Senin, 31 Maret 2014

9 Waktu Dianjurkan Membaca Surat Al Ikhlas




Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ’ala Rosulillah wa ’ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Beberapa kesempatan yang lalu Rumaysho.com memuat artikel mengenai tafsir dan fadhilah surat Al Ikhlas. Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas waktu yang dianjurkan membaca surat Al Ikhlas. Semoga kita bisa mendapatkan keberkahan dengan mengamalkannya.

Pertama: waktu pagi dan sore hari. 

Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash bersama dengan maw’idzatain (surat Al Falaq dan surat An Naas) masing-masing sebanyak tiga kali. Keutamaan yang diperoleh adalah: akan dijaga dari segala sesuatu (segala keburukan).
Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari bapaknya ia berkata,

خَرَجْنَا فِى لَيْلَةِ مَطَرٍ وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِيُصَلِّىَ لَنَا فَأَدْرَكْنَاهُ فَقَالَ « أَصَلَّيْتُمْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا فَقَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَقُولُ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى 
وَحِينَ تُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ »

Pada malam hujan lagi gelap gulita kami keluar mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat bersama kami, lalu kami menemukannya. 
Beliau bersabda, “Apakah kalian telah shalat?” Namun sedikitpun aku tidak berkata-kata. Beliau bersabda, “Katakanlah“. Namun sedikit pun aku tidak berkata-kata. 
Beliau bersabda, “Katakanlah“. Namun sedikit pun aku tidak berkata-kata. Kemudian Beliau bersabda, “Katakanlah“. Hingga aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku katakan?” 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah (bacalah surat) QUL HUWALLAHU AHAD dan QUL A’UDZU BIRABBINNAAS dan QUL A’UDZU BIRABBIL FALAQ ketika sore dan pagi sebanyak tiga kali, maka dengan ayat-ayat ini akn mencukupkanmu (menjagamu) dari segala keburukan.” 
(HR. Abu Daud no. 5082 dan An Nasai no. 5428. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kedua: sebelum tidur. 

Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas dengan terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan, lalu keduanya ditiup, lalu dibacakanlah tiga surat ini. Setelah itu, kedua telapak tangan tadi diusapkan pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Cara seperti tadi diulang sebanyak tiga kali.
Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017)

Ketiga: ketika ingin meruqyah (membaca do’a dan wirid untuk penyembuhan ketika sakit).

Bukhari membawakan bab dalam shohihnya ‘Meniupkan bacaan ketika ruqyah’. Lalu dibawakanlah hadits serupa di atas dan dengan cara seperti dijelaskan dalam point kedua.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَفَثَ فِى كَفَّيْهِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيعًا ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ ، وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ . قَالَتْ عَائِشَةُ فَلَمَّا اشْتَكَى كَانَ يَأْمُرُنِى أَنْ أَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur, beliau akan meniupkan ke telapak tangannya sambil membaca QUL HUWALLAHU AHAD (surat Al Ikhlas) dan Mu’awidzatain (Surat An Naas dan Al Falaq), kemudian beliau mengusapkan ke wajahnya dan seluruh tubuhnya.  
Aisyah berkata, “Ketika beliau sakit, beliau menyuruhku melakukan hal itu (sama seperti ketika beliau hendak tidur, -pen).“  (HR. Bukhari no. 5748)

Jadi tatkala meruqyah, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas dengan cara: Terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan lalu keduanya ditiup lalu dibacakanlah tiga surat tersebut. Setelah itu, kedua telapak tangan tadi diusapkan pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Cara seperti ini diulang sebanyak tiga kali.

Keempat: wirid seusai shalat (sesudah salam). 

Sesuai shalat dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An Naas masing-masing sekali. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ الْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padaku untuk membaca mu’awwidzaat  di akhir shalat (sesudah salam).” 
(HR. An Nasai no. 1336 dan Abu Daud no. 1523. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud mu’awwidzaat adalah surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani. (Fathul Bari, 9/62)

Kelima: dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh).

Ketika itu, surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Dari’ Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } وَ { قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُوْنَ

Sebaik-baik surat yang dibaca ketika dua raka’at qobliyah shubuh adalah Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan Qul yaa ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun).” (HR. Ibnu Khuzaimah 4/273. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Silsilah Ash Shohihah bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 646). Hal ini juga dikuatkan dengan hadits Ibnu Mas’ud yang akan disebutkan pada point berikut.

Keenam: dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah ba’diyah maghrib.

Ketika itu, surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَا أُحْصِى مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Aku tidak dapat menghitung karena sangat sering aku mendengar bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat pada shalat dua raka’at ba’diyah maghrib dan pada shalat dua raka’at qobliyah shubuh yaitu Qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al Kafirun) dan qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash).” (HR. Tirmidzi no. 431. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Ketujuh: dibaca ketika mengerjakan shalat witir tiga raka’at.

Ketika itu, surat Al A’laa dibaca pada raka’at pertama, surat Al Kafirun pada raka’at kedua dan surat Al Ikhlash pada raka’at ketiga.
Dari ‘Abdul Aziz bin Juraij, beliau berkata,  “Aku menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah membaca Al Fatihah) ketika shalat witir?”

‘Aisyah menjawab,
كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ يَقْرَأُ فِى الأُولَى بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَفِى الثَّانِيَةِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَفِى الثَّالِثَةِ بِ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama: Sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa), pada raka’at kedua: Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al Kafirun), dan pada raka’at ketiga: Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan An Naas).” (HR. An Nasai no. 1699, Tirmidzi no. 463, Ahmad 6/227)

Dalam riwayat yang lain disebutkan tanpa surat al mu’awwidzatain.

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)

Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya melaksanakan shalat witir dengan membaca Sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa), Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al Kafirun), dan Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash)” (HR. Abu Daud no. 1423 dan An Nasai no. 1730)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,

وَحَدِيثُ عَائِشَةَ فِي هَذَا لَا يَثْبُتُ ؛ فَإِنَّهُ يَرْوِيهِ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ ، وَهُوَ ضَعِيفٌ .وَقَدْ أَنْكَرَ أَحْمَدُ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ زِيَادَةَ الْمُعَوِّذَتَيْنِ .

“Hadits ‘Aisyah tidaklah shahih. Di dalamnya ada seorang perowi bernama Yahya bin Ayyub, dan ia dho’if. Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in telah mengingkari penambahan “mu’awwidzatain”.” (Al Mughni, 1/831)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan,

تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره دون قوله : والمعوذتين وهذا إسناد ضعيف عبد العزيز بن جريج لا يتابع في حديثه

“Hadits ini shahih kecuali pada perkataan “al mu’awwidzatain”, ini sanadnya dho’if karena ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij tidak diikuti dalam haditsnya.” (Tahqiq Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal, 6/227)

Jadi yang tepat dalam masalah ini, bacaan untuk shalat witir adalah raka’at pertama dengan surat Al A’laa, raka’at kedua dengan surat Al Kafirun dan raka’at ketiga dengan surat Al Ikhlas (tanpa mu’awwidzatain).

Namun bacaann ketika witir ini sebaiknya tidak rutin dibaca, sebaiknya diselingi dengan berganti membaca surat lainnya. Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah mengatakan,

والظاهر أنه يكثر من قراءتها، ولا يداوم عليها فينبغي قراءة غيرها أحياناً حتى لا يعتقد العامة وجوب القراءة بها

“Yang nampak dari hadits yang ada, hendaklah bacaan tersebut seringkali saja dibaca, namun tidak terus-terusan. Sudah seharusnya seseorang membaca surat yang lain ketika itu agar orang awam tidak salah paham,ditakutkan mereka malah menganggapnya sebagai perkara yang wajib.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 24/43)

Kedelapan: dibaca ketika mengerjakan shalat Maghrib (shalat wajib) pada malam jum’at.

Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Dari Jabir bin Samroh, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي صَلاَةِ المَغْرِبِ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ : ( قَلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُوْنَ ) وَ ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika shalat maghrib pada malam Jum’at membaca Qul yaa ayyuhal kafirun’ dan ‘Qul ‘ huwallahu ahad’. ” (Syaikh Al Albani dalam Takhrij Misykatul Mashobih (812) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Kesembilan: ketika shalat dua rak’at di belakang maqom Ibrahim setelah thowaf.

Dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang amat panjang disebutkan,

فجعل المقام بينه وبين البيت [ فصلى ركعتين : هق حم ] فكان يقرأ في الركعتين : ( قل هو الله أحد ) و ( قل يا أيها الكافرون ) ( وفي رواية : ( قل يا أيها الكافرون ) و ( قل هو الله أحد )

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan maqom Ibrahim antara dirinya dan Ka’bah, lalu beliau laksanakan shalat dua raka’at. Dalam dua raka’at tersebut, beliau membaca Qulhuwallahu ahad (surat Al Ikhlas) dan Qul yaa-ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun). Dalam riwayat yang lain dikatakan, beliau membaca Qul yaa-ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun) dan Qulhuwallahu ahad (surat Al Ikhlas).” (Disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 56)

Semoga sajian ini bermanfaat dan bisa diamalkan. Alhmadulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.



Keutamaan Surat Al Aikhlas Dan Surat Yang Lain

Keutamaan Sujud

Mencari Kebahagiaan Yang Hakiki





Ada yang berpendapat mencari kebahagiaan itu ibarat mengumpulkan serpihan kaca yang pecah. Ada yang berhasil mengumpulkan lebih banyak dan ada yang mengumpulkan paling sedikit.Tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil menumpulkan kesemuanya. Karena ketika mengumpulkannya, pasti ada yang terluka..'

Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita ini barada di antara orang-orang yang bahagia? Mungkin ada di antara kita yang memiliki harta berlimpah ruah, tetapi tidak merasa bahagia. Ada pula yang memiliki kemasyhuran dan kedudukan yang tinggi, namun tidak pernah merasa bahagia.

Kalau begitu, ternyata ukuran bahagia itu tidak terletak pada banyaknya harta, bukannya pula kedudukan, dan bukan juga pada kehebatan seseorang. Lalu, di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita mendapatkannya ?

Allah SWT berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).

Jadi jelas dan tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini, bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu ta'at dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.

Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “Mendapatkan Ridho Allah SWT



Kunci Kebahagiaan Hakiki



Alasan setiap manusia menuntut ilmu setinggi-tingginya baik dengan pendidikan formal di sekolah atau pelatihan-pelatihan, bekerja siang dan malam membanting tulang tanpa kenal lelah, mulai dari Pak Petani di sawah dan ladang sampai ke Pak Presiden di istana megah nan menjulang, adalah karena satu dorongan yaitu demi meraih kebahagiaan. 

Namun, mengapa kebahagiaan itu tak jua kunjung didapat? Mengapa hidup ini tetap saja terasa ruwet, sumpek, tidak bahagia walau kekayaan sudah ditangan, jabatan tinggi sudah berhasil diraih, bahkan popularitas sudah pula diperoleh.

Tulisan ini saya peruntukkan bagi mereka, para pencari kebahagiaan, tak terkecuali diri saya sendiri, agar dapat kembali mengingat apa hakikat sebenarnya dari usaha mencari kebahagiaan ini

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti kata kebahagiaan adalah kesenangan dan ketentraman hidup yang bersifat lahir dan batin. Demi meraih kebahagiaan ini, manusia rela melakukan apa saja walau sampai harus melukai dirinya sendiri. Permasalahannya, kadang kita keliru dalam memahami konsep kebahagiaan yang akibatnya membuat kita keliru pula dalam cara mewujudkannya. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kebahagiaan itu bersumber dari tiga hal yaitu; kekayaan, popularitas, dan kekuasaan.

Sebut saja seorang ayah yang sedang menasehati anaknya untuk rajin belajar di sekolah. Sudah tidak asing lagi rasanya ditelinga kita bahwa sang Ayah akan berkata,
“rajin-rajin lah belajar di sekolah ya nak, agar kamu jadi orang pinter, kalo kamu pinter kamu bisa bekerja di tempat yang bagus, jadi kamu bisa punya uang yang banyak, bisa punya rumah yang bagus, bisa hidup layak dihargai dan dikenal masyarakat, dan tentu suatu saat bisa juga membantu orang-orang yang lemah”.

Sekilas, memang tidak ada yang salah pada kalimat sang ayah, bahkan mungkin terdengar mulia, karena sang ayah mendidik si anak agar menjadi orang yang dermawan. Namun, apakah kalau tidak bisa jadi orang kaya, lantas semua kebahagiaan itu akan sirna? Lalu bagaimana dengan nasib orang yang terlahir dengan kondisi tidak sempurna, seperti cacat tidak memiliki kaki atau tangan, sehingga tidak mampu melakukan apa-apa selain meminta pertolongan; atau bagaimana dengan nasib orang yang lahir dari keluarga miskin seperti dibelahan dunia Afrika sana? Jangankan memikirkan pendidikan, memikirkan masalah makanan untuk esok hari saja amatlah sulit. Apakah kebahagiaan hanya untuk mereka yang kebetulan bernasib baik lahir dengan kondisi sehat dan serba lengkap? Atau kebahagiaan hanya milik mereka yang sukses mendapatkan harta berlimpah, terkenal, dan punya jabatan penting? Dimanakah letak keadilan Tuhan?

Kesalahan dalam memahami konsep kebahagiaan dapat berakibat sangat fatal. Contohnya, fenomena yang terjadi di Jepang. Jepang dikenal dengan negara super power dalam hal kekuatan ekonomi, teknologi, maupun karakter manusianya yang sangat santun, taat aturan, pekerja keras, jujur, dan juga sangat ramah. Namun disisi lain, Jepang juga sangat terkenal sebagai negara yang sangat tinggi angka bunuh dirinya. Pihak kepolisian Jepang mencatat kasus bunuh diri di Jepang mencapai sekitar 33 ribu orang pada tahun 2009 atau sekitar 100 orang setiap harinya. Bayangkan! ada 100 orang setiap hari bunuh diri di Jepang. Celakanya, fenomena bunuh diri ini berada pada urutan tertinggi dari penyebab kematian di Jepang untuk orang yang berumur antara 20-39 tahun, yaitu umur produktif dalam bekerja.

Lembaga-lembaga penelitian masyarakat mengungkapkan bahwa penyebab utama dari tingginya angka bunuh diri ini adalah karena depresi mental akibat tekanan ekonomi dan sosial. Sungguh paradoks rasanya mengingat Jepang sebuah negara yang kaya, dengan penduduknya yang rata-rata berpendidikan tinggi, fasilitas pemenuh kebutuhan dan kesehatan tersedia dengan lengkap, namun tetap saja masyarakatnya tidak juga dapat memperoleh kebahagiaan; sehingga memilih mati bunuh diri karena putus asa menjalani pahitnya kehidupan.

 

Dalam upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam membedakan mana kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini mengakibatkan kita terjebak pada kesenangan yang tidak membawa pada kebahagiaan. Untuk itu kita harus dapat membedakan dengan baik antara kesenangan dan kebahagiaan.

Menurut ilmu kedokteran, kesenangan adalah aktifitas yang dapat diamati secara fisik pada otak manusia yang terjadi akibat dirangsangnya saraf “pusat kesenangan” atau “pleasure center”. Saraf yang dirangsang ini akan menghasilkan mekanisme hormonal, yaitu keluarnya suatu zat kimia dari neuron di otak yang mengakibatkan timbulnya rasa enak, senang, dan nikmat. 

Jadi, untuk memperoleh rasa senang, mudah saja caranya, yaitu dengan merangsang saraf pusat kesenangan ini, misalnya dengan obat-obatan tanpa perlu bekerja atau bersusah payah. Sayangnya hal ini tidak dapat bertahan lama. Sementara kebahagiaan adalah keadaan yang berlangsung lama, tidak sementara, yang berhubungan dengan penilaian pada kehidupan secara keseluruhan. Kegagalan dalam membedakan makna kesenangan dan kebahagiaan membuat kita sering kali terfokus pada pemenuhan kesenangan, bukan kebahagiaan itu sendiri.

Tidak semua kesenangan membawa kebahagiaan. Sudah sering kita temukan fakta-fakta bahwa orang-orang yang secara umum dianggap bahagia, malah tidak merasa bahagia. Contohnya artis-artis terkenal yang malah stres karena tidak memiliki kehidupan pribadi yang normal akibat ketenarannya sendiri, seorang politikus yang malah menjadi sakit jiwa karena bangkrut akibat kalah kampanye, atau seorang konglomerat kaya raya yang merasa depresi tidak bahagia karena keluarganya berantakan kurang perhatian dan kasih sayang. Lebih parahnya lagi, pemenuhan kesenangan untuk mencapai kebahagiaan ini justru yang alih-alih menjadi salah satu penyebab utama rusaknya moral masyarakat, sehingga terjadi masalah kecanduan obat-obat terlarang, miras, penyakit sex karena gaya hidup bebas, pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, dan tindakan kriminal lain yang dilakukan demi mendapatkan kebahagiaan, padahal yang diperoleh hanya kesenangan sementara.

Allah SWT berfirman pada Al-Qur’an surat Thaahaa ayat 124;
“dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S.Thaahaa (20) : 124)


Rekan-rekan pencari kebahagiaan, pada surat Thaahaa diatas sebenarnya Sang Pencipta telah dengan jelas memberikan jawaban atas sumber dari semua permasalahan kebahagiaan. 

Allah SWT mengungkapkan rahasia penting bahwa pengabaian kita terhadap aturan-aturan dan peringatan-Nya akan mengakibatkan setidaknya dua bencana besar.

Yang pertama adalah kehidupan dunia yang sempit. Hidup dirundung banyak masalah, silih berganti dari satu masalah ke masalah yang lain. Hidup terasa sumpek, stres, ruwet, dan tidak kunjung bahagia padahal harta dan kekayaan sudah ditangan, jabatan penting sudah berhasil diraih, bahkan popularitas sudah pula diperoleh.

Yang Kedua adalah yang paling parah, yaitu sudah lah tidak mendapatkan kebahagiaan di dunia, di akhirat pun sudah pasti akan mendapat siksa. Kita akan dikumpulkan dan diazab serta dibuat buta diakhirat nanti. Naudzubillah min dzalik.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat memperoleh kebahagian hidup? Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).


Sudah sangat tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu taat pada seluruh aturan-Nya dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.

Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik itu dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “mendapatkan ridho Allah SWT”.
Kekayaan, popularitas dan kekuasaan tidak lagi menjadi tujuan utama; sehingga terlepas apakah sebuah usaha kita berhasil atau gagal, kita akan tetap merasa bahagia karena tujuan utama kita dalam berusaha adalah mendapatkan ridho Allah SWT, bukan kekayaan, popularitas, ataupun jabatan semata.

Seberat apapun cobaan, kesulitan, dan penderitaan yang dirasakan, akan dapat dilalui dengan ikhlas, mudah, dan hati lapang; karena kita yakin Allah SWT akan membalas semua usaha itu dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda. Ini lah yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada surat An-Nahl (16) : 97 diatas, yaitu tercapainya kebahagiaan hakiki. Hidup jadi terasa ringan, mudah, simple, penuh makna, tidak sia-sia, dan tanpa beban, karena kunci kebahagiaan adalah bukan pada hasil tetapi pada cara mewujudkannya. Hati akan senantiasa ikhlas menerima apapun ketentuan Tuhan, karena yakin bahwa itu lah hasil terbaik yang diberikan Sang Maha Pengasih dan Penyayang.

Dengan konsep kebahagiaan hakiki ini, masalah ketidakadilan Tuhan yang saya kemukakan diawal tulisan ini dapat dengan mudah dipecahkan. Walaupun seorang manusia dilahirkan dengan kondisi cacat dan dari keluarga miskin sekalipun, atau semua usaha yang dilakukan berujung pada kegagalan dan penderitaan sekalipun, semua itu tidak akan membuatnya tidak bahagia dan putus asa apalagi sampai bunuh diri. Karena, sekali lagi, kebahagiaan hakiki diperoleh ketika ia berhasil mendapatkan ganjaran pahala atas apa yang diusahakannya; yaitu usaha yang dilakukan dengan dasar aturan-aturan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai tambahan, dengan dilengkapi pemahaman yang baik dalam membedakan kesenangan dan kebahagiaan, kita jadi lebih pandai memilih kesenangan apa yang boleh dan baik untuk kita, sehingga pada akhirnya benar-benar tercapai kebahagiaan yang hakiki.

Akhirnya, agar kita selalu menjadi orang yang sukses, beruntung, bahagia, dan selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT, izinkan saya menutup tulisan ini dengan mensitir Surat Al-Baqarah (1) ayat 2-5 yang artinya; 
“Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) Mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan Mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan Mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Karena itu, jadilah orang yang bertakwa jika ingin bahagia!

Oleh Farid Triawan, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh program Doktor di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Email: (farid.triawan@gmail.com)

Meraih Kebahagiaan Hakiki



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah, Dzat yang penuh kasih sayang kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keluarga, para sahabat, dan umatnya yang ta’at mengikuti sunnah-sunnahnya.
Bahagia, sebuah harapan yang siapapun pasti ingin mendapatkannya. Hingga seorang penjahat yang sangat bengis pun pasti dia ingin hidup bahagia. Banyak orang menempuh jalan-jalan yang mereka anggap jalan menuju kebahagiaan. Apakah benar mereka menuju kebahagiaan atau jangan-jangan menuju kebinasaan? Lalu kebahagiaan macam apakah yang mereka cari? Lantas bagaiamanakah caranya agar kita benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang hakiki? 

Jalan Kebahagiaan

Jalan kebahagiaan yaitu jalan yang selalu kita minta kepada Allah Ta’ala setiap kali kita shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah : 6-7)

Lalu jalan siapakah yang Allah telah beri nikmat kepada mereka? Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
 “Yaitu jalan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, Para shiddiiqiin (orang-orang yang teguh kepercayaannya kepada Nabi), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” 
 (QS. AnNisaa’ : 69)(lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Dan mereka itulah orang-orang yang sudah jelas dijamin kebahagiaannya oleh Allah Ta’ala.

Bahagia Semu dan Bahagia Hakiki

Banyak orang tertipu akan kemilau dan gemerlapnya dunia. Ada yang berjuang mati-matian mengumpulkan harta, ada yang mencari gelar dan pangkat setinggi langit, dan ada juga yang menceburkan dirinya ke dalam ketenaran di mata manusia. Dan jika mereka semua ditanya, pasti mereka sedang mencari kebahagiaan dengan hal itu. Namun itu semua adalah bahagia yang semu, bahagia yang berujung sengsara jika telah hilang apa yang mereka cari.

Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman Al ‘Umar hafizhahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang kaya raya kemudian tiba-tiba lenyap hartanya, dan hilang kekayaannya oleh suatu sebab, kemudian sisa hidupnya penuh dengan penderitaan dan kebinasaan” (As Sa’adatu bainal wahmi wal haqiqati, hal. 4)

Kebahagiaan Hakiki

Kita sudah tahu, ternyata apa yang diusahakan oleh kebanyakan manusia untuk memperoleh kebahagiaan tidak mengantarkan mereka kepada kebahagiaan yang hakiki. Memangnya dengan harta, dengan jabatan, atau dengan makanan yang lezat kita bisa bahagia? Namun apakah itu semua adalah sebenar-benar kebahagiaan? 

Melihat semua itu, ketahuilah bahwa bahagia ada dua macam, yaitu :

1. Kebahagiaan Inderawi, seperti berlimpahnya makanan yang lezat, minuman yang segar, pakaian, kendaraan, dan apa saja yang menjadi kebutuhan utama hidup kita dan tidak lebih dari itu. Maka kebahagiaan semacam ini bisa dirasakan baik oleh orang-orang yang beriman maupun orang kafir

2. Kebahagiaan Rohani, yaitu dengan bahagianya hati, lapangnya dada, pemandangan yang menyejukkan mata, dan ketenangan hidup. Dan inilah kebahagiaan yang seandainya bisa dibeli dengan uang niscaya orang-orang kaya pun akan berlomba untuk membelinya, samapai-sampai orang yang miskin sekalipun akan rela berhutang untuk mendapatkannya. Namun bukanlah demikian adanya, akan tetapi kebahagiaan ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah yang Dia kehendaki.(lihat Risalah ‘Ilmiyyah Syaikh Abdul Aziz As Sadhan)

Sebab-sebab Memperoleh Kebahagiaan Hakiki
Allah Ta’ala memberikan resep hidup bahagia yang sebenar-benarnya (hakiki) di dalam firman-Nya (yang artinya),
 “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 97)

Semua itu bisa kita dapatkan jika kita mau beramal shaleh disertai dengan penuh keimanan dan keihklasan mengharap ridha Allah dan sesuai tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Amal-amal Shaleh yang Bisa Menjadi Sebab Mendapatkan Kebahagiaan

1. Kuatnya tauhid
Maka seorang mu’min yang kuat di dalam mentauhidkan Allah Ta’ala tidak akan pernah menyandarkan nikmat dan bencana kecuali kepada-Nya. Maka sungguh indah apa yang dikatakan oleh Al Qadhi Syuraih, “Tidaklah aku ditimpa suatu musibah kecuali aku tetap memuji Allah Ta’ala karena empat perkara :  
Pertama, karena Allah memberikan kesabaran kepadaku untuk menghadapinya;  
Kedua, karena Allah memberikan aku kesempatan untuk ber-istirja’(yaitu mengatakan : ”Inna lillāhi wa innā ilaihi rāji’uun”);  
Ketiga, Allah tidak memberikan kepadaku musibah yang lebih besar darinya;  
Keempat, Allah tidak menjadikan musibah itu di dalam agamaku”

2. Berdoa dan merendahkan diri hanya kepada Allah Ta’ala semata
Seseorang yang ketika dia berdo’a hanya ditujukan kepada Allah pastilah hatinya akan merasa tenang dan yakin. Dengan hal itulah dia akan selalu bahagia. Karena dia meminta kepada Dzat yang Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan do’a setiap hamba-Nya.“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah) : bahwasanya Aku itu dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” (QS. Al Baqarah : 186)

3. Menjaga shalat fardhu lima waktu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan shalat lima waktu bagaikan sungai yang mengalir deras di depan pintu kalian, yang ia pergunakan untuk mandi lima kali sehari semalam” . Al Hasan mengatakan, “Mungkinkah ada kotoran yang tersisa?” (HR. Muslim)

Kaum muslimin rahimakumullah, marilah kita jaga shalat lima waktu kita. Dan wajib bagi kaum laki-laki berjamaah di masjid. Karena shalat yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya itu akan mencegah sesorang dari perbuatan keji dan mungkar.

4. Memperbanyak amalan-amalan sunnah setelah yang wajib
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman : Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan atasnya. Dam hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”(HR. Bukhari)

5. Berkumpul dan bergaul dengan orang-orang yang shaleh dalam majelis-majelis ilmu
Tidaklah kita dapatkan dari orang-orang yang shaleh kecuali perkataan yang baik, akhlak yang baik, dan semua kebaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikan hadiah minyak wangi kepadamu, atau engkau akan membeli minyak wangi darinya, atau setidak-tidaknya engkau akan mendapatkan bau semerbak wangi (dari minyak wangi yang ia jual). Adapun bersama tukang pandai besi, bisa jadi bajumu akan terbakar, atau jika tidak engkau pasti akan mendapati bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Interospeksi diri
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya interospeksi diri termasuk perkara yang bisa menyelamatkan seseorang dari siksa kubur”. Kemudian beliau melanjutkan, ”Hendaknya seseorang duduk mengingat Allah sesaat sebelum tidurnya, kemudian dia koreksi dirinya atas kerugian dan keuntungan yang dia dapatkan hari ini, lalu dia memperbaharui taubatnya kepada Allah Ta’ala, dia pun tidur dengan membawa diri yang sudah bertaubat. Dan dia lakukan setiap hari.” (Ar Ruh li Ibnil Qoyyim, 1/345)
(lihat Risalah ‘Ilmiyyah Syaikh Abdul Aziz As Sadhan)

Penutup

Sebenarnya masih banyak amal-amal ibadah yang bisa mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang hakiki. Namun di sini hanya disampaikan beberapa saja yang paling besar manfaatnya. Tentunya kita tidak bisa melakukan semua usaha untuk memperoleh kebahagiaan hakiki kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. Maka marilah kita senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufik dan karunia-Nya sehingga kita bisa memperoleh kebahagiaan yang sebenar-benarnya. Wallahul muwaffiq.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ’ala aalihi washahbihi wa sallama ajma’in, walhamdulillahi Rabbil ‘aalamin.


Penulis : Hasim Ikhwanudin (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)