Kamis, 28 Februari 2013

Etika Kepada Allah



Sulit membayangkan anak-anak didik kita saat ini untuk dapat beretika dengan Allah SWT, jika dalam keseharian mereka meninggalkan etika kepada sesama dan kedua orang tuanya. 

Anak-anak kita dewasa ini memandang orang tua sebagai kawan, partner dan sahabat. Bersamaan dengan itu pula, dalam diri mereka tidak tumbuh pemahaman bagaimana seharusnya mereka beretika terhadap kedua orang tuanya dan sesama manusia.

Sekilas kita memperoleh kemajuan dalam mendidik anak dengan cara modern ini, karena mereka dapat bersikap egaliter, setaraf dengan orang tua, kritis dan meniadakan  sikap ewuh pakewuh. Namun jika kita tidak mengajarkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka beretika dengan sesama dan orang tua, maka tidak mustahil mereka  akan tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang arogan, materialistis, dan tidak berbudi luhur. 

Jika mereka tidak tahu bagaimana seyogyanya diri mereka beretika terhadap orang tuanya, maka mereka juga tidak akan tahu mengenai apa yang harus dilakukannya pada saat orang tua mereka meninggal dunia. Mereka bahkan tidak akan mengerti bagaimana beretika dengan Tuhan mereka.

Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156).
Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher setiap manusia (QS. Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya.

Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116).

Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Allah SWT atas dirinya:

(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member petunjuk kepadaku, dan Yang member makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara': 78-80).

Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT:

Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?" Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).

Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak daripada manusia. Wallahu A'lam. 
 

Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

Subhanallah, Wudhu Antarkan Bilal bin Rabah Menjadi Penghuni Surga




Seorang kiai melakukan perjalanan bersama santri-santrinya. Di tengah perjalanan, ternyata masuk waktu (Zhuhur). Kemudian sang kiai, yang selalu mempunyai wudhu, bertanya  kepada para santrinya, “Apa kalian punya wudhu?”

“Tidak, Pak Kiai,” jawab santri-santrinya.

“Wudhu saja kalian tidak punya, apalagi duit …,” seloroh sang kiai.

Canda yang dilontarkan sang kiai tentu bukan tanpa pesan, melainkan menyisipkan nasihat yang menawan. Tidak hanya mempraktikkan gaya nasihat yang cair dan alami, tapi mencoba menggebah motivasi dan menggugah logika santri-santrinya; santri jangan susah, maka raih peluang-peluang yang ada di depan mata. Betapa banyak peluang dan hal-hal yang ringan dan gratis yang tersaji di hadapan mereka. 

Sang kiai mengingatkan, kalau hal-hal yang ringan dan gratis saja para santri tidak punya, seperti wudhu, bagaimana dengan hal lainnya yang harus dicari sedemikian rupa, misalnya duit atau kekayaan?

Pesan utama yang dipraktikkan sang kiai kepada para santrinya adalah bagaimana ia terus melazimkan wudhu. Sebab, banyak keutamaan dalam wudhu. Seorang Bilal bin Rabah bisa menjadi penghuni surga karena wudhu, bahkan kabar tersebut sudah ia terima sejak masih menjejakkan kakinya di muka bumi ini alias masih hidup.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.” 

Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).

Secara medis, sudah diakui bahwa wudhu bisa menghilangkan mikroba yang bersarang dalam hidung, yang jika mikroba ini cepat menyebar dan berkembang-biak, akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Lebih-lebih kalau sampai ke tenggorokan, lalu masuk menerobos ke peredaran darah. Maka, berbahagialah orang yang melazimkan diri berwudhu secara terus-menerus. Karena dengan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), lalu mengeluarkannya lagi, hidung bersih dari debu, kuman, dan bakteri.

Bahkan, Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria, memeluk Islam lantaran berhasil menguak keajaiban yang ada dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Adanya keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf menjadikan kondisi tubuh selalu sehat.

Manfaat secara ilmiah dan medis ini hanya sebagian kecil dari berkah wudhu. Masih begitu banyak hikmah lainnya dari amal yang ringan ini. Wudhu bisa menghapus dosa-dosa kecil dan mengangkat derajat seseorang (HR Muslim). 

Wudhu adalah tanda dari pengikut Nabi SAW (HR Muslim). Wudhu bisa mengurai ikatan atau jeratan setan (HR Bukhari-Muslim). Wudhu adalah separuh dari iman (HR Muslim). Dengan wudhu, seorang Muslim juga bisa meraih kecintaan dari Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222). 


Oleh
 Makmun Nawawi

Wara'




Suatu hari, Abdullah bin Umar membeli seekor unta kurus, lalu dibawa ke sebuah lembah yang banyak rerumputannya dan dibiarkan hidup tanpa digembala. Tak lama kemudian, unta itu menjadi gemuk dan dibawa ke pasar untuk dijual.

Pada saat itu, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, melakukan sidak ke pasar hewan. 'Milik siapa unta yang gemuk ini?' tanya Umar kepada para pedagang. 'Unta itu milik Abdullah bin Umar,' jawab mereka. 

Beliau lalu mencari anaknya, dan berkata, 'Hai Abdulllah, celakalah... celakalah anak Amirul Mukminin. Apakah ini unta kurus yang tempo hari engkau biarkan hidup di lembah itu?' Abdullah menjawab, “Ya, wahai ayahanda.

”Di hadapan pedagang, Umar menasihati anaknya. 'Gembalakanlah unta ini dengan baik, beri dia makan dan minum. Jangan engkau biarkan begitu saja, wahai anak Amirul Mukminin. Sekarang juallah unta gemuk ini, lalu ambillah modal awalnya saja, kemudian berikan keuntungannya kepada baitul mal.'

Kisah tersebut memberikan teladan moral kepada kita bagaimana seorang pemimpin umat sangat peduli terhadap 'sepak terjang anaknya'. Ia menunjukkan sifat wara' (sikap kehati-hatian). Umar tidak ingin anaknya memakan sesuatu yang berbau syubhat (tidak jelas), apalagi hasil korupsi. 

Beliau tidak ingin anaknya memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk memperoleh keuntungan 'tidak jelas' dari penjualan unta yang menjadi gemuk karena dibiarkan hidup di lembah.

Wara' merupakan sikap dan pola hidup yang sangat penting untuk mengerem laju syahwat duniawi dengan menjaga diri agar tidak berbuat dosa. Dengan belajar wara', setiap Muslim melatih dirinya untuk meningkatkan 'sensitivitas spiritualnya' dalam menjauhi larangan Allah.

Wara' merupakan benteng iman dan hati yang ampuh untuk pertahanan diri (self defence) dari perbuatan dosa. 'Tinggalkanlah yang meragukan menuju yang tidak meragukan.' (HR Turmudzi).

Dalam Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, suatu hari Hasan al-Basri bertemu salah seorang putra Ali bin Abi Thalib sedang bersandar pada dinding Ka'bah sambil memberi nasihat kepada jamaah. 

Hasan Basri bertanya kepadanya, 'Apa yang dapat menjaga agama itu?' "Wara',” jawabnya singkat. Ia bertanya lagi, "Apa yang menjadi penyakit agama?" “Tamak,” jawabnya.

Ia menambahkan, 'Wara' seberat atom itu lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.'Nabi SAW pernah berpesan kepada Abu Hurairah,"Jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau menjadi orang yang paling beribadah.' (HR Ibnu Majah)."

Ada tiga hal yang jika dipenuhi oleh Muslim, niscaya ia pasti mendapat pahala dan imannya sempurna: akhlak mulia yang dimiliki oleh masyarakat, wara' yang dapat memelihara dirinya dari larangan Allah, dan kesantunan dalam menghadapi orang-orang bodoh.' (HR al-Bazzar).

Sudah sepatutnya kita belajar menjadi wara' agar tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu, bujuk rayu setan, syahwat politik, syahwat korupsi, dan kenikmatan duniawi lainnya yang menipu. 

Al-Kirmani mengatakan, 'Tanda orang bertakwa itu wara'; tanda wara' itu berhenti dari hal-hal yang syubhat; tanda takut (kepada Allah) adalah bersedih; dan tanda raja' (penuh harap, optimis) adalah semakin taat kepada-Nya.' 



Oleh Muhbib Abdul Wahab

Tidak Ingin Populer




Al-Hasan al-Bashri bertutur tentang Ibnul Mubarak. Suatu saat Ibnul Mubarak pernah datang ke tempat sumber air yang disesaki banyak orang yang menggunakannya untuk minum. Kala itu orang-orang tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarak.
Orang-orang akhirnya saling berdesakan dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Ketika selesai mendapatkan minuman, Ibnul Mubarak pun berkata pada al-Hasan al-Bashri. “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.”

Sebagaimana banyak orang saleh dahulu kala, kita lihat tokoh agung Ibnul Mubarak ini lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah. Sementara sekarang ini, ribuan cara dan sensasi digunakan hanya karena ingin terkenal.

Tradisi tidak ingin populer demi menjaga keikhlasan amal, memang begitu kuat di kalangan mereka. Mereka tak peduli dengan gemerlap mobilitas manusia yang berkelas sekalipun.
Karena mereka lebih sibuk mengasah batinnya di hadapan Ilahi. Sebab, di sanalah dia bisa mereguk kenyamaan dan ketenteraman yang tak terperi.

Ibnu Atha’illah as-Sakandari, dalam kumpulan larik puitis tasawufnya yang terkenal, al-Hikam, menulis: Idfan wujudaka fil ardhil-khumul, fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu natajuhu  (Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna).

Tentu mereka juga tidak antisosial, karena justru dengan berinteraksi bersama manusia lain itulah, pesan-pesan Ilahi bisa disampaikan kepada mereka. Tapi mereka sama sekali tidak bangga dengan sanjungan manusia, karena bukan itu yang mereka tuju.

Dan jika sebaliknya yang terjadi, yakni senang dengan pujian mereka, hal itu menjadi petaka baginya. “Al-isti’nasu bin-nas, min alamatil-iflas (merasa nyaman dan senang bersama (pujian) manusia, adalah sebagian dari tanda kebangkrutan),” ujar Dzun Nun.

Bertumpu hanya kepada diri sendiri dan bukan kepada ketokohan, adalah pelajaran lain yang bisa diambil dari narasi di atas, yang mungkin nyaris punah dari kita.
Lihatlah fenomena yang terjadi di lingkungan kita, ketika kita mengurus suatu perkara tertentu, kita sering sekali dihadapkan oleh tembok birokrasi yang begitu kokoh sambil tidak memperoleh kejelasan perihal urusannya.

Tapi begitu yang datang tokoh anu atau anak tokoh anu, serta merta hal itu memutuskan jalur antrian yang panjang sekalipun, mengabaikan profesionalisme dan keahlian sehebat apa pun, sehingga publik pun sering mengandalkan tokoh tertentu untuk memperlancar urusannya. Karena memang sistemlah yang membentuk demikian.

Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada kurun tabi’in. Misalnya apa yang terjadi dengan tokoh besar di kalangan tabi’in, yaitu Ibnu Muhairiz. Basyir bin Saleh bertutur; Ibnu Muhairiz datang ke sebuah kedai dengan membawa satu daniq (seperenam dirham).
Dia ingin membeli sebuah baju. Kemudian seseorang berkata kepada pemilik toko, “Ini adalah Ibnu Muhairiz, berikanlah penjualan terbaik.” Ibnu Muhairiz marah, ia pun segera keluar, seraya berkata, “Saya membeli dengan harta saya, bukan dengan agama saya.”

Oleh : Makmun Nawawi

Selasa, 26 Februari 2013

Luasnya Rahmat Allah


Harus kita akui bahwa ibadah, amal saleh, dan bentuk-bentuk ketaatan lainnya kepada Allah SWT, masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan aneka kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan pada-Nya.

Sebaliknya, dibanding rahmat-Nya yang sampai kepada kita atau murka- Nya, yang justru deras mengguyur kita adalah rahmat-Nya.

Padahal, yang meluncur kencang adalah kemaksiatan dan dosa kita. Seakan murka-Nya tersembunyi di balik kasih sayang atau rahmat Allah.

Benarlah demikian adanya. Setiap hari kita menabung dosa, tapi justru dibalas oleh rahmat-Nya. Bukankah kita masih diperkenankan hidup. Udara dunia masih bisa kita hirup. Bahkan, berbagai fasilitas kehidupan pun masih dipenuhi.

Alam masih relatif bersahabat dengan kita bila dibandingkan dengan umat-umat terdahulu yang langsung diazab dan direspons oleh alam ketika dosa dan kemaksiatan semakin merajalela. Sekali lagi ini menandakan rahmat Allah di atas murka-Nya.

Karena itu, di hadapan para sahabatnya, Rasulullah berpesan, “Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah menuliskan di dalam kitab-Nya, yang kitab itu berada di sisi-Nya di atas Arsy, yang isinya adalah: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR Bukhari Muslim).

Pernah terjadi suatu waktu, rombongan tawanan perang dihadapkan kepada Rasulullah. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya itu maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan lalu menyusuinya.

Saat itulah Rasulullah bertanya kepada rombongan itu. “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Rombongan itu menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.”

Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini menyayangi anaknya.” (HR Bukhari Muslim).

Saudaraku, jika kini kita semakin yakin betapa luasnya rahmat Allah Ta’ala maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menjemputnya dan jangan sampai terlintas dalam benak pikiran untuk berputus asa. Sikap putus asa ini adalah sifat orang-orang kafir dan sesat.

“Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb- Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS al-Hijr: 55-56).

Yakinlah, siapa pun kita masih terbuka peluang meraih rahmat Allah SWT, walaupun banyak dosa dan kotoran kesalahan menyelimuti diri kita. Ingatlah, selama kita masih menghela napas, maka pintu rahmat Allah SWT senantiasa terbentang luas.

Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang memintanya. Karena itu, bersegeralah bertaubat dan meraih rahmat-Nya. Wallahu a’lam.



Oleh: Ustaz M Arifin Ilham
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/14/mgmdwh-luasnya-rahmat-allah

Apa Motivasi Kita Beribadah?



Mafhum bagi kita bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah. “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Ad-Dzariyat: 56). Ibadah di sini mencakup pengertian mahdlah dan mustafadah, yaitu setiap perbuatan baik yang bermanfaat dan diniatkan semata karena dan untuk Allah.

Kata Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilal Al-Quran, ibadah merupakan al-wadhifah al-ilahiyyah, tugas yang diembankan Allah kepada manusia. Jadi, manusia yang menjalankan ibadah, maka ia telah memfungsikan hakikat penciptaannya. Sebaliknya, manusia yang melalaikan ibadah, berarti telah mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Ibarat kata, lampu dibeli untuk tujuan penerangan. Ketika lampu tidak bisa lagi menerangi, berarti telah disfungsi. Itulah analogi bagi manusia yang enggan beribadah.

Tetapi, motivasi (niat) menjadi unsur penentu dalam ibadah. Dan motivasi ibadah setiap orang ternyata tidak pernah sama. Ada lima tingkat motivasi ibadah. Pertama, ibadah al-mukrohin. Ini adalah tingkat motivasi terendah. Pada tingkat ini, ibadah hanya dipahami sebagai kewajiban. Ibarat anak SD yang mengerjakan PR, orang beribadah bukan didorong dari dalam, melainkan karena paksaan dari luar. Malah kerap sekadar untuk kepantasan. “...mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta, kecuali dengan rasa enggan” (At-Taubah: 54).

Kedua, ibadah al-ummal. Ibadah pada tingkat ini penuh vested interest. Ibarat seorang kuli, orang rela bekerja siang dan malam karena mengharap upah. Digambarkan Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Muslim, besok di hari kiamat ada tiga kelompok orang yang menghadap Allah dengan segudang kebaikan, tetapi mereka justru dilemparkan Allah ke neraka. Siapa mereka? Yaitu syuhada yang gugur di medan juang demi status pahlawan, cerdik pandai yang sibuk mengajarkan ilmu agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap dermawan. Kebaikan mereka tidak berharga sama sekali di mata Allah.

Ketiga, ibadah at-tujjar. Inilah ibadah cara pedagang. Ibadahnya semata karena tergiur imbalan lebih besar. Diceritakan, dalam suasana panas menyengat, Khalifah Umar bin Khattab meminta segelas air. Saat air sudah terhidang, mendadak sang khalifah menolak, sembari berkata, “Terima kasih. Aku tidak jadi minum, agar kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat kelak tidak berkurang”.

Terlepas dari kebenaran kisah ini, sikap Umar jelas menunjukkan betapa ia ogah melakukan sesuatu demi menerima imbalan yang menyenangkan di dunia. Khalifah berjuluk Al-Faruq itu teringat firman Allah, “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka. Kepada mereka dikatakan, kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik” (Al-Ahqaf: 20).

Keempat, ibadah al-muthi’in. Kualitasnya lebih bagus dari tiga tingkat sebelumnya. Motivasi ibadah pada tingkat ini adalah ketundukan kepada Allah. Ibadah bukan lagi karena paksaan dari luar, melainkan sudah tumbuh dari dalam. Bukan karena takut ancaman atau mengharap imbalan, melainkan karena ingin “balas jasa” atas segala nikmat dan karunia Allah kepada dirinya. Juga didorong keyakinan bahwa hikmah dan manfaat ibadah akan kembali kepada diri manusia. Ikrar hatinya, “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Al-An’am: 162).

Kelima, ibadah al-mutaladzidzin. Inilah puncak motivasi ibadah seorang hamba. Pada tingkat ini, ibadah tidak lagi untuk “balas jasa” apalagi karena tergiur pernik dunia. Ada kelezatan ibadah yang tiada tara. Sekejap saja waktu senyap dari ibadah, muncullah gemuruh rindu dan cinta yang menyesakkan dada. Ia telah keranjingan ibadah kepada Sang Maha Segalanya.

Pasti inilah yang dirasakan Rasulullah. Beliau dijamin surga, tetapi terus shalat sampai kaki bengkak. Juga Ali bin Abi Thalib yang begitu menikmati shalat, sampai pernah minta agar anak panah yang menancap di badannya dicabut ketika sedang shalat. Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sekaligus satu dari sepuluh sahabat yang mendapat garansi surga, bahkan ikhlas membagikan tiga kantung berisi uang hasil keuntungan dagangnya kepada mereka yang membutuhkan.

Nah, dimanakah posisi kita dari kelima tingkat motivasi ibadah di atas? 


Oleh M Husnaini, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/02/17/mid9mn-apa-motivasi-kita-beribadah

Kemajuan Teknologi dan Moralitas



Sebulan terakhir ini, marak pemberitaan prostitusi online yang dilakukan seorang mahasiswa di Bogor. Sebelum pemberitaan di Bogor, pemberitaan serupa juga terjadi di Bandung. Teknologi internet seakan-akan menjadi wadah untuk menyebarkan kemaksiatan.

Sungguh mengkhawatirkan di tengah-tengah perkembangan globalisasi saat ini. Terlebih dalam beberapa tahun ke depan, kita telah akan memasuki zona bebas ASEAN pada akhir 2015 nanti.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan teknologi kepada kita juga harus kita sadari dampak negatifnya, selain dampak postifnya juga. Dampak positif yang diberikan oleh jejaring sosial adalah kita bisa saling mengenal banyak teman yang berada jauh dari satu kota, luar kota, bahkan luar Negara. Jaringan yang luas memberikan kesempatan untuk kita memiliki banyak teman dari berbagai dunia.

Selain itu dengan adanya jejaring sosial memberikan kita kecepatan penerimaan informasi dengan cepat, akurat, dan terpercaya. Hal ini dikarenakan disitus jejaring sosial banyak sekali orang mengupdate statusnya dengan kondisi yang sedang dia rasakan saat itu. Ketidak terbatasan informasi ini memang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang menggunakannya dan haus akan informasi, dan tidak jarang banyak orang yang kecanduan dengan teknologi informasi yang satu ini.

Perkembangan teknologi juga berdampak negatif. Teknologi juga tidak sedikit yang memiliki muatan yang tidak ramah, khususnya bagi anak-anak. Contohnya Konten bermuatan pornografi yang marak dan hanya menguntungkan salah satu pihak, tanpa memperhatikan dampak sosial yang lain.Pelanggaran-pelanggaran juga sering terjadi dalam dunia teknologi, mulai dari pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, cyberstalking hingga prostitusi online.

Pertanyaannya, mengapa saat ini yang kerap muncul dampak negatif dari perkembangan teknologi itu. Jawabannya karena banyak orang memandang tidak ada hubungannya antara perkembangan teknologi dengan ajaran Islam.

Terkadang umat Islam saat ini memisahkan antara perkembangan teknologi dengan ajaran Islam. Jika demikian, maka salah besar itu. Islam juga berperan besar dalam kemajuannya, pengembangannya, sampai pada pengawasannya.Salah besar jika kita meganggap teknologi bukan bagian dari Islam ataupun Islam tidak membahas mengenai teknologi.

Islam telah mengajarkan banyak hal dalam kehidupan ini. Tidak hanya ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadist, tafsir dan lain sebagainya tetapi mencakup segala ilmu yang ada, mulai dari bakteri terkecil sampai pergerakan alam semesta melalui ilmu astronominya.

Banyak para ahli keilmuan Islam atau pun teori-teori keilmuan Islam yang menjadi dasar atau panduan bagi para ilmuan Eropa.Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an surat Ar-Rahman: 33: “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”

Nash di atas merupakan bukti bahwa islam juga merupakan pedoman utama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di zaman sekarang ini banyak orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan duniawinya sehingga mereka melupakan hubungannya dengan sang yang maha pencipta yaitu Allah SWT. Hal itu berdampak pada teknologi saat ini tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman yang dulu dilahirkan para ilmuan kita.

Bahkan sudah banyak kita lihat teknologi yang disalahgunakan manfaatnya dimana-mana. Inilah masalah dunia teknologi. Dimana dengan adanya teknologi justru melahirkan ketidakseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan sang pencipta.

Hal ini terjadi saat teknologi telah keluar dari fungsi dan manfaat sebenarnya. Hal ini terjadi saat moral-moral para pembuat ataupun pengguna telah mengalami kemerosotan Iman dan takwa mereka.

Sudah saatnyalah kita mengembalikan teknologi pada jalur yang sebenarnya. Jalur dimana Islam secara menyeluruh ataupun nilai-nilainya tertanam kuat dalam dunia teknologi

Bukanlah tidak mungkin untuk menerapkan sebuah konsep Islam dalam dunia teknologi bukan hanya sebagai pengerem kerusakan yang lebih banyak ditimbulkannya, tetapi juga demi terwujudnya kebangkitan umat Islam. Jika kita selalu beretika dalam berteknologi, memanfaatkan kemajuan teknologi, secara baik dan benar maka semuanya akan dapat berjalan secara selaras dan seimbang.



Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/02/23/minhj1-kemajuan-teknologi-dan-moralitas

Sujud


Harapan, jalan keluar, dan solusi akan selalu ada bila saudara bertuhan Allah. Karena, semua itu Allah yang punya.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tidak ada yang mustahil untuk Allah. Selalu ada itu semua.

Yuk, kita lihat ayat berikut ini. Ayat ini pernah memotivasi saya. Ayat ke-27 Surah as-Sajdah.

“Dan, apakah mereka tidak memerhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke Bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan?"

Saya melihat Allah menghalau awan yang mengandung air ke Bumi yang tandus hingga Bumi itu kemudian subur dan bisa bermanfaat.

Siapa yang mempunyai awan tersebut dan siapa yang mempunyai Bumi yang tandus? Tentu saja adalah Allah. Persoalan dan jawaban, Allah yang punya. Subhanallah. Lalu, mengapa kita bisa mencari pertolongan selain Allah? Sedang dua-duanya di tangan Allah?

Saya melihat ayat itu. Lalu, saya bahagia. Saya tersenyum. Saya yakin semua harapan pasti selalu ada. Semua jawaban selalu ada. Semua solusi juga selalu tersedia.

Itu semua bukannya tidak ada, kok. Persoalannya adalah apakah Allah mau “menghalau” itu semua? Menggiringnya? Hingga ada di hadapan kita?

Obat bukannya tidak ada. Tapi, Allah yang belum mengasih (memberi) buat kita. Obat-obat yang diminum sama yang sakit jadi tidak ada pengaruh semua. Duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, bukan tidak ada. Pastinya semua ada.

Saya yakin. Allah menyediakan persoalan, pasti berikut jawabannya. Tapi, duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, tidak atau belum disodorkan oleh Allah buat kita.

Melihat isi ayat itu, adanya di Surah as-Sajdah, saya lalu tersenyum dan juga bahagia. Sebab apa? Saya baik sangka sama Allah dan kagum sama Allah. Bahwa semua yang kita perlukan—sebagai “awan yang mengandung air”—untuk membuat Bumi yang tandus jadi subur adalah sujud. Ya, sujud. Kita harus bersujud.

As-Sajdah berarti sujud. Dan, memang persoalan ini persoalan abad ini juga. Makanya, orang kayak kehilangan arah.




Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/16/mgpexg-sujud