, Abdurrahman bin Auf berada dalam rombongan tersebut. 

Ia adalah salah seorang sahabat Rasul yang kaya raya, dermawan, saleh dan dijamin masuk surga. Sesampainya di Madinah, Nabi Muhammad SAW, mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar. 

Pada saat itu, Abdurrahman bin Auf, dipersaudarakan dengan seorang penduduk Madinah (kaum anshar) yang kaya raya dan pemurah bernama Sa’ad bin Rabi’. 

Setelah mereka berdua berikrar dan saling berpelukan, kemudian Sa’ad bin Rabi’ menawarkan harta dan istrinya kepada Abdurrahman bin Auf. 

“Aku memiliki harta yang banyak dan dua orang istri. Ambillah separuh dari hartaku dan pilihlah salah satu istriku yang menurutmu paling cantik. Aku akan menceraikannya agar kau dapat memperistrinya,” ujar Sa’ad. 

“Tidak, terima kasih, saudaraku. Tolong tunjukkan padaku di mana letak pasar? Di sana agar aku bisa berdagang.” Abdurrahman menjawab. 

Dengan penuh keyakinan atas rezeki yang pasti diberikan Allah kepadanya, Abdurrahman bin Auf langsung meminta ditunjukkan pasar kepada saudara angkatnya, Sa’ad bin Rabi’, dari kalangan Anshar. 

Ia bersemangat menjemput rezeki-Nya dengan cara berniaga hingga menjadi pengusaha, saudagar kaya raya, dan seorang sahabat dermawan pada masa itu. 

Allah SWT memang tidak pernah melupakan seluruh makhluk-Nya. Dia akan memberikan rezeki kepada ciptaan-Nya tanpa kecuali. 

Dari mulai hewan, tumbuhan, manusia, dan segenap ciptaan-Nya yang ada di muka bumi akan mendapatkan rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup. 

Seekor cecak yang melata di dinding, misalnya, selalu mendapatkan rezeki dari sekelilingnya. Tumbuhan yang ada di muka bumi juga tumbuh dengan rezeki yang diberikan-Nya. 

Apalagi umat manusia, yang berpikir dan memiliki semangat. Tentunya telah disediakan rezeki oleh Allah agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Allah SWT Berfirman dalam kitab suci Al-Quran, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11]: 6). 

I’tibar yang digunakan dalam ayat ini bermakna bahwa binatang diberikan rezeki oleh Allah yang telah ditulis sejak di Lauh Mahfuzh. 

Kemudian dalam surah yang lain Allah SWT menegaskan kepada kita, “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Ankabut [29]: 60). 

Ayat ini, maknanya lebih dikhususkan pada umat manusia. Selain diberikan kepada binatang; rezeki juga pasti diberikan kepada umat manusia.  

Dua ayat dari surah yang berbeda di atas, menjelaskan ikhwal pentingnya meyakini bahwa kita tidak boleh takut kekurangan rezeki. Dalam bahasa lain, rezeki itu pasti, bukan sebuah misteri dan teka-teki. 

Sebab, seluruh makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, akan diberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Karena itu, takwa dan tawakal kepada-Nya dapat membuat kita merasakan kemudahan dalam memperoleh rezeki tersebut. 

Firman-Nya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya (ketika ditimpa kesulitan), dan Dia memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3). 

Rezeki itu bukan hanya persoalan matematis logis; tetapi menyangkut keyakinan spiritual dan teologis juga. Rezeki, yang kita peroleh ialah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah. 

Dia (Allah) tidak pilih kasih memberikan rezeki kepada umat manusia. Antara orang mukmin dengan kafir, kedua-duanya mendapatkan rezeki yang setimpal. Inilah bukti kasih sayang Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. 

Yakinlah Allah akan memberikan rezeki-Nya, kemudian jemputlah rezeki tersebut dengan mengoptimalkan segenap usaha dan doa seperti yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Wallahua’lam 

Oleh H.Dadang Kahmad

Galau dan Gelisah, Inilah Obat Mujarabnya



Galau atau gelisah bisa dialami oleh setiap orang. Biasanya kondisi mentalitas ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah ketidakberdayaan menanggung beban hidup, kegagalan, tekanan eksternal dan permasalahan berat lain yang  menerpanya. 

Efek dari kondisi ini biasanya ialah timbulnya gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan, terutama kesehatan jiwa. 
Sebuah kajian tentang kesehatan jiwa pernah menyebutkan, dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi.

Angka penderita gangguan jiwa tersebut tentu saja mengundang rasa prihatin. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengemukakan kembali tentang kebenaran Alquran yang menyatakan bahwa obat untuk menjadikan hati tenang dan tenteram serta terhindar dari rasa gelisah dan keluh kesah, tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT yang disertai kebiasaan berdzikir (mengingat Allah). (QS. Ar-Ra’du [13]:28) 

Secara ilmiah pula, para pakar kedokteran pun telah sampai pada suatu kesimpulan, bahwa obat mujarab untuk mengobati penyakit gelisah ini ialah bermuara kepada keimanan. 
 
William James, seorang profesor ilmu jiwa di Universitas Harvard Amerika, mengatakan bahwa obat yang paling ampuh terhadap penyakit gelisah tidak lain adalah keimanan. 

Demikian juga Dr Karl Young, seorang dokter ternama bidang kejiwaan pernah mengatakan, “Sesungguhnya setiap orang sakit yang meminta kepada saya sejak 30 tahun lalu, yang berasal dari seluruh pelosok dunia, rata-rata penyebab sakit mereka adalah karena goyahnya akidah. Mereka tidak akan pernah sembuh, kecuali setelah berusaha mengoptimalkan kembali keimanan mereka yang telah hilang tersebut.”

Demikianlah fakta ilmiah yang berhasil disimpulkan oleh para pakar dan ilmuan yang pada hakikatnya mempamerkan bukti kemukjizatan Alquran yang sudah lebih dulu menyatakan tentang urgensi iman kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk fungsinya sebagai obat  untuk mengatasi gelisah dan ganguan jiwa.
  
Dalam AlQuran pertengahan surah al-Ma’arij ditegaskan, bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat galau lagi keluh kesah, kecuali sembilan golongan, yaitu orang-orang yang melaksanakan shalat, orang-orang yang terhadap hartanya telah disediakan bagian tertentu (zakat) atau hak yang telah ditetapkan untuk orang-orang miskin, baik yang meminta atau pun yang tidak meminta, orang-orang yang meyakini hari kiamat, orang-orang yang takut terhadap azab Allah, orang-orang yang memelihara kemaluannya dari perbuatan keji, orang-orang yang mampu menjaga dan menunaikan amanat dan janji-janjinya, orang-orang yang memberikan kesaksiaannya dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah golongan penghuni surga lagi di muliakan. (QS. Al-Ma’arij[70]:19-35).

Oleh: Imron Baehaqi MA


Kamis, 13 Juni 2013

Perilaku Mushallin



Mushallin (orang yang suka mengerjakan shalat) seharusnya adalah orang-orang yang tunduk dan patuh pada ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya dalam seluruh aspek hidup dan kehidupannya.

Orang yang jujur, amanah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan fakhsyaa dan munkar (keji dan jahat).

Serta orang yang memiliki kecintaan dan kepedulian yang tinggi kepada orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, dan anak-anak yatim.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS Al-Ankabut (29): 45 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
   
Orang yang konsisten dan istiqamah dalam mengerjakan shalat adalah orang yang hati-hati dan bertanggungjawab di dalam melakukan berbagai macam perbuatan dan tindakan, sekaligus menjaga mulutnya dari pernyataan dan statement yang merugikan orang atau pihak lain.

Karena ia menyadari bahwa ia akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya.

Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah (2): 45-46 “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.
   
Orang yang selalu mengerjakan shalat dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, akan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Aturan dan norma-Nya akan berusaha untuk selalu diimplementasikan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata keseharian.

Inilah makna shalat itu salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengingat Allah SWT (zikir kepada-Ku), sebagaimana firman-Nya dalam QS Thaha (20): 14 “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
   
Jika di dalam kenyataan kehidupan sekarang banyak orang yang shalat tetapi tetap mengerjakan kejahatan dan keburukan, seperti korupsi, perzinaan dan perbuatan buruk lainnya, serta tidak mau memerhatikan dan memedulikan orang-orang miskin dan anak-anak yatim, berarti shalatnya belum dilakukan dengan penuh kesungguhan, kerendahan hati dan keikhlasan kepada Allah SWT.

Shalatnya baru sebatas melaksanakan kewajiban semata, belum masuk pada struktur rohani dan kepribadian.

Inilah yang dikecam oleh Allah SWT dalam QS Al-Ma’un (107): 4-7 “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
   
Semoga kita tetap istiqamah dalam menegakkan shalat dan berusaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan keseharian. Wallahu A’lam.


KH Didin Hafidhuddin
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/06/12/moagez-perilaku-mushallin

Menahan Marah



Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin keempat yang sangat terkenal dengan keutamaan akhlak dan integritasnya. Pernah suatu hari beliau memanggil budak yang dimilikinya karena satu keperluan.

Tetapi, budak itu tidak menyahut. Amirul mukminin pun memanggilnya lagi. Sayang, budak itu belum pula menyahut. Bahkan, sampai panggilan yang ketiga.

Dengan sabar beliau mencari ke mana perginya budak itu. Akhirnya, ia ditemukan sedang santai berbaring. Anehnya lagi, ternyata ia tidak sedang terlelap.

Ali lalu bertanya, “Tidakkah kamu mendengar panggilanku tadi, hai Ghulam?” Budak itu menjawab, “Benar, saya mendengar.” Percakapan pun berlanjut. “Lalu, mengapa kamu sama sekali tidak menjawabnya?” tanya Ali heran.

Saya sangat yakin Anda tidak akan menghukum saya, jadi saya pura-pura malas,” jawabnya tanpa rasa bersalah. Tanpa marah sedikit pun, amirul mukminin akhirnya memutuskan, “Kalau begitu, dengan mengharap rahmat Allah, mulai sekarang kamu bebas.”

Luar biasa kesabaran Ali bin Abi Thalib. Kita mungkin tidak habis pikir bagaimana beliau menahan diri agar tidak marah.

Dalam kondisi umum, manusia biasa pasti tersulut emosinya. Atasan mana yang tidak meledak kemarahannya saat panggilannya diabaikan pembantu atau bawahannya secara sengaja.

Namun, hanya Ali orang yang mampu melakukannya. Bahkan, detik itu juga budak tersebut malah dimerdekakannya. Subhanallah.

Bila membandingkan sikap Ali dengan akhlak para bos atau atasan hari ini, tentu sangat jauh berbeda. Sehari-hari kita menonton di televisi tentang derita para pembantu rumah tangga (PRT) yang seolah tidak ada habis-habisnya.

Penderitaan yang mereka terima sungguh tidak manusiawi. Para PRT itu tidak melakukan kesalahan fatal. Tetapi, mereka disiksa kadang karena urusan sepele dan remeh.

Ada yang tidak diberi makan, diseterika badannya, disiram air panas, bahkan sampai dibunuh. Beberapa pekan lalu, kita kembali tersentak mendengar puluhan orang dipekerjakan bak budak, bahkan lebih kejam daripada budak.

Di Tangerang, Banten, tepatnya di sebuah pabrik kuali rumah tangga, beberapa anak manusia diperlakukan layaknya binatang.

Sayyidina Ali mengajarkan kita bagaimana memanusiakan manusia. Betapa pun rendah profesi budak —yang pada zaman itu masih ada— Sayyidina Ali tidak mengumbar marah menanggapi ulah budaknya.

Seandainya beliau marah pun, masih dibenarkan. Namun, ternyata beliau malah menahan diri, tidak melampiaskannya.

Mengapa marah menjadi pilihan utama saat ada yang tidak pas dalam penilaian kita? Padahal, masih ada opsi lain berupa teguran, nasihat, atau masukan.

Bagi sebagian orang, marah adalah teguran, nasihat, bahkan masukan itu sendiri. Padahal, antara marah dan teguran itu berbeda. Menegur atau menasihati seseorang mesti menggunakan bahasa pilihan yang santun.

Itu agar teguran bisa mudah diterima. Sedangkan marah, konotasinya nada tinggi dan bahasa yang menjurus kasar. Amarah juga sangat dekat dengan kekerasan.

Intimidasi yang kerap diterima bawahan umumnya berupa kekerasan verbal. Misalnya, kalimat sumpah serapah dan kekerasan fisik berupa pukulan atau siksaan.

Sebaiknya, para atasan menjaga diri dari intimidasi semacam ini. Karena, bagaimanapun bawahan adalah manusia. Mereka bekerja demi kepentingan atasannya.

Kita harus belajar bagaimana seharusnya menjadi seorang atasan. Jangan sampai marah menjadi menu sehari-hari yang kita hidangkan kepada bawahan kita. Kita menjadi cepat mendidih bila melihat pekerjaan kurang beres.

Selain itu, kita cepat naik darah melihat bawahan sedikit lambat menyahut panggilan. Kita ceplas-ceplos mengatakan goblok, tidak becus, dan bodoh kepada anak buah kita.

Mungkin saja, bawahan itu butuh bimbingan atau butuh waktu melakukan sesuatu yang kita inginkan. Semoga kisah Sayyidina Ali di atas bisa menginspirasi kita semua.


Oleh: Muhammad Shobri Azhari