Kamis, 25 Agustus 2011

Esensi dari Kerahasiaan Lailatul Qadar dan Implikasinya

LAILATUL Qadar adalah salah satu keutamaan bulan Ramadhan.

Secara etimologis (harfiyah), Lailatul Qadar terdiri dari dua kata, yakni lail atau lailah yang berarti "malam hari" dan qadar yang bermakna "ukuran" atau "ketetapan".

Secara terminologis (maknawi), Lailatul Qodar dapat dimaknai sebagai "malam yang agung" atau "malam yang mulia".

Lalu, apakah sebenarnya Lailatul Qadar itu ?

Pada malam itu, para malaikat turun ke bumi dengan izin-Nya, sehingga sepanjang malam itu tersebar keselamatan bagi penduduk bumi hingga terbit fajar (QS. Al-Qadar: 1-5).

Menggapai sebuah malam Lailatul Qadar merupakan sebuah anugerah yang sangat luar biasa.Bagamana tidak ? rata2 usia hidup kita hanya berkisar 60 sampai 70 tahun. Sementara Lailatul Qadar adalah sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan (83 tahun)..

Begitulah Allah memberikan keistimewaan kepada Umat nabi Muhammad saw untuk memaksimalkan momen-momen tertentu dengan balasan yang berlipat ganda. Allah Maha Mengetahui bahwa rata2 umur umat Muhammad saw sangat singkat dibandingkan umat-umat sebelumnya. Oleh karena itu, pemberian malam Lailatul Qadar merupakan sebuah momentum yang mesti dimaksimalkan dengan sebaik-baiknya. Pada malam itu turun para malaikat dan ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar ( QS; Al-Qadr 4-5).

Rahasia Kedatangan Malam Lailatul Qadar

Hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui kapan tepatnya malam itu.

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan persis terjadinya Lailatul Qadar karena beragamnya informasi hadits Rasulullah serta pemahaman para sahabat:

1. Malam ke-27 (HR. Iman Ahmad, Thabroni, dan Baihaqi).
2. Malam 17 Ramadhan, malam diturunkannya Al-Quran (Nuzulul Quran).
3. Malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori, Muslim, dan Baihaqi).
4. Malam tanggal 21 Ramadhan
5. Malam tanggal 23 Ramadhan.
6. Pada tujuh malam terakhir (HR Bukhari dan Muslim).

Sebagai pegangan, kita bisa menarik kesimpulan, Lailatul Qadar terjadi pada malam ganjil dalam 10 terakhir bulan Ramadhan. Dengan demikian, “perburuan” malam itu bisa dilakukan mulai malam ke-21 hingga ke-29 Ramadhan, utamanya dengan i’tikaf di masjid.

Esensi dari kerahasiaan Lailatul Qadar adalah agar kita tetap istiqomah dalam menjalankan ibadah selama bulan ramadhan. Konsistensi adalah sebuah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh mereka yang ingin menggapai Lailatul Qadar. Jadi, dari awal sampai akhir ramadhan, hidup kita harus terisi dengan ibadah dan amal saleh. Jika konsistensi ini terjaga, maka bisa dipastikan kita akan meraih malam Lailatul Qadar.

Ibadah taraweh, Qiyamul Lail, membaca Aquran, zikir, tasbih dan ibadah sunah lainnya harus diperbanyak untuk meraih Lailatul Qadar. Selain itu juga harus disertai dengan amal sosial dalam bentuk zakat, infak dan sedekah dan perbuatan baik lainnya kepada sesama.

Tanda- Tanda Lailatul Qadar

Tanda-tanda Lailatul Qodar itu antara lain suasana malam itu terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk, tidak terasa panas, tidak juga dingin. Pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih, terang-benderang, tanpa tertutup awan (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailatul Qodar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan batinnya sehingga benar-benar menikmati kedekatan dengan Allah melalui ibadah pada malam itu.

Demi menggapai Lailatul Qodar, umat Islam diizinkan untuk hidup seperti pertapa, yakni i’tikaf, mengurung diri di dalam masjid, menyibukkan diri dengan sholat, dzikir, doa, dan pengkajian Al-Quran dan As-Sunnah, juga menggali hikmah di balik segala fenomena kehidupan, serta menjauhi segala urusan duniawi.

Implikasi lailatul Qadar

Orang yang menemui Lailatul Qodar akan berubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik dan mulia. Para malaikat yang ”menemu jiwanya” malam itu, akan tetap hadir memberikan bimbingan dalam hidupnya hingga akhir hayat.

Dengan kehadiran “semangat kebaikan” yang ditanamkan atau dibisikkan malaikat itu, bisikan nafsu dan setan akan terpinggirkan, takkan mampu mengalahkan pengaruh bisikan kebaikan malaikat.

Lailatul Qodar yang ditemui Muhammad Saw pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang kondisi diri sendiri dan masyarakat. Dalam kesucian dirinya, turunlah “Ar-Ruh” (Malaikat Jibril) membawa wahyu sehingga terjadilah perubahan total hidup Muhammad sekaligus mengubah peradaban dunia

Semoga kita termasuk orang yang dapat menggapai Malam Lailatul Qadar. Aamiin Ya Rabbal Alamin.


(Dari berbagai sumber)
http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/08/esensi-dari-kerahasiaan-lailatul-qadar.html

Rabu, 24 Agustus 2011

Catatan Akhir Ramadhan...


Tak terasa kita sudah berada di penghujung Ramadhan. Hanya tinggal beberapa hari kita akan mengakhiri Ramadhan ini. Semuanya berharap akan mendapatkan maghfirah dari Allah Azza Wa Jalla, dan kemudian menjadi hambanya yang muttaqin.

Sebagian dari kita di akhir Ramadhan malah tersibukkan dengan hal-hal dunia. Terasa semakin mendekati akhir Ramadhan banyak masjid yang jamaah menjadi lebih sedikit. Kita sudah mulai sibuk dengan persiapan Idul Fitri, yaitu berkaitan dengan kebutuhan pokok, berupa makanan, pakaian, dan rencana silaturrahim ke sanak famili dan handai taulan. Inilah yang menyebabkan tidak lagi masjid-masjid dipenuhi oleh para jamaah. Waktu-waktunya dihabiskan buka bersama di kantor-kantor, mall, plaza, dan tempat keramaian. Bukan lagi masjid yang menjadi tujuan mereka.

Jika pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan terjadi peningkatan kuantitas maupun kualitas ibadah yang dilakukan kaum muslimin, memasuki sepuluh hari yang kedua degradasi ibadah mulai nampak. Bahkan pada sepuluh hari terakhir tingkat degradasi ibadah semakin parah. Fenomena ini terlihat semakin sedikitnya umat Islam yang melaksanakan shalat berjamaah, termasuk shalat tarawih di masjid-masjid. Tadarrus Al Qur’an juga mulai ditinggalkan. Acara pengajian (ta’lim) pun semakin sepi peminat. Demikian pula tidak sedikit bentuk amal-amal kebaikan lainnya yang telah ditinggalkan kaum muslimin

Kecenderungan manusia yang hidupnya berorientasi kepada akhirat, jauh lebih sedikit, dibandingkan dengan mereka yang berorientasi kepada kehidupan dunia. Mereka yang tekun beribadah dan ingin menggapai adanya laylatul qadr, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang terus mengejar kehidupan dunia. Tetapi masih tetap ada, walaupun jumlahnya sangat sedikit, mereka yang ingin mendapatkan kemuliaan kehidupan di akhirat.

Hanya orang-orang yang memiliki komitment dan tingkat keimanan yang tinggi, yang dapat melaksanakan puasa, dan beribadah dengan sungguh-sungguh, sampai akhir Ramadhan. Selebihnya, manusia tak pernah mengindahkan akan kehidupannya yang akan berakhir, dan semuanya kekayaan yang mereka miliki itu, akhirnya berpisah dengan mereka.

Ibadah di bulan suci Ramadhan sebenarnya dapat diibaratkan seperti sebuah kompetisi olahraga lari marathon. Hanya pelari yang sampai pada garis finish lah dikatakan sebagai pemenangnya. Demikian pula ibadah pada bulan suci ini, hanya mereka yang bertahan melakukan ibadah-ibadah mulia hingga akhir Ramadhan lah yang disebut sebagai pemenangnya. Para pemenang inilah yang akan diberi gelar sebagai orang-orang yang bertaqwa.

Tidak ada gelar yang lebih mulia dan tinggi dari itu. Maka setiap hamba yang telah mampu meraih gelar taqwa, ia dijamin hidupnya di surga dan diberi kemudahan-kemudahan di dunia. Dan puasa adalah sarana untuk mendapatkan gelar taqwa itu.
"Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS al-Baqarah: 183).

"...Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. Ath Thalaaq: 2)

"...Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya."
(QS. Ath Thalaaq: 4)

"Dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya...."
(QS. Ath Thalaaq: 3)


Ya Allah, betapa kami tak bisa berbuat lebih banyak di ramadhan ini. Betapa kami hanya mampu untuk mereguk nikmat, mereguk senang, tanpa bisa sedikit pun berikan yang terbaik untukMu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta ketimbang mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian dari kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadhan bagi segolongan dari kami, sekadar ekstravaganza ibadah. Nyaris hanya secuil yang bisa kami maknai kemuliaannya.

Ya Allah, kami ingin mengadu kepadaMu. Meski kami malu karena selalu memalingkan wajah dari perintahMu. Kami mencoba menghempaskan beban yang kami derita. Kami berupaya untuk membuang semua penat di jiwa kami. Di akhir ramadhan ini kami cuma bisa mengeluh. Bahkan adakalanya keluhan itu bersumber dari kebodohan kami yang buta atas titahMu. Sepertinya kami tak pantas berbagi dengan-Mu. Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari kesombongan kami, kejahilan kami, dan dari bebalnya kami.

Ya Allah, ijinkan kami untuk bersimpuh di hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan memudarkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membeberkan luka-luka ini. Karena luka yang kami miliki, juga akibat kami tak mampu memenuhi syariatMu. Kami merasa berada di dalam sebuah lorong yang gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa kering, meski setiap hari dibasuh dengan kalimat-kalimatMu yang sejuk. Jiwa kami berdebu, meski setiap detik disapu firmanMu. Ramadhan bagi kami, ternyata hanya menyisakan luka, perih, dan sepi.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai puasa yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirakhmati bukan yang hampa semata. Seandainya masih tersisa padaku dosa yang belum Kau ampuni, atau dosa yang (menyebabkan) aku disiksa karenanya (hingga) terbitnya fajar malam ini, atau hingga berlalunya bulan ini, maka ampunilah semuanya, wahai Dzat Yang Paling Pengasih dari semua yang mengasihi.

Ya Allah, terimalah puasaku dengan sebaik-baiknya penerimaan, perkenanan, maaf, kemurahan, pengampunan, dan hakikat keridaanMu. Sehingga Kau memenangkan aku dengan segala kebaikan yang dituntut, segala anugerah yang Kau curahkan di bulan ini. Selamatkanlah aku di dalamnya dari kekhawatiran terhadap bencana yang mengancam atau dosa yang berlangsung terus.

Demikian pula, dengan rakhmatMu golongkanlah aku ke dalam orang-orang yang mendapatkan (keutamaan) malam al-Qadar. Malam yang telah Kau tetapkan lebih baik dari seribu bulan dalam keagungan ganjaran, kemuliaan perbendaharaan, keindahan syukur, panjang umur, dan kemudahannya yang berlanjut.

Semoga perpisahanku dengan bulan Ramadhan ini bukanlah perpisahan untuk selamanya dan bukan pula akhir pertemuanku. Sehingga aku dapat kembali bertemu pada tahun mendatang dalam keadaan penuh keluasan rezeki dan keutamaan harapan.



(Diambil dari berbagai sumber)
http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/08/catatan-akhir-ramadhan.html

Pengetahuan Al-Qur'an


Semua yang telah kita pelajari sejauh ini memperlihatkan kita akan satu kenyataan pasti: Alquran adalah kitab yang di dalamnya berisi berita yang semuanya terbukti benar.

Fakta-fakta ilmiah serta berita mengenai peristiwa masa depan, yang tak mungkin dapat diketahui di masa itu, dinyatakan dalam ayat-ayatnya. Mustahil informasi ini dapat diketahui dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masa itu. Ini merupakan bukti nyata bahwa Alquran bukanlah perkataan manusia.

Alquran adalah kalam Allah Yang Maha Kuasa, Pencipta segala sesuatu dari ketiadaan.
Dialah Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dalam sebuah ayat, Allah menyatakan, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS An-Nisaa': 82)

Tidak hanya kitab ini bebas dari segala pertentangan, akan tetapi setiap penggal informasi yang dikandung Alquran semakin mengungkapkan keajaiban kitab suci ini hari demi hari.

Apa yang menjadi kewajiban manusia adalah untuk berpegang teguh pada kitab suci yang Allah turunkan ini, dan menerimanya sebagai satu-satunya petunjuk hidup. Dalam salah satu ayat, Allah menyeru kita: "Dan Alquran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat." (QS Al-An'aam: 155)

Dalam beberapa ayat-Nya yang lain, Allah menegaskan:

"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (QS Al-Kahfi: 29)

"Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." QS 'Abasa: 11-12)


http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/mukzizat-alquran/11/08/25/lqglqu-pengetahuan-alquran

Selasa, 23 Agustus 2011

Inilah Amal Berbuah Cinta Allah


Orang yang paling bahagia adalah orang yang menjadi kekasih Allah.

Seorang hamba yang menjadi kekasih Allah pasti akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Amal saleh merupakan fondasi utama yang akan mengantarkan kita menjadi kekasih-Nya. Lalu, bagaimana caranya agar ibadah yang kita lakukan bisa mengantarkan pada cinta Allah SWT ? Paling tidak ada lima kiat yang harus kita lakukan.

Pertama, lakukan ibadah dengan penuh cinta. Cinta manusia kepada Allah adalah puncak cinta manusia yang paling bening dan jernih. Cinta sebagai media untuk mengikat atau menghubungkan hamba dengan Allah. Adanya kerinduan ingin bertemu dengan Allah dan kerinduan kepadanya bukan hanya dengan berkomunikasi dalam bentuk shalat, doa, zikir, dan membaca Aquran tetapi diwujudkan juga dalam sikap istiqamah atau konsisiten dalam berpegang teguh pada ajaran Islam.

Rasulullah SAW mengingatkan, "Seorang hamba tidak disebut beriman kecuali bila aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya." (HR Bukhari).

Kedua, lakukan amal saleh secara maksimal sesuai dengan kemampuan. Seorang pengusaha tidak mungkin sukses tanpa mengalami rintangan. Seorang pelajar tidak mungkin menjadi ilmuwan tanpa melalui tahap pendidikan dan ujian. Begitu pula dengan surga. Seorang hamba yang berniat ingin meraih kenikmatan surga, tentu saja harus melewati tahapan ujian dari Allah.

Ketiga, mujahadah, yakni bersungguh-sungguh melakukan amal saleh sehingga setan tidak memiliki peluang untuk menggelincirkan manusia ke dalam kesesatan. Allah SWT akan memberikan petunjuk ke jalan yang diridai-Nya kepada orang yang ibadahnya disertai mujahadah.

Sifat mujahadah ini tampak jelas pada Rasulullah SAW yang selalu melakukan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika itu, Aisyah RA bertanya, "Mengapa engkau lakukan hal ini (shalat malam), bukankah Allah SWT sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang? Rasulullah SAW bersabda, "Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?" (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat, sabar ketika beramal. Ibadah apa pun, shalat, puasa, zakat, haji, shalat malam, maupun ibadah lainnya, hendaknya dilaksanakan dengan sabar. Kelima, berjamaah dalam melakukan amal saleh.

Sebuah peribahasa menyebutkan, "Seekor harimau tidak akan pernah menerkam kambing yang sedang berkelompok." Peribahasa itu menunjukkan, musuh takut akan perlawanan yang dilakukan secara berkelompok.
Begitu juga setan. Ia akan kesulitan menggelincirkan manusia dalam kesesatan jika ibadah selalu dikerjakan secara berjamaah. Apalagi, ibadahnya disertai dengan keikhlasan yang murni karena Allah SWT.

"Tidaklah tiga orang penghuni desa atau penghuni pegunungan yang tidak mendirikan shalat berjamaah kecuali mereka telah dikuasai oleh setan. Karena itu, hendaknya kamu melakukan shalat dengan berjamaah karena harimau hanya mau menangkap kambing yang sedang sendirian." (HR Abu Daud dan Nasa'i). Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk meraihnya. Aamiin.

Oleh: Ustadz Aam Amiruddin
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/23/lqdijv-inilah-amal-berbuah-cinta-allah

Membalas Keburukan dengan Kebaikan

Suatu ketika pelayan Imam Hasan Al-Bashri menyampaikan bahwa seseorang telah menjelek-jelekkan namanya. Mendengar hal tersebut, sang Imam kemudian memanggil pelayan dan memintanya untuk memberikan kurma pada orang tersebut. Pelayan berkata, “wahai imam, bukankah dia telah menjelekkanmu di hadapan orang banyak. Tapi kenapa engkau malah memberinya kurma?” Sang imam pun menjawab, “Bukankah sudah sepantasnya aku memberikan hadiah bagi orang yang telah membuat diriku di sisi Allah SWT”.

“Apa maksud semua ini wahai Jibril?” Tanya Rasul SAW pun ketika turun ayat: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf: 199).
Jibril pun menjawab, “Wahai Rasul Allah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu”.

Jadilah pribadi yang tenang dan menenangkan. Bukan pribadi yang gelisah dan penuh amarah. Tenang bukan berarti tidak mampu, tenang bukan berarti kalah, tenang bukan berarti lambat. Tenang adalah seni menyampaikan kritikan dengan bahasa yang lembut, tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang lembut, tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan. Itulah yang ditunjukkan oleh Rasul SAW ketika penduduk Thaif melempari beliau dengan batu. Beliau malah berdoa, “Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa).

Memang bukan perkara yang mudah untuk menahan marah atau emosi. Apalagi kemudian membalasnya dengan hal yang sebaliknya. Tidak semua orang mampu melakukannya. Sehingga ketika Abdullah bin Amr menanyakan hal apakah yang bisa menjauhkannya dari murka Allah? Rasulullah menjawab: “Laa taghdhab (Janganlah kau marah)” (HR Imam Ahmad)

Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang keutamaan puasa, Rasulullah SAW bersabda:
“…Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah, “Saya sedang berpuasa. Demi Zat yang jiwaku berada di genggaman Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi….”. (HR Bukhari).

Mulut yang senantiasa mengucapkan kata-kata indah bukan kata-kata kotor, kata-kata yang menyejukkan bukan yang menyakiti, kata-kata yang menenangkan bukan yang menggelisahkan, kata-kata yang memaafkan bukan yang mendendam, kata-kata yang memuliakan bukan yang menghinakan.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”
(Surah Fussilat: 34-35).

Oleh Salahuddin El Ayyubi MA

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan

Senin, 15 Agustus 2011

Keberkahan Waktu Sahur

Waktu adalah ibarat pisau atau pedang yang sangat tajam. Jika Anda tidak bisa menggunakannya dengan baik dan tepat, bisa jadi pisau atau pedang itu akan melukai diri Anda sendiri. Itulah salah satu nasihat bijak dari Ali bin Abi Thalib tentang urgensi waktu dalam kehidupan umat manusia.

Karena pentingnya masalah waktu ini, sehingga Allah SWT pun sering bersumpah di dalam Alquran dengan mempergunakan kata-kata waktu. Misalnya "Demi masa." (QS [103]: 1), "Demi waktu dhuha." (QS [93]: 1), "Demi waktu malam." (QS [92]: 1), dan "Demi waktu fajar." (QS [89]: 1).

Di antara waktu yang mendapatkan perhatian Alquran dan as-sunnah adalah waktu sahur. "Orang-orang yang sabar, orang-orang yang jujur, orang-orang yang tunduk dan patuh (pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya), orang-orang yang menginfakkan sebagian hartanya, dan orang-orang yang memohon ampun kepada Allah pada waktu sahur." (QS Ali Imran [3]: 17).

Maksudnya, orang-orang yang memiliki kebiasaan atau perilaku tersebut adalah orang-orang yang akan mendapatkan keselamatan dan kesuksesan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat nanti, salah satunya adalah dengan selalu beristighfar.

Mereka itulah orang-orang yang punya kesadaran tauhid yang tinggi kepada-Nya, kesadaran yang menempatkannya pada posisi merendahkan diri dan selalu merasa banyak dosa di hadapan-Nya. Dengan istighfar ini, orang tersebut ingin membersihkan hati, pikiran, dan perilakunya dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Apalagi dilakukannya pada waktu sahur, suatu waktu yang tidak banyak orang yang mampu bermunajat dan beristighfar kepada-Nya.

Dalam sebuah hadis Qudsi digambarkan bahwa pada waktu sahur tersebut, Allah dengan para malaikat-Nya turun ke langit dunia sambil berfirman, "Adakah di antara hamba-Ku yang memohon ampun, pasti akan Kuampuni. Adakah di antara hamba-Ku yang memohon pertolongan, pasti akan Kuberikan pertolongan kepadanya."

Salah satu amaliyah di dalam bulan Ramadhan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW (sunnah muakadah) adalah makan pada waktu sahur. "Makan sahurlah kamu sekalian, karena di dalamnya terdapat keberkahan." (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Makna keberkahan ini bukan hanya terbatas semata-mata pada makan dan minumnya, tetapi juga pada aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan pada waktu sahur tersebut, seperti shalat tahajj\ud, bermunajat kepada Allah SWT, dan membaca Alquran.

Jika bangun pada waktu sahur ini dilakukan satu bulan terus-menerus, diharapkan akan menjadi suatu kebiasaan sekaligus kebutuhan bagi orang-orang yang beriman. Waktu sahur adalah waktu emas (golden time) yang sangat berharga yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin karena di dalamnya terdapat berbagai macam keberuntungan, keindahan, dan kenikmatan. Orang akan khusyu dalam bermunajat kepada Allah SWT, akan khusyu pula dalam beribadah kepada Allah SWT, dan khusyuk pula dalam berzikir kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, mari kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya waktu sahur yang sangat berharga ini. Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup kepada kita semua. Amien. Wallahu a'lam.

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc
Tulisan ini dimuat di Republika Koran dengan judul Golden Time
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/13/lpuklx-keberkahan-waktu-sahur

Mari Sempurnakan dengan IKTIKAF

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Sudahkah kita jadikan momentum istimewa ini sebagai media untuk benar-benar meraih predikat takwa? Hari terakhir Ramadhan bukanlah saat untuk semata-mata mempersiapkan Lebaran, bekerja kian giat agar bisa belanja pakaian dan makanan, sampai-sampai meninggalkan ibadah iktikaf.

Bagi orang yang benar-benar merasa terpanggil oleh Allah SWT, tentu ia akan jadikan Ramadhan ini benar-benar berarti dalam hidupnya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin meraih keridaan Allah SWT. Satu upaya yang harus dilakukan dengan penuh keimanan dan penuh semangat di bulan suci ini ialah iktikaf, terkhusus pada sepuluh hari terakhir. Di penghujung ayat tentang Ramadhan (QS 2: 187), Allah menyebut tentang iktikaf. Ini mengindikasikan bahwa iktikaf adalah hal penting untuk diutamakan seorang Muslim di bulan Ramadhan.

Selain itu, Rasulullah SAW tidak pernah melewatkan momentum Ramadhan untuk iktikaf. Bahkan, pada tahun di mana Beliau meninggalkan umatnya untuk selamalamanya.
“Nabi dahulu iktikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga Beliau diwafatkan Allah SWT, kemudian istri-istrinya iktikaf setelahnya.” (HR Bukhari).

Secara bahasa iktikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan maupun keburukan.

Sementara secara istilah iktikaf bermakna menetapnya seorang Muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT.

Secara historis, iktikaf dalam praktiknya juga dilakukan oleh Nabi dan umat sebelum Rasulullah SAW. Kisah ini terdapat dalam firman-Nya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS 2: 125).

Iktikaf akan membantu seorang Muslim mencapai derajat takwa dengan lebih sempurna. Sebab, dengan iktikaf, dia akan senantiasa terdorong untuk melakukan ibadah-ibadah dengan penuh kekhusyukan. Situasi demikian tentu akan mendorong terjadinya peningkatan kualitas iman dan takwa.

Orang yang iktikaf akan terbantu untuk melakukan shalat berjamaah tepat waktu, shalat tarawih, shalat tahajud, shalat sunah, membaca Alquran, tafakur, zikir, dan beragam bentuk ibadah lainnya. Dengan cara demikian, insya Allah orang yang beriktikaf akan terbantu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Iktikaf tidak saja mendorong kesadaran untuk melakukan banyak ibadah, tetapi juga kesadaran untuk mencintai masjid. Kecintaan kepada masjid adalah salah satu ciri seorang yang ber iman kepada Allah dan hari akhir.

Allah berfirman, Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 9: 18).

Jadi, marilah kita laksanakan iktikaf dengan penuh kesungguhan.

Oleh Dr Abdul Mannan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/15/lpyc7p-mari-sempurnakan-dengan-iktikaf

Tiga Kamar Paling Favorit


TERDAPAT tiga kamar, ruang atau bilik yang amat vital dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu kamar tidur, kamar mandi, dan kamar makan.

Mungkin karena aktivitas hidup sering dijalani secara rutin layaknya sebuah mesin otomatis, kita tidak sempat mengambil jarak untuk merenung dan memberi makna betapa besar fungsi ketiga kamar itu. Mari sekilas kita renungkan satu per satu.

Bagi pasangan suami-istri khususnya, tempat tidur merupakan ruang untuk saling mengenal secara dekat, tak ada batas antara keduanya.

Orang yang tidurnya suka mendengkur, misalnya, tidak bisa menyembunyikannya. Pasangan hidup kita juga akan kenal secara dekat melalui ruang ini, utamanya bagaimana kebiasaan dan gaya tidurnya? Lebih jauh dan lebih dalam lagi adalah menyangkut perilaku seksual. Makanya kamar tidur merupakan inti dan ruang terdalam dari bangunan rumah kita.

Di situlah seseorang ingin mendapatkan relaksasi dan kebahagiaan bersama pasangan hidupnya sehingga jika suasana tempat tidur tidak nyaman dan membahagiakan, dampaknya akan merembet ke mana-mana. Betapa tidur itu suatu nikmat dan anugerah yang teramat mahal, saya pernah mengalaminya ketika mata ini sulit sekali disuruh tidur, yang berlangsung sekira seminggu.

Kala itu akibat sulit tidur, beban hidup terasa amat berat. Dunia berputar tanpa henti, sangat melelahkan. Sindrom jet lag itu terjadi sepulang dari Saint Petersburg, Rusia. Di kota ini saya menyaksikan apa yang dikenal sebagai white night, pada jam dua belas malam pun masih tampak terang sehingga dapat melihat jarum jam tangan karena cahaya matahari.

Rupanya perubahan cuaca itu berpengaruh pada metabolisme tubuh, jam badan terpengaruh, sehingga sulit tidur setiba di Tanah Air. Kala itu saya sangat mendamba untuk merasakan kantuk dan tidur. Saya jadi sangat tersadar bahwa tidur itu nikmat Tuhan yang teramat mewah. Demikianlah, aktivitas tidur dan beragam agenda lain di kamar tidur itu sangat menentukan kualitas hidup kita.

Televisi, buku, laptop, dan perangkat salat tidak pernah absen dari ruang tidur saya. Bagaimana dengan kamar mandi? Di sini ada kebahagiaan lain yang ditawarkan. Bayangkan, bagaimana rasanya dan akibatnya andaikan kita mengalami susah buang air besar maupun kecil? Di kamar mandi ini pula kita merasakan betapa segarnya ketika tubuh mendapat siraman air tawar.

Tubuh bugar kembali, muncul rasa lega setelah badan dibersihkan sehingga percaya diri ketika ketemu teman. Di kamar mandi ini pula kita menemukan diri yang telanjang, ketika berbagai aksesori pakaian bermerek dilepas, mengingatkan waktu terlahir yang tidak berpakaian dan nanti ketika mati dikubur ke tanah juga hanya mengenakan tutup sekadarnya. Seseorang bisa merenungkan jati dirinya sewaktu sendiri di kamar mandi.

Wajah asli seseorang akan terlihat ketika beraktivitas di kamar mandi. Kamar yang lain adalah ruang makan, yang menawarkan kenikmatan lidah, kenikmatan yang berbeda dari yang didapat di ruang tidur dan ruang mandi. Di ruang makan kehangatan dan keintiman sebuah keluarga juga terpelihara dan terbangun.

Di ruang ini tidak semata kebutuhan fisik terpenuhi, melainkan juga kebutuhan emosi berkumpul dan berbincang ringan bersama keluarga dalam suasana yang cair merupakan bunga-bunga kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu sebaiknya dihindarkan pertengkaran di ruang makan karena akan menghilangkan kenikmatan rezeki yang terhidang.

Sungguh tidak etis seseorang yang mencela rezeki yang sudah terhidang di ruang makan karena sesungguhnya menyakiti sekian banyak orang yang telah terlibat dan berjasa mengantarkan sampai makanan itu berada di atas meja. Demikianlah, setiap hari kita berurusan dengan tiga macam kamar yang masing-masing memberikan kebahagiaan dan kenikmatan tersendiri. Pertanyaannya, kalau kita sudah memperoleh pemenuhan dan kenikmatan dari ketiganya, untuk aktivitas apakah selanjutnya?

Tanpa tujuan dan makna hidup yang mulia, sungguh rendah kualitas hidup kita, tak lebih hanya makan, tidur, dan buang kotoran. Beruntunglah, agama lalu mengajarkan, setiap masuk kamar dan melakukan aktivitas di dalamnya diingatkan untuk selalu berdoa agar kita dapat mensyukuri nikmat kehidupan yang bermakna dan bermanfaat untuk sesamanya.

Saya sendiri sering memperoleh inspirasi untuk menulis ketika berada di kamar mandi. Juga merasa khusyuk berdoa dan mensyukuri hidup sembari merasakan segarnya guyuran air di kamar mandi. Begitu pula setiap malam hendak tidur, pikiran dan hati terkesiap betapa hari cepat berlalu, lalu menghitung-hitung amal kebajikan apa yang telah saya perbuat di hari itu.

Malu sekali kepada Tuhan, ternyata diri saya tidak mampu mensyukuri anugerah hidup dengan memperbanyak amal kebajikan. Ketika hidup diisi dengan perilaku destruktif dan penuh semangat berburu barang haram lewat korupsi, misalnya, betapa ruginya hidup ini. Betapa rendahnya kualitas hidup kita.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://artikel1x.blogspot.com/2010/03/tiga-kamar-paling-favorit.html


Misteri Kematian



Selasa yang lalu isteri saya melayat orang meninggal, seorang ibu yang dulu sangat berjasa ikut merawat ibunya sejak sakit sampai dengan wafatnya. Ibu tua ini dari keluarga yang kurang mampu dan hidupnya sederhana…belakangan ini beliau menderita diabetes yang kadar gula darahnya sangat tinggi (lebih dari 500 mg/dl).

Sepulang melayat, isteri saya bercerita bahwa si ibu yg sederhana ini meninggal dalam keadaan sangat mulia (khusnul khotimah)… Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir saat membaca kitab suci Al Qur’an, Surat Al Mulk, setelah sebelumnya membaca Surat Ar Rahman… Subhanallah….

Beruntung sekali ibu ini.bayangkan….beliau dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail saat membaca Al Qur’an di bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan ampunan, bulan dimana pintu-2 sorga dibuka seluas-luasnya dan pintu-2 neraka ditutup serapat-rapatnya…. Belum tentu kita ataupun orang-2 yang selama ini memandang remeh ibu ini (hanya karena merasa lebih mampu secara materi??) bisa mendapatkan kemuliaan seperti beliau…. Saya dan Isteri merasa sangat cemburu (mencemburui amal baik rasanya dibolehkan dalam agama kan..) dan bertanya dalam hati: “Apakah kami bisa meninggal seperti beliau ya?”….Wallahu’alam bissawab.

Secara kebetulan saat isteri saya bercerita itu, saya sedang membaca buku berjudul “Psikologi Kematian” karangan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Guru Besar Filsafat Agama sekaligus Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini laku keras dan menjadi “Best Seller”, yang intisarinya adalah “Mengubah ketakutan terhadap kematian menjadi optimisme”.

Dalam bukunya Prof Komar menceritakan bahwa pada umumnya manusia menolak kematian, karena kematian selalu diidentikkan dengan tragedy yang sangat mengerikan, rasa sakit yang dahsyat, ketidak berdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup… Siapapun orangnya entah dia presiden, jenderal, menteri, pengusaha kaya raya, ilmuwan, bintang film ataupun selebritas tiba-tiba gemetar dan tidak berdaya ketika maut menjemputnya….

Dari riset yang beliau lakukan, ada beberapa alasan mengapa orang takut mati dan enggan meninggalkan dunia ini, antara lain: karena takut neraka, karena rasa sakit yg luar biasa saat sakaratul maut, karena tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati, karena berat berpisah dengan dunia (tidak mau meninggalkan orang-2, harta kekayaan, jabatan/kekuasaan yang dicintainya). Namun dari analisis beliau, yang dominan adalah karena merasa berat berpisah dengan dunia….

Kebetulan dari kecil saya memang penasaran dengan misteri kematian ini… dan sangat pengin tahu apa sih yang akan terjadi setelah orang mati dan dikubur….? Oleh karena itu saya rajin membaca buku-2 yg berkaitan dengan kematian…termasuk mencari informasi/cerita dari orang-2 yang pernah mati suri…. Saya juga rajin mengamati secara langsung kejadian orang meninggal maupun proses merawat jenazahnya sampai dengan penguburannya... Untuk dapat merasakan secara langsung berdekatan dengan mayat, beberapa kali saya sempat ikut memandikan jenazah, membantu mengkafani, mensholatkan dan menurunkan jenazah ke liang kubur…

Rumah sayapun pernah dikunjungi Malaikat Izrail 2 kali, yaitu pada tahun 2000 ketika Dia mencabut nyawa adik ipar saya, dan kedua tahun 2007 pada saat mencabut nyawa ayah mertua saya…. Sebelumnya Sang Malaikat Pencabut nyawa ini terlebih dahulu mengunjungi tetangga di belakang rumah saya, lalu depan rumah saya, lalu samping kiri saya, dan akhirnya samping kanan saya (Waaah…..Sang Pencabut Nyawa memutari rumah saya nih….pikir saya..).

Kembali ke buku Psikologi Kematian….salah satu bagian yang menarik dari buku ini menurut saya adalah “Fenomena Mati Suri”, yang dalam istilah psikologi disebut “NDE” (Near Death Experience). Prof. Komar melakukan survey dan berdialog langsung dengan orang-2 yg pernah mati suri… Yang sangat menarik…cerita mereka sangat sejalan dengan apa yang diajarkan di dalam Al Qur’an..apa yang ada di dalam Al Qur’an seluruhnya benar dan terbukti…subhanallah!..Allahuakbar!!

Mereka bercerita bahwa ketika ruh lepas dari badan…mereka diperlihatkan rapor berisi seluruh rekaman perilaku hidupnya, perilaku baik maupun buruk.. Apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu yg dia sudah lupa..bahkan hal-hal kecil sekalipun diperlihatkan dengan sangat jelas… Jika yg dominan amal baiknya maka perjalanan ruhnya merasakan kenikmatan dan ketenteraman yg luar biasa, yg tak terlukiskan dengan kata-2….dia seakan-akan memasuki kompleks perumahan (real estate) yg sangat mewah dan indah….dan berjumpa dengan keluarga dan temen-2 yg lebih dulu meninggal dalam suasana sangat menyenangkan…wuiih asyiknya…

Sebaliknya, jika yg dominan perbuatan buruk/kejahatan, maka ruhnya merasakan kepedihan yg amat sangat..dia seakan-akan terbuang di dalam hutan lebat..penuh binatang buas dan suasananya sangat menakutkan…hiii sereeem….

Bagi yang mengalami kenikmatan dan keindahan di alam ruhani setelah mati…mereka sangat menyesal mengapa hidup lagi kedunia… Sebaliknya, mereka yg merasakan pengalaman yg mengerikan setelah mati…mereka sangat gembira bisa kembali ke dunia untuk menebus dosa-2nya.

Bagi kedua kelompok orang yang berbeda pengalaman ruhaninya tadi, keduanya berubah total setelah mengalami mati suri… Yang selama ini sudah cukup baik lalu rajin menambah amal kebaikannya, karena sudah melihat ganjaran yang akan diterima diakherat nanti.. Sedangkan bagi yang perbuatan dosanya lebih banyak..lalu berusaha keras untuk memperbaiki rapor hidupnya dengan bertobat, menebus dosa-2nya dengan memperbanyak amal kebajikan, karena sudah melihat hukuman yg mengerikan yg akan diterimanya di akherat nanti…

Lantas bagaimana kita menyikapi kematian ini?

Prof. Komar memberikan tipsnya sebagai berikut:

1. Karena kematian merupakan kepastian, maka sikap terbaik adalah bersiap menyambutnya dengan memperbanyak amal kebaikan sebagai bekal yg berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup nanti.

2. Mati bukanlah terminasi, melainkan garis transisi dan pintu gerbang untuk memasuki taman kehidupan baru yg lebih indah, setapak lebih dekat kepada Allah SWT. Maka mati tidak perlu ditakuti, melainkan dihadapi dengan senyum dan penuh antusiasme.

3. Hidup di dunia ini bagaikan masa tanam, dan hasil panennya nanti dinikmati setelah mati. Barang siapa menanam kebajikan di dunia, akan panen kenikmatan dan kebahagiaan diakherat. Barang siapa menanam keburukan didunia akan panen kepedihan dan kesengsaraan di akherat. Oleh karena itu kita perlu bekerja keras untuk menanam kebajikan sebanyak-banyaknya.

Jujur harus saya katakan bahwa sampai saat ini saya masih takut mati.
kenapa? terutama karena saya merasa belum yakin bahwa amal baik saya lebih dominan dari perbuatan buruk saya…

Pertanyaan yg selalu terngiang dibenak saya adalah…apakah amal baik saya selama ini benar-benar ikhlas dan murni karena ingin mendapatkan ridho Allah SWT?... Ataukah hanya karena ria?... atau karena terpaksa?... Atau sekedar rutinitas belaka tanpa kehadiran hati saya?.. Apakah sholat saya khusuk?... Apakah puasa saya sempurna dan diterima Allah?... Apakah zakat/sedekah/infak saya ikhlas tanpa unsur ria?... Apakah haji saya mabrur?... Apakah harta benda saya diperoleh secara halal..atau ada unsur haramnya?...Apakah..? Apakah…? Apakah…?

Ya Allah..sungguh saya tidak sanggup melanjutkan daftar panjang pertanyaan-2 ini…karena sayapun tidak akan sanggup menjawabnya ketika ditanya di alam kubur dan di depan pengadilanmu nanti…. Ya Allah…saya takuuut sekali….

Ya Allah..bukalah hati hamba, pikiran hamba, telinga hamba, mata hamba, untuk bisa menatap dan menerima anugerah hidayah dan cahaya kasih sayang-Mu…sehingga hamba selalu istiqomah, optimis dan produktif dalam menjalani hidup ini…

Ya Allah…bimbinglah hati dan pikiran hamba agar hamba bisa menjadikan semua desah napas dan langkah kaki hamba sebagai dzikir dan sujud kepada-Mu, agar hamba selalu merasa khusuk bersujud di atas sajadah panjang…..yang terbentang sampai pintu kematian hamba….Amin..Amin…Ya Mujibasailin….

Salam,
Nur Hasan Achmad


Sumber : itb77-bounce@bhaktiganesha.or.id; on behalf of; Nurhasan Achmad [nurhasan0858@yahoo.com


Jumat, 12 Agustus 2011

♥*.~.*The Hijab*.~.*♥



The Hijab is Beautiful

Abu Abdullah Fattaah Salaah ibn Bearnard Brooks

Indeed, all praises are due to Allah, we praise Him, seek His Aid and beg for His Forgiveness. We seek refuge in Allah from the evil in our souls and from the bad consequences of our deeds. Whomever Allah guides, no one can lead that person astray and whomever Allah leads astray no one can guide that person. I bear witness that there is nothing worthy of worship except Allah Who is alone and without any partners and I bear witness that Muhammad sallallaahu 'alayhi wa sallam is His slave and final Prophet and Messenger sent to mankind.

Certainly the most perfect speech is the Speech of Allah and the finest guidance is the guidance of Muhammad sallallaahu 'alayhi wa sallam. The worst of affairs are those that are innovated into this religion as every innovation is misguidance and every misguidance is astray and every going astray leads to the Hell Fire.

It often occurs to me that many of my sisters in Islam are not properly encouraged once they begin to observe the requirements of Hijab. It may be that a sister has been obliged to wear the Hijab without truly pondering over its superiority. Perhaps she has reached the age of puberty and her Wali (guardian) has instructed her to wear it. Perhaps she has recently re-verted to Islam and her close sisters have told her of its obligation. Or, perhaps her husband has commanded her to wear Hijab. A sister who does not truly know the superiority of Hijab will always remain envious of the women of the Kufar. Why? Because they see these misguided women looking beautiful for all to see. Hence, the Muslim woman then compares herself to that woman which causes her to feel ashamed of her own Hijab.

Therefore, what follows is a reminder for my sisters in Islam. It is a reminder of the true status of these so-called beautiful women. It is a reminder that Hijab will always reign supreme and that the true man (i.e. the Muslim man), will forever be dazzled by the beauty of the Muhijabah (woman who wears the Hijab).

Some Excellent Qualities of Those Who Wear Hijab

Al-Hamdulilah, it is well known that the Muslim woman is a creature of Hayaa (modesty). Allah subhanahu wa ta'ala loves for our Muslim women to be shielded by their Hijab. It is their outer protection from the decadence of this life. Allah’s Messenger sallallaahu 'alayhi wa sallam has said:

"Verily! Allah is Hayaa (modest, bashful) & Sitteer (i.e. the One Who Shields - from disobedient acts). He loves Hayaa (i.e. He loves for one to practice modesty and bashfulness) and Siter (shielding; covering)." [Collected by Abu Dawud; An-Nissa’ee; Al-Baihaqee; Ahmad; & in Saheeh An-Nissa’ee]

Thus, as possessing Hayaa is a quality that is beloved by Allah subhanahu wa ta'ala our sisters must feel comfort in knowing that they have this Hayaa and not the women who show themselves to the world; hence, such women will not be shielded from Allah’s subhanahu wa ta'ala Wrath. Allah’s Messenger (SAWS) said:

"Any woman who takes off her clothes in other than her husband’s home (to show off for unlawful purposes), has broken Allah’s shield upon her." [Collected by Abu Dawud & At-Tirmidhi]

Therefore, we see that the Hijab of the Muslim woman has a quality that comprises Hayaa (modesty). Hayaa is what proceeds from Iman (belief). That is why when Allah subhanahu wa ta'ala commands the women to observe Hijab, Allah subhanahu wa ta'ala says:

"And tell the believing women..." [Surah An-Nur 24:31]

Allah subhanahu wa ta'ala also says:

"...And the women of the believers..." [Surah Al-Ahzab 33:59]

Furthermore, Allah’s Messenger sallallaahu 'alayhi wa sallam said:

"Al-Hayaa (modesty & bashfulness) is from Imam (belief) and Imam is in Al-Jannah (the Paradise)." [At-Tirmidhi - Saheeh]

He sallallaahu 'alayhi wa sallam also said:

"Hayaa (modesty and bashfulness) and Imam (belief) are fully associated together, if one is lifted the other follows suit." [Narrated by ‘Abd Allah bin ‘Umar; related by Al-Haakim in his "Mustadrak"]

My dear sisters in Islam, know that these women who beautify themselves for the world to see possess no Hayaa; thus, they are void of any Iman. Instead of looking to the latest fashion models for guidance, you, my dear sisters, must look to the wives of the Prophet sallallaahu 'alayhi wa sallam. Look at the extreme amount of Hayaa that ‘Aisha bint Abu Bakr (RA) possessed even in the presence of the deceased:

'Aisha (RA) said: "I used to enter the room where the Messenger of Allah sallallaahu 'alayhi wa sallam and my father (Abu Bakr) were later buried in without having my garment on me, saying it is only my husband and my father. But when ‘Umar ibn Al-Khattab (RA) was later buried in (the same place), I did not enter the room except that I had my garment on being shy from ‘Umar." [As-Simt Ath’ameen Fee Maniqib Ummahat Ul-Mu’mineen by Ibn As-Sakir. Al-Haakim brings a similar narration which he says is "good according the conditions of Imaam Bukhari and Imaam Muslim"]

My dear sister in Islam, I know that it is quite difficult for you to go out wearing Hijab in a society that mocks and torments you. I know that you, indeed, feel strange and out of place. However, if you knew the status of those who are mocked by the Kufar as well as the status of the strangers, you will continue to wear your Hijab (i.e. to cover your entire body with a Khimar as commanded (24:31), as well as with a Jilbab (33:59), with the exception of the hands and face; however, knowing the recommendation to cover those parts (as well) with dignity. Allah subhanahu wa ta'ala says in His Book:

"Verily! (During the worldly life) those who committed crimes used to laugh at those who believed. And whenever they passed by them, used to wink one to another (in mockery); And when they returned to their own people, they would return jesting; and when they saw them, they said: ‘Verily! These have indeed gone astray!’ But they (disbelievers, sinners) had not been sent as watchers over them (the believers). But on this Day (the Day of Resurrection) those who believe will laugh at the disbelievers. On (high) thrones, looking (at all things). Are not the disbelievers paid (fully) for what they used to do?" [Surah Al-Mutaffifin 83:29-36]

Allah’s subhanahu wa ta'ala words should serve as a support for you my dear sisters. Also, take comfort in being a stranger among these lewd and sinful women. Allah’s Messenger sallallaahu 'alayhi wa sallam said:

"Islam began as something strange, and it would revert to its (old position) of being strange, so good tidings for the strangers." [Narrated by Abu Huraira and Reported Saheeh Muslim]

As-Sufoor and It's Characteristics

As-Sufoor means to expose or to un-cover. Therefore, instead of practicing the Hijab (covering), the women of the Kufar practice As-Sufoor. As-Sufoor is sinful as it leads to At-Tabarooj (i.e. to make a dazzling display of oneself). Displaying oneself is a attribute of one who is Jaheel (ignorant). Allah subhanahu wa ta'ala says:

"And stay in your houses and do not display yourselves (At-Tabarooj) like that of the times of ignorance..." [Surah Al-Ahzab 33:33]

Allah’s Messenger sallallaahu 'alayhi wa sallam said:

"The best of your women is the affectionate, the fertile (in productivity), the propitious (favorable), the consultative if they fear Allah. The most evil of your women are the Mutabar’rijat (those who do At-Tabarooj), the Mutakhayelat (who strut/swagger), and they are the hypocrites. Those who enter Al-Jannah (the Paradise) are like the Cough Crow." [Al-Baihaqi in his "As-Sunan"]

My dear sisters in Islam, we see from the above Ayah and Hadith that displaying oneself is indeed Haram. Further, it is a quality of the most evil of women! Therefore, do not be envious of the women of the Kufar. They only have this life to enjoy while the believing women will have Al-Jannah. There is nothing in your Hijab whatsoever to be ashamed of as it is the garment of the righteous and pious female slaves of Allah subhanahu wa ta'ala. In order to truly show you how evil those women who make As-Sufoor and At-Tabarooj are, let us ponder over the following statement of Allah’s Messenger sallallaahu 'alayhi wa sallam:

"Of the people of Hell there are two types whom I have never seen, the one possessing whips like the tail of an Ox and they flog people with them. The second one, women who would be naked in spite of their being dressed, who are seduced (to wrong paths) and seduce others. Their hair is high like the humps (of camels). These women would not get into Al-Jannah (the Paradise) and they would not perceive its odor, although its fragrance can be perceived from such and such a distance." [Saheeh Muslim]

Sisters in Islam, these women who practice At-Tabarooj are common among us today. These are women that even the Prophet sallallaahu 'alayhi wa sallam did not see! Look around you and you will see those women who are clothed but naked! Look at the hair styles of the women who practice At-Tabarooj - are they not high like the camel’s hump? My dear sister, perhaps we are the first generation since the time of the Prophet Adam (AS) to witness such women. If one ponders over photos taken thirty to forty years ago, one will see that the women of the Kufar did not make At-Tabarooj as their offspring do today. These are women who will be in the Hell Fire, save Allah subhanahu wa ta'ala has mercy upon them by guiding them to Islam! Thus, how can you envy them? My brothers, how can you desire them over your creature of Hayaa? These filthy women will not even smell the fragrance of Paradise. This Hadith also shows us that what the Prophet sallallaahu 'alayhi wa sallam came with (i.e. the Qur’an and the Sunnah) is the Haqq (truth)! This is a prophecy that has come to pass in front of our very eyes. Hence, will we continue to envy these evil women or be grateful to our Lord for your Hijab which brings Hayaa?

Whatever I have written that is true is from Allah alone while anything that is false is from myself and shaytan. Subhanaka Allahummah wa bihamdika, ash hadu an la illaha illa anta, astaghfiruka wa atuboo ilayk

Kamis, 11 Agustus 2011

Fahd Al Kanderi Surah Al-Munafiqun VERY BEAUTIFUL



Surat ini terdiri atas 11 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Al Hajj. Surat ini dinamai Al-Munaafiquun yang artinya orang-orang munafik, karena surat ini mengungkapkan sifat-sifat orang-orang munafik.

Pokok-pokok isinya :

Keterangan tentang orang-orang munafik dan sifat-sifat mereka yang buruk diantaranya ialah pendusta, suka bersumpah palsu, sombong, kikir dan tidak menepati janji, peringatan kepada orang-orang mukmin supaya harta benda dan anak-anaknya tidak melalaikan mereka, insyaf kepada Allah, dan anjuran supaya menafkahkan sebahagian rezki yang diperoleh.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

SIFAT-SIFAT BURUK ORANG-ORANG MUNAFIK

# Bila datang kepadamu orang-orang munafik, mereka mengatakan: "Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utusan Allah". Sedangkan Allah mengetahui bahwa kamu benar-benar utusan-Nya. Lebih dari itu, Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.

# Mereka menjadikan sumpah-palsunya menjadi perisai untuk keselamatan diri dan hartanya, sedangkan di lain pihak, mereka menghalangi orang dari mengikuti agama Allah. Sesungguhnya, barang apa yang mereka kerjakan, benar-benar sangat buruk.

# Hal itu terjadi sesuai dengan buruk rahasia yang dipendamnya. Mereka beriman dalam pembicaraan, namun kafir di dalam hatinya, lalu hatinya dikunci erat-erat. karena itu mereka tidak dapat memahami apapun.

# Bila kamu melihat mereka, raut tubuhnya mempesonakanmu. Dan bila mereka bercakap-cakap, kamu tertarik untuk mendengar tutur-katanya, Namun begitu, mereka bagai kayu yang disandarkan Maksudnya, kayu-kayu tersandar; seperti tiang jemuran, tiang bendera dan sebagainya. Contoh-contoh yang buruk untuk orang-orang munafik, mulutnya manis bagaikan madu, tetapi hatinya pahit bagaikan empedu. Pepat di luar runcing di dalam tunjuk lurus kelingking kait.. Setiap ada teriakan mereka sangka untuk membahayakannya. Mereka adalah musuh dalam selimut, karena itu waspadalah terhadap mereka; Allah mengutuknya. Gerangan mengapa mereka sampai dapat dipalingkan dari kebenaran?

# Dan bila dikatakan kepada mereka: "Marilah menghadap Rasul, semoga Rasulullah memohonkan ampun terhadap dosa-dosamu", mereka menggelengkan kepala. Selanjutnya engkau lihat mereka berbalik dengan tingkah sangat sombong.

# Sama saja bagi mereka: baik engkau mintakan ampun; maupun tidak engkau mintakan, namun Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka. Bahwasanya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

# Merekalah orang-orang yang pernah mengatakan kepada orang-orang Anshar: "Janganlah kalian memberi perbelanjaan kepada orang-orang Muhajirin pengikut-pengikut Rasulullah, biar mereka kucar-kacir meninggalkannya karena kelaparan. Padahal seluruh perbendaharaan langit dan bumi kepunyaan Allah. Namun orang-orang munafik itu tidak mengerti.

# Mereka mengulas kata: "Andaikata kita kembali ke Madinah, tentu orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana". Padahal kekuatan itu hanyalah kepunyaan Allah, kepunyaan Rasul-Nya, dan kepunyaan orang-orang mukmin. Namun orang-orang munafik itu tidak mengetahui.

# Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu sampai melalaikanmu dari mengingati Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, itulah orang-orang yang rugi.

# Dan belanjakanlah sebagian dari rezeki yang pernah Kami berikan kepada kalian, sebelum kematian datang menjelang kepada salah seorang di antara kalian, lalu kalian menyesal: "Ya Tuhanku, mengapa tidak Engkau tangguhkan kematianku sedikit waktu lagi, supaya aku dapat bersedekah dan menjadi orang baik-baik?".

# Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian satu jiwa, bila telah sampai ajalnya. Dan Allah Maha Mengetahui barang apa yang kamu kerjakan.

Juz Amma | Fahd al-Kanderi with English Translation (Part 1)



Juz ke-30 atau juz terakhir dalam Alquran sering disebut JUZ 'AMMA banyak dihapal oleh kaum Muslimin karena sebagian besar berisi surah-surah pendek, yang tidak didapati pada juz-juz lain. Hapalan tersebut terutama digunakan untuk shalat maupun zikir.

Alangkah indahnya kalau hapalan surah-surah pendek pada JUZ 'AMMA itu disertai dengan pemahaman yang baik tentang isi kandungan ayat-ayatnya. Hal itu, bisa dimulai dari memahami sebab turunnya ayat, beberapa kosa kata penting, atsar atau hadis-hadis yang berkaitan, dan tidak kalah pentingnya tafsir ulama tentang ayat tersebut. Dan bacaan Alquran itu akan sempurna kalau kaum Muslimin paham dan bisa menerapkan ilmu tajwid saat membacanya.

Kisah Muhajirin dan Anshar

KISAH KAUM MUHAJIRIN

Kekejaman demi kekejaman, penghinaan, penganiayaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin yang berada di kota Makah semakin menjadi-jadi. Hal seperti ini membuat kaum muslimin melakukan hijrah ke daerah lain misalnya ke Habsyah. Akan tetapi walaupun demikian, masih banyak kaum muslimin yang tetap bertahan di kota Makah dengan suatu keyakinan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang. Dengan demikian malah kaum muslimin semakin bertambah.

Bertambahnya kaum muslimin di kota Makah, dengan kesadaran sendiri yaitu sadar bahwa mengikuti ajaran yang diberikan nabi Muhammad SAW itu akan mendapatkan suatu kebahagiaan di dunia dan di akherat. Jadi masuknya Islam yang dikuti oleh kaum muslimin bukan karena pengaruh harta, jabatan apalagi tekanan atau kekerasan seperti yang digambarkan oleh kaum orientalis.

Walaupun banyak gunjingan, hinaan, cacian, makian, penganiayaan dan sederet hal yang tidak baik, para pengikut nabi Muhammad SAW tetap setia. Untuk menghindari kekejaman yang berkelanjutan dari kaum kafir Quraisy . Rasulullah SAW memerintahkan kepada pengikutnya untuk berhijrah. Kaum yang berhijrah atas perintah rasul tersebut kita kenal dengan sebutan kaum muhajirin.

Guna mempertahankan keyakinan, akidah islamiyah dan syari’atnya dan guna memperluas jaringan dakwah islamiyah maka kaum muslimin melakukan hijrah. Hijrah yang pertama dilakukan kaum muslimin yaitu ke negeri Habsyah secara sembunyi- sembunyi dan berskala kecil. Disana para kaum yang hijrah mendapatkan perlindungan dari Raja Najasi.

Kalau ke Habsyah hijrah secara sembunyi-sembunyi, maka untuk hijrah ke Yatsrib secara terang-terangan dan berskala besar. Kaum yang berhijrah ke Yatsrib ini banyak sekali pengorbaanannya, harta, keluarga, saudara, tahta dan lain sebagainya. Kaum Muhajirin ini berhijrah dengan tanpa bekal yang memadai artinya hanya sekadarnya saja. Hal ini tak lain dan tak bukan karena rasa keimanan yang teguh kepada Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW sewaktu akan berhijrah ke Madinah tidak mengumumkan diri berhijrah yang diberi tahu hanya sahabat Abu Bakar dan beberapa keluarga dekatnya. Akan tetapi Allah SWT memberikan keberanian kepada Umar bin Khattab hijrah secara terang-terangan dan memberitahukan kepada kaum kafir Quraisy. Orang-orang yang berani menghalangi keberangkatan kaum muslimin ke Madinah akan menghadapi keberanian Umar bin Khattab.

Hijrahnya kaum muhajirin ini untuk berjuang di jalan Allah SWT dan untuk menyiarkan agama Islam. Bukan untuk tujuan seperti untuk memperoleh kedudukan, jabatan yang tinggi dan apalagi untuk menjajah bangsa lain. Semuanya murni karena Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib ke kota Yatsrib. Para penduduk menyambutnya dengan hangat, dengan penuh kerinduan dan rasa hormat serta disambut dengan nasyid yang artinya;

Telah muncul bulan purnama dari Tsaniyatil Wadai’, kami wajib bersyukur selama ada yang menyeru kepada Tuhan Wahai yang diutus kepada kami. Engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati

Sejak itulah kota Yatsrib namanya ditetapkan menjadi Kota Madinah dan kaum Muhajirin menetap disana. Setelah menetap Nabi Muhammad SAW mulai mengatur strategi untuk membentuk masyarakat Islam yang terbebas dari ancaman dan tekanan yaitu dengan mempersaudarakan, mempertalikan hubungan kekeluargaan atara penduduk Madinah dengan orang-orang yang ikut hijrah dari Makah. Lantas Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian untuk saling membantu antara kaum muslim dengan orang-orang selain muslim. Strategi ekonomi, sosial dan dasar-dasar pemerintahan Islam juga mulai disiasati sedemikian rupa.

Strategi Nabi mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar untuk mengikat setiap pengikut Islam yang terdiri dari berbagai macam suku dan kabilah ke dalam suatu ikatan masyarakat yang kuat, senasib, seperjuangan dengan semangat persaudaraan Islam. Rasulullah SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah Ibnu Zuhair Ja’far, Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal, Umar bin Khatab dengan Ibnu bin Malik dan Ali bin Abi Thalib dipilih untuk menjadi saudara beliau sendiri. Selanjutnya setiap kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan kaum Anshar dan persaudaraan itu dianggap seperti saudara kandung sendiri. Kaum Muhajirin dalam penghidupan ada yang mencari nafkah dengan berdagang dan ada pula yang bertani mengerjakan lahan milik kaum Anshar.

Nabi Muhamad SAW dalam menciptakan suasana agar nyaman dan tenteram di kota Madinah, maka dibuatlah perjanjian dengan kaum Yahudi. Dalam perjanjiannya ditetapkan dan diakui hak kemerdekaan tiap-tiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya.

Secara terperinci isi perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi sebagai berikut:

1. Kaum Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum Muslimin

2. Kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing

3. Kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib tolong menolong dalam melawan siapa saja yang memerangi mereka

4. Orang-orang Yahudi memikul tanggung jawab belanja mereka sendiri dan sebaliknya kaum muslimin juga memikul belanja mereka sendiri

5. Kaum Yahudi dan kaum muslimin wajib saling menasehati dan tolong-menolong dalm mengerjakan kebajikan dan keutamaan

6. Kota Madinah adalah kota suci yang wajib dijaga dan dihormati oleh mereka yang terikat dengan perjanjian itu

7. Kalau terjadi perselisihan diantara kaum yahudi dan kaum Muslimin yang dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka urusan itu hendaklah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

8. Siapa saja yang tinggal di dalam ataupun di luar kota Madinah wajib dilindungi keamanan dirinya kecuali orang zalim dan bersalah, sebab Allah menjadi pelindung bagi orang-orang yang baik dan berbakti.

KISAH PERJUANGAN KAUM ANSHAR

Semenjak peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad SAW mengalami kendala dalam menyiarkan agama Islam di Makah. Tantangan dan hambatan yang bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy dihadapi Rasulullah SAW di Makah selama tiga belas tahun. Walau demikian pengikut Islam semakin bertambah banyak.

Realita yang demikian membuat kaum muslimin di Madinah mengajukan saran kepada nabi Muhammad SAW dan pengikutnya untuk segera berhijrah ke Madinah dan ajuan saran itu berulang kali. Ajuan saran ini terjadi pada tahun ke 13 kenabian dengan 73 orang penduduk Yatsrib dari kaum Khazraj ke Makah. Akhirnya ajuan saran tersebut direstui Nabi dan nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Kaum muslim Madinah menjamin keselamatan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya sebagaimana yang termuat dalam perjanjian Aqabah ke satu dan Aqabah ke dua.

Kaum Anshar semenjak mendengar keberangkatan nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya yang akan hijrah ke Madinah banyak kaum Anshar yang menunggu kedatangan beliau berkerumunan, berdiri berjajar di pinggiran kota Madinah untuk menjemputnya. Urwah bin az Zubair berkata, “Kaum Muslimin di Madinah mengetahui kepergian Rasulullah SAW dari Makah. Setiap pagi, mereka pergi ke al Haarah menunggu kedatangan beliau hingga akhirnya mereka harus pulang karena teriknya matahari. Suatu hari mereka terpaksa pulang setelah lama menunggu kedatangan beliau.

Ibnu al Qayyim berkata, “Dan terdengarlah suara hiruk pikuk dan pekik takbir di perkampungan bani “Amr bin Auf. Kaum muslimin memekikkan takbir sebagai ungkapan kegembiraan atas kedatangan beliau dan keluar menyongsong beliau. Mereka menyambutnya dengan salam kenabian, mengerumuni beliau sambil berkeliling diseputarnya sementara ketenangan telah menyelimuti diri beliau dan wahyupun turun. Allah SWT berfirman,

Arinya, Maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik ; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (At Tahrim : 4)

Saat itu penduduk Madinah berangkat untuk menyambut. Moment yang istimewa yang tidak pernah disaksikan oleh penduduk Madinah sepanjang sejarahnya. Orang-orang Yahudi telah menyaksikan kebenaran berita gembira yang diinformasikan oleh Habquq. Hari itu merupakan hari yang bersejarah dan amat agung. Rumah-rumah dan jalan-jalan ketika itu bergemuruh dengan pekikan Takbir, Tahmid dan Taqdis (penyucian). Putri-putri kaum Ansahr melantunkan bait-bait puisi sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan.

Meskipun kaum Anshar bukan orang yang serba berkecukupan namun masing-masing individu berharap rumahnya disinggahi Rasulullah SAW beserta pengikutnya saat melewati satu-per satu rumah kaum Anshar. Tokoh masyarakat Madinah pun berlomba-lomba dalam kebaikan yaitu berupa menawarkan kesanggupannya untuk melindungi Rasuluullah SAW beserta pengikutnya dengan segala daya dan upaya yang mereka miliki.

Kaum Anshar menerima dengan baik kaum muhajirin dan bersedia untuk dipersaudarakan dan juga berani untuk berkorban untuk kaum muhajirin. Kaum Anshar menyembut dengan baik kehadiran kaum Muhajirin dan menyambutnya seperti menyambut saudaranya sendiri yang telah lama tidak bertemu.

Dengan demikian perjuangan kaum Anshar sangat luar biasa terhadap kaum muhajirin dan perkembangan Islam seterusnya.


MENELADANI KAUM MUHAJIRIN DAN ANSHAR



KEGIGIHAN KAUM MUHAJIRIN

Pengikut Nabi Muhammad SAW yang ikut hijrah dari Mekah ke Medinah disebut dengan Kaum Muhajirin. Kaum yang menempuh perjalanan di padang pasir yang sangat luas dan panas sekitar 500 km ini Jum’at, 12 Rabiul Awwal tahun 1 H / 27 September 622 M tiba di Yatsrib dan singgah di perkampungan bani An-Najjar yaitu di rumah Abu Ayyub.

Kaum Muhajirin disambut dengan baik oleh penduduk Yatsrib. Mulai saat itu Yatsrib namanya dirubah menjadi Madinatun Nabi, artinya kota Nabi, dan selanjutnya dikenal dengan kota Madinah.

Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah, Nabi Muhammad SAW mulai mengatur strategi untuk membentuk masyarakat Islam yang terbebas dari ancaman dan tekanan (intimidasi). Pertalian hubungan kekeluargaan antara penduduk Madinah (kaum Anshar) dan kaum Muhajirin dipererat dengan mengadakan perjanjian untuk saling membantu antara kaum Muslim dan non muslim. Nabi juga mulai menyusun strategi ekonomi., sosial, serta dasar-dasar pemerintahan Islam.

Kaum muhajirin adalah kaum yang sabar. Meskipun banyak rintangan dan hambatan dalam kehidupan yang menyebabkan kesulitan ekonomi, namun mereka selalu sabar dan tabah dalam menghadapinya dan tidak berputus asa.

Kaum Kafir Quraisy memboikot kepada kaum muslimin, mereka tidak mengeluh apalagi putus asa, sekalipun mereka sangat kesulitan dalam perekonomian, bahkan mereka tidak mempunyai bahan makanan yang dapat dimasak tetapi tetap sabar dalam menjalankan agamanya.

Kaum Muhajirin walau demikian tetap semangat dan gigih dalam mempertahankan akidah dan syari’at islam, sekalipun mereka dianiaya oleh kaum kafir, bahkan sampai meninggalpun mereka tetap mempertahankan agamanya. Mereka memiliki iman yang kuat dan taqwa kepada Allah SWT.

Kaum muhajirin sewaktu hendak melakukan hijrah, mereka diancam akan dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, tetapi hijrah tetap dilaksanakan. Budak yang telah masuk Islam yaitu Bilal, Ia disiksa oleh kaum kafir Quraisy dengan siksaan yang dahsyat, ditelentangkan di pasir yang sangat panas, kaki dan tangan diikat, dicambuk dan badannya ditindih dengan batu yang sangat besar, namun ia tetap mempertahankan Islam

Kesabaran dan kegigihan kaum muhajirin sangat luar biasa. Setelah di Madinah, tantangan dan hambatan juga tidak sedikit. Ada tiga golongan yang dihadapi kaum Muhajirin yaitu:

1. Para shabat yang merupakan orang-orang pilihan , mulia dan ahli kebajikan

2. Kaum musrikin yang belum beriman sementara mereka berasal dari jantung kabilah-kabilah di Madinah.

3. Orang-orang Yahudi

Problematika kaum muhajirin yang pertama yaitu terkait dengan kondisi Madinah yang berbeda dengan di Makah. Hidup sebagai orang yang tertekan, dihina dan terusir dari Makah. Problema peradaban dan pembangunan, problema kehidupan dan ekonomi, problema politik dan pemerintahan dan banyak problema lainnya. Ini merupakan problema besar yang dihadapi Rasulullah bersama kaum Muhajirin berkaitan dengan kaum muslimin sendiri.

Kaum Muhajirin tidak memiliki apa-apa bahkan keberadaannya mereka di Madinah berkat meloloskan diri. Mereka tidak memiliki tempat berlindung, tidak memiliki pekerjaan guna memenuhi hidup sehari-hari.

Ke dua yang menjadi problema yaitu orang-orang musyrikin Madinah ada yang menyimpan rasa dendam dan permusuhan terhadap Rasul & kaum Muhajirin, pura-pura masuk islam tetapi tetap menyimpan kekufuran, berbuat makar, pemanfaatan terhadap anak-anak kecil dan orang-orang lugu dari kalangan kaum muslimin sebagai kaki tangan didalam melaksanakan rencana busuk mereka.

Problema ke tiga yaitu orang-orang Yahudi yang selalu membangga-banggakan kebangsaannya dan selalu mengejek orang-orang arab dengan ejekan yang sangat keterlaluan sampai mereka menjuluki orang-orang arab sebagai Ummiyun (orang-orang yang buta huruf dalam artian orang yang primitif yang lugu dan kaum hina-dina yang terbelakang, mereka beranggapan harta orang arab halal bagi mereka, mereka bisa memakan atau memakainya sesuka mungkin, mereka menganngap sebagi orang-orang yang berilmu, memiliki keutamaan dan kepemimpinan spiritual, mereka pandai dalam berbisnis. Selain itu mereka tukang menyebarkan isu, menebarkan permusuhan diantara sesama kabilah sehingga perang berdarah terjadi diantara mereka.

Ada tiga kabilah Yahudi yang masyhur di kota Yatsrib yaitu Bani Qainuqa , Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Kabilah-kabilah ini yang selalu menyulut api peperangan antara suku Aus dan Khazraj . Kabilah-kabilah Yahudi ini selalu memandang kebencian dan dengki terhadap Islam.

Rasulullah SAW setelah di Madinah sebagai kaum Muhajirin dalam posisinya sebagai seorang Rasul, penunjuk jalan kebenaran, pemimpin dan komandan. Rasulullah SAW telah menyelesaikan problema-problema di Madinah dengan penyelesaian yang sangat bijak. Setiap kaum diperlakukan dengan kasih sayang tidak ada kekerasan dan siksaan.

Sebagai pelajar, banyak sekali perihal yang dapat kita teladani dari kaum muhajirin selain kegigihan, ketabahan, keperwiraan, kesabaran dan lain sebagainya, sikap suka membaca dan mempelajari serta mengamalkan Al Qur’an, sangat penting untuk kita ikuti dan teladani.

KAUM ANSHAR PENUH KEIKHLASAN DALAM TOLONG-MENOLONG

Orang-orang anshar ingin sekali menjumpai Rasulullah SAW dan pengikutnya dari Makah, banyak kaum anshar berada di pinggiran kota Madinah menunggu kedatangan Nabi dan pengikutnya .

Setelah Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya datang, dijemput dan disambut dengan suara takbir yang bergema di kota Madinah. Tokoh-tokoh Madinah berlomba-lomba menawarkan kesediaannya untuk mengayomi Rasulullah SAW beserta sahabatnya, dengan segala daya dan upaya sesuai dengan perlengkapan yang mereka miliki.

Kaum anshar selalu menerima dan mau berkorban untuk kaum muhajirin dan bahkan mereka bersedia dipersaudarakan dengan kaum muhajirin. Seperti Abdur Rahman bin Auf (kaum muhajirin) dipersadarakan dengan Saad bin Rabi’ (kaum Anshar). Dengan persaudaraan tidak ada perbedaan seperti nasab, warna kulit, asal daerah ataupun kebangsaannya.

Dengan persaudaraan itu maka perjuangan kaum anshar sangat besar terhadap pertolongan kaum muhajirin dan perkembangan islam yang berkelanjutan. Setelah terbentuk persaudaraan antara muhajirin dan anshar, maka kerjasama dan tanggung jawab dipikul bersama-sama.

Kaum anshar merupakan kaum yang menolong kaum muhajirin yang berdomisili di Madinah. Kaum Muhajirin sewaktu hijrah ke Madinah tidak membawa bekal yang cukup, apalagi memiliki rumah. Dengan pertolongan kaum Anshar, kaum Muhajirin dapat hidup dengan layak.

Kaum anshar sangat menghargai dan menghormati kaum muajirin. Kaum muhajirin yang datang dan menumpang ke keluarga anshar diterima dengan baik dan malah diberi sebagian hartanya, kaum muhajirin pun sangat menghargai keikhlasan kaum anshar.

Sikap suka menolong merupakan ajaran yang harus kita teladani dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tolong menolong dapat terbina persatuan dan persaudaraan sesama kita. Fanatisme kesukuan, perbedaan ras, rasa kedaerahan dan lain sebagainya dapat dihindarinya.

http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/08/kisah-muhajirin-dan-anshar/

Quran Recitation Fahd Al-Kanderi/Kandari- surat at-tawbah


Sholat mengajarkan kita memandang manusia setara, tua muda, miskin kaya, darah biru darah merah, sama, equal.

SubhanaAllah, Sholat itu mencengangkan. Hadiah dari Allah SWT pada manusia. Tiada hal jelek apapun sebagai akibat dari menjalankannya. Makanan bagi otot, sendi, ligament, fascia, tulang, jantung, paru, adalah bergerak. Dan sholat menyediakan hal itu. Begitu juga aliran kelenjar limfe, penghasil sistem pertahanan tubuh, akan optimal bersama gerakan tubuh. Nikmat nya telinga adalah mendengar suara merdu, dan sholat berjamaah dengan lantunan merdu alquran dari sang imam, menyediakan hal itu. Suara itu akan mengaktifkan sistem limbik, sistem emosi-pembelajaran kompleks-bernalar-fungsi kejiwaan, di otak kita. Itulah sebabnya mengapa banyak orang menyukai lagu dan musik.

Ramadan Nasheed by Sheikh Fahd Al Kanderi / Kandari



Sesungguhnya telinga seorang Muslim pada umumnya telah terikat dengan mendengar sesuatu yang baik, ia menikmati dan merasakannya setiap hari. Yakni bacaan Al Qur'an Al Karim. Telinganya mendengar tartil Al Qur'an dan tajwidnya dengan suara yang merdu dari para Qari' yang terbaik, juga melalui suara adzan yang menyentuh pendengarannya setiap hari lima kali dengan suara yang indah.
Ini merupakan warisan dari kenabian, karena Nabi SAW pernah berkata kepada sahabat yang mendapat mimpi tentang adzan, "Ajarkanlah adzan itu kepada Bilal, karena suara bilal itu sangat merdu."

Suara yang indah itu juga bisa didengar melalui acara-acara keagamaan yang dibacakan di dalamnya nasyid-nasyid yang menarik, dengan suara indah, sehingga dapat menyentuh hati dan menggetarkan perasaan.

Menyeleksi Pertolongan


Menolong adalah perilaku yang bajik dan luhur. Namun, seperti pisau yang bermata dua, perilaku menolong bisa menjadi amal kebajikan bagi pelakunya, bisa pula menjadi kedosaan yang eksesnya tidak hanya kelak di akhirat, tetapi juga langsung terasa di dunia kita sekarang ini. Misalnya, orang yang menyembunyikan sang buronan— karena alasan ingin menolongnya, bukankah akan terkena getahnya pula? Karena batas antara kesaleh an dan kesalahan begitu tipis. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah [5]: 2).

Dalam arena kehidupan yang luas ini nyaris tak ada perilaku seseorang yang lepas dari sentuhan dan bantuan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka itu, sikap saling menolong menjadi suatu kewajaran sekaligus tidak bisa dihindari. Namun, dari sekian banyak model interaksi manusia dengan sesamanya— sebagai wahana untuk mengimplementasikan sikap tolong-menolongnya, seseorang juga dituntut untuk pandai-pandai menyeleksi jenis pertolongan yang layak diberikan kepada orang lain.

Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menindas (zalim) dan yang ditindas ( mazhlum).” Rasul lantas ditanya, “Saya bisa menolong saudara yang tertindas, tapi bagaimana saya menolongnya, jika dia orang yang zalim?” Rasulullah kemudian menjawab, “Engkau larang dan cegah dia dari berbuat zalim, itulah pertolonganmu padanya.” (HR Ahmad).

Dengan demikian, pertolongan yang diberikan kepada sesama harus diletakkan dalam kerangka keimanan, amal saleh, dan nilainilai luhur. Maka itu, menolong untuk hal-hal yang berbau maksiat dan mudharat menjadi naif dilakukan. Karena dengan menolong berbuat maksiat, ia menjadi kemaksiatan itu sendiri. Mengapa begitu, karena secara psikologis, ketika pelaku kemaksiatan itu ditolong atau diberi dukungan moril, akan timbul padanya kecongkakan, tidak merasa bersalah, dan tidak memberikan efek jera padanya. Bahkan, bisa jadi memicu orang lain untuk berbuat hal yang sama.

Itulah sebabnya mengapa Sofyan ats-Tsauri begitu tegas, ketika ditanya tentang orang zalim yang hampir binasa di gurun pasir, bolehkah ia diberi air minum? Ia menjawab, biarkan saja ia sampai mati. Sebab, hal itu membantunya (berbuat zalim).

Larangan untuk menolong halhal yang mengandung kemaksiatan ini, bukan saja menyangkut hu -bung an yang sejajar atau selevel, bahkan dalam konteks kepemim -pinan pun dilarang untuk patuh pada pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan. Nabi bersabda, “Mendengar dan taat adalah hak selama tidak diperintah untuk maksiat; jika diperintah untuk maksiat, tidak wajib untuk mendengar dan patuh.” (HR Bukhari).

Sehari setelah dibaiat menjadi khalifah, Abu Bakar ash-Shiddiq pun berseru, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya, tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku.” Wallahu A‘lam bish-shawab.

Oleh Ustadz Makmun Nawawi


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/12/lpsayu-menyeleksi-pertolongan

Rabu, 10 Agustus 2011

Ayat-Ayat Dalam Al-Qur'an Yang Diakhiri Dengan Asmaul Husna

Ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang diakhiri dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allâh Ta'ala yang Indah) menunjukkan bahwa hukum yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan nama Allâh Ta'ala tersebut.

Ini adalah kaidah yang sangat mendalam dan bermanfaat. Bila ditelusuri pada seluruh ayat yang diakhiri dengan nama-nama Allâh Ta'ala (Asmaul Husna), niscaya akan kita dapati adanya kesesuaian yang sangat tepat yang menunjukkan bahwa syariat, perintah dan penciptaan; semua itu muncul dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sekaligus berkaitan erat dengannya.

Pembahasan tentang sifat-sifat Allâh Ta'ala dan hukum-hukum-Nya termasuk pengetahuan dan ilmu yang paling mulia. Kita dapati ayat-ayat tentang rahmat Allâh Ta'ala, diakhiri dengan nama-nama-Nya yang mengandung sifat Rahmat. Ayat-ayat hukuman dan adzab ditutup dengan nama-nama yang memuat sifat Keperkasaan, Kedigdayaan, Kebijaksanaan, Ilmu dan Kekuasaan.

Perkara ini menjadi semakin penting karena jarang kitab-kitab tafsir yang membahas kaidah ini. Berikut ini beberapa contoh untuk menjelaskan kaidah di atas:

Allâh Ta'ala berfirman:

“(Dia-lah Allâh) yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Baqarah/2:29)


Penyebutan keluasan ilmu-Nya setelah menyebutkan penciptaan bumi dan langit menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala makhluk yang ada di dalamnya. Juga menunjukkan bahwa Dia Maha Bijaksana, karena Allâh Ta'ala menjadikannya (langit dan bumi) untuk para hamba-Nya dan telah memperindah bentuk penciptaannya dalam gambaran yang terbaik dan keteraturan yang sempurna. Demikian pula penciptaan langit dan bumi termasuk bukti keluasan ilmu Allâh Ta'ala.


Allâh Ta'ala berfirman :

“Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Qs al-Mulk/67:14)


Jadi, penciptaan Allâh Ta'ala terhadap seluruh makhluk adalah dalil aqli (akal) paling kuat tentang ilmu-Nya, sebab bagaimana mungkin Dia menciptakan sesuatu kalau Dia tidak mengetahuinya?

Allâh Ta'ala berfirman:

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allâh menerima taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs al-Baqarah/2:37)


Banyak ayat yang diakhiri dengan dua nama ini (Maha Penerima taubat dan Penyayang) setelah menyebutkan rahmat, maghfirah, taufik, serta kelembutan Allâh Ta'ala. Korelasinya akan tampak sekali bagi setiap orang. Dengan dua nama ini, Allâh Ta'ala memberi perhatian lebih terhadap hati orang-orang yang bertaubat kepada-Nya dan memberikan taufik kepada mereka untuk melakukan perkara-perkara yang menyebabkan Allâh Ta'ala menerima taubat dan merahmati mereka, dan kemudian mengampuni dan mengasihi mereka.

Allâh Ta'ala pertama kali menerima taubat mereka dengan memberikan taufik kepada mereka agar bertaubat dan mengambil langkah-langkah menuju ke sana. Kemudian Allâh Ta'ala menerima taubat mereka kedua kalinya dengan berkenan menerima taubat mereka lagi dan memenuhi permohonan mereka.

Allâh Ta'ala berfirman dalam ayat yang lain:

“Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs at-Taubah/9:11)


Kalau bukan karena taufik-Nya dan mengarahkan hati-hati mereka untuk bertaubat, niscaya mereka tidak punya jalan menuju taubat manakala mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (kecuali orang yang dirahmati Allâh Ta'ala dan dipelihara hawa nafsunya dari bisikan-bisikan setan).

Allâh Ta'ala berfirman:

“Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs al-Baqarah/2:115)


Ini bermakna bahwa keutamaan dan kerajaan-Nya sangat luas, yang meliputi semua alam. Selanjutnya, di samping keluasan kerajaan dan keutamaan-Nya, Dia juga mengetahui seluruhnya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara yang lampau dan yang akan datang dan hikmah-Nya meliputi arah kiblat-kiblat yang beragam serta meliputi niat orang-orang yang menghadap kiblat ke suatu arah jika mereka keliru dalam kiblat yang telah ditentukan. Lantas, kemana orang shalat itu menghadap? Ia menghadap ke wajah Rabb-nya.

Adapun ucapan Nabi Ibrahim 'Alaihissalâm dan Ismâ’îl 'alaihissalâm ketika keduanya mengangkat pondasi rumah Allâh Ta'ala (Ka'bah):

“Ya Rabb kami, terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs al-Baqarah/2:127)


Sungguh, Nabi Ibrâhîm 'Alaihissalâm bertawasul kepada Allâh Ta'ala dengan dua nama ini (as-Samî‘ dan al-Alîm) agar diterima amal mulia yang dilakukannya, dimana Allâh Ta'ala mengetahui niat dan maksud keduanya, mendengar pembicaraan keduanya, serta mengabulkan doa keduanya. Maka sungguh, yang dimaksud dengan as-Samî’ (Yang Maha Mendengar dalam konteks doa -doa ibadah dan doa permohonan-) bermakna Yang Menjawab Permohonan, sebagaimana perkataan Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam dalam ayat yang lain:

“Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Qs Ibrâhîm/14:39)


Dan adapun firman Allâh Ta'ala :

“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Qur‘ân) dan al-Hikmah (Sunnah) serta mensucikan mereka.” (Qs al-Baqarah/2:129)

Yang diakhiri dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Baqarah/2:129)


Mengandung makna, sesungguhnya bukan termasuk hikmah bila Dia membiarkan makhluk-Nya begitu saja; tidak mengutus rasul kepada mereka. Maka Allâh Ta'ala merealisasikan hikmah-Nya dengan mengutus rasul supaya manusia tidak memiliki hujjah lagi di hadapan Allâh Ta'ala. Segala urusan -qadari dan syar’i nya- tidak akan tegak kecuali dengan kekuasaan Allâh Ta'ala dan terlaksananya hukum-hukum-Nya.

Sungguh cukup bagi Allâh Ta'ala menyebutkan Asmâ’ul Husna (tanpa penjelasan lagi) dengan hanya menyebutkan hukum-hukum dan balasan-Nya. Agar para hamba-Nya sadar bahwa jika mereka mengetahui Allâh Ta'ala dari nama yang agung tersebut, niscaya akan mengetahui apa yang diakibatkan dari hukum-hukum-Nya tersebut, seperti firman Allâh Ta'ala :

“Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran.” (Qs al-Baqarah/2:209)

Allâh Ta'ala tidak melanjutkan dengan: “Maka kalian mendapatkan hukuman seperti ini dan itu”, namun berfirman:

“Bahwasanya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Baqarah/2:209)

Apabila kalian mengetahui kekuasaan-Nya (yaitu keperkasaan, kehebatan, kekuatan dan pertahanan-Nya) dan mengetahui hikmah-Nya (yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya), tentu hal itu mengakibatkan kalian takut untuk tetap berada di atas dosa-dosa dan ketergelinciran kalian, karena di antara bentuk hikmah-Nya ialah menghukum orang yang berhak dihukum –terus-menerus melakukan dosa padahal dia mengetahuinya-. Dan sesungguhnya kalian tidak akan bisa menolaknya, keluar dari garis hukum dan pembalasan-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan dan keperkasaan-Nya.

Ketika menyebutkan hukuman pencuri, Dia berfirman di akhir ayat-Nya:

“Sebagai siksaan dari Allâh. dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Mâidah/5:38)

Dia-lah Yang Maha Perkasa dan Menghukumi, maka Dia menghukum orang-orang yang melampaui batas.

Ketika menyebutkan kisah-kisah para nabi bersama umat-umat mereka dalam surat as-Syu’arâ, Allâh Ta'ala menutup setiap kisah dengan firman-Nya:

“Dan Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
(Qs asy-Syu’arâ; 9,68,104,122,140,159,175,191)

Sungguh, setiap kisah yang mengandung penyelamatan nabi dan para pengikutnya (berkat rahmat dan kasih sayang Allâh Ta'ala) dan pembinasaan orang-orang yang mendustakannya merupakan bentuk kekuasaan-Nya. Sesungguhnya Dia menyelamatkan Rasul dan para pengikutnya dengan kesempurnaan kekuatan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya, dan membinasakan orang-orang yang mendustakan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.

Adapun perkataan Nabi Isâ 'Alaihissalam:

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Qs al-Mâidah/5:118)

Beliau tidak mengatakan; Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Karena tempatnya adalah bukan tempat permintaan belas kasih ataupun rahmat, namun tempat marah dan membalas terhadap orang yang menjadikan tuhan (sesembahan lain) disamping Allâh Ta'ala. Maka, menjadi pas penyebutan keperkasaan dan kebijaksanaan (lebih utama daripada penyebutan rahmat).

Di antara keindahan dari kedudukan sifat raja’ (harapan) adalah Dia menyebutkan sebab-sebab rahmat dan sebab-sebab adzab, kemudian menutupnya dengan sesuatu yang menunjukkan rahmat Allâh Ta'ala, sebagaimana firman-Nya:

“Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Ali Imrân/3:129)

Dan firman-Nya:

“Sehingga Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs al-Ahzâb/33:73)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Kepada rahmat-Nya lah berujung setiap orang yang memiliki sebab-sebab rahmat yang paling rendah sekalipun. Oleh karenanya, akan keluar dari neraka orang yang di dalam hatinya masih terdapat keimanan meski seukuran biji sawi.Wallâhu a'lam.


Referensi:

Diringkas dari Al-Qawâidul Hisân Al-Muta`alliqah bi Tafsîril Qur`ân hlm. 51-57


http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=115&Itemid=95

Bonus Ramadhan

Watak manusia memang mencintai materi (QS Ali Imran: 14). Walaupun kesenangan materi adalah palsu dan menipu (QS Ali Imran: 185, al-Hadid: 20)). Dan, jika dia tenggelam dalam kemateriannya maka posisinya bisa lebih rendah dari binatang. (QS al A'raf 179).

Memang, manusia harus seimbang antara materi dan rohani. Namun, orang yang bisa melepaskan diri dari kekuasaan kemateriannya, akan naik ke derajat malaikat. Saat orang berpuasa, berusaha untuk meninggalkan kemateriannya dan menuju alam malakut. Sehingga, Allah menyanjungnya dalam hadis Qudsi yang artinya: "Setiap amalan anak cucu Adam adalah baginya kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku akan langsung membalasnya. Puasa adalah perisai, jika salah seorang berpuasa jangan berkata kotor dan jangan bertengkar. Bila dihina seorang atau diajak duel, hendaknya menjawab: aku sedang puasa ..." (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Itulah bonus bagi orang yang puasa Ramadhan. Agar manusia yang materialis ini bisa tawazun (seimbang), Allah memberi motivasi dengan berbagai cara. Sebagai makhluk ekonom, ia tertarik dengan segala bentuk transaksi yang menguntungkan. Untuk itu, Alquran banyak menggunakan istilah ekonomi, seperti istilah transaksi (as-Shaf: 10), rugi dan timbangan (ar-Rahman: 9), dan lainnya.

Supaya umat Islam di bulan Ramadhan mencapai puncak dalam ibadah maka Allah menyediakan beragam bonus. Rasulullah SAW bersabda, "Umatku diberi lima keistimewaan pada bulan Ramadhan yang tidak diberikan kepada umat sebelum mereka: Bau mulutnya orang-orang puasa lebih wangi di sisi Allah dibandingkan bau minyak kasturi, setiap hari malaikat memintakan ampunan bagi mereka saat berpuasa sampai berbuka, Allah menghiasi surga untuk mereka kemudian berfirman, "Hamba-hamba-Ku yang saleh tengah melepaskan beban dan kesulitan maka berhiaslah, setan-setan dibelenggu sehingga tidak bisa menggoda dan orang-orang puasa diampuni dosa-dosa mereka pada malam terakhir bulan Ramadhan." (HR Ahmad, al-Bazzar, al-Baihaqi).

Selain itu, pada malam pertama Ramadhan setan dibelenggu, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan penyeru dari langi memanggil, "Wahai pencari kebaikan, songsonglah dan wahai pencari kejahatan berhentilah! Dan, Allah membebaskan banyak manusia dari neraka setiap malam Ramadhan."

Orang yang berpuasa diberi keistimewan dengan dua kebahagiaan, yakni kebahagiaan saat berbuka dan saat bertemu dengan Allah di surga. Di surga ada pintu yang disiapkan untuk orang puasa, yaitu pintu ar-rayyan. Bila para shoimin di dunia telah masuk, semua pintu ditutup dan tidak ada yang masuk lagi selain mereka.

Lebih dari itu, di bulan suci ini, Allah menyediakan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Barang siapa yang tidak mendapat kebaikan malam itu sungguh dia termasuk orang celaka. Demikian besar bonus yang disediakan Allah pada setiap Ramadhan. Tidak cukupkah bagi kita untuk bermujahadah dalam beribadah demi menyongsong keutamaannya? Boleh jadi di antara kita, ada yang tidak bertemu kembali dengan bonus-bonus Ramadhan.

Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/10/lpp33p-bonus-ramadhan

Malaikat Pun Turut Mendengarkan

Tengah malam itu suasana tenang dan hening sekali. Usaid bin Hudhair duduk di beranda belakang rumahnya.Putranya, Yahya, yang masih balita sudah lama terlelap di sam pingnya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, seekor kuda siap tertambat.

Sewaktu-waktu jika perintah perang fisabilillah dari Rasulullah keluar, dia dapat dengan sigap menunggangnya. Di keheningan malam itu, Usaid membaca Alqur an dengan khusyuk dan penuh penghayatan. Ayat demi ayat dia lantunkan dengan suara merdu. Ia membaca surah al-Baqarah ayat 1-4.

Ketika melantunkan ayat-ayat suci tersebut, kudanya lari berputar-putar hampir memutuskan tali pengikatnya. Sampai di ujung ayat keempat al-Baqarah tersebut, Usaid menghentikan bacaannya, ingin tahu apa yang terjadi pada kudanya. Usaid tidak melihat apa pun.

Bersamaan dengan berhentinya Usaid melantunkan ayat-ayat suci, kudanya kembali tenang. Usaid kembali melanjutkan bacaannya. “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orangorang yang beruntung.” (QS [2]: 5).

Kudanya kembali meronta, berputar-putar lebih hebat dari yang pertama. Usaid pun kembali menghentikan bacaannya. Kudanya kembali diam. Demikianlah terjadi berulang-ulang. Setiap kali Usaid membaca Alquran kudanya meronta, setiap kali Usaid diam kudanya juga diam.

Khawatir dengan keselamatan anaknya, Usaid membangunkan anaknya. Ketika itulah dia melihat ke langit, terlihat awan seperti payung yang mengagumkan, belum pernah dia lihat sebelumnya. Esok paginya, hal itu dia ceritakan kepada Rasulullah SAW.

Rasul bersabda, “Hai Usaid, itu malaikat yang turun mendengarkan engkau membaca Alquran. Seandainya engkau teruskan bacaanmu, pastilah orang banyak akan melihatnya pula. Pemandangan itu tidak akan tertutup bagi mereka.”

Usaid sangat mencintai Alquran, bahkan sejak pertama kali mendengarkan ayat-ayat Alquran dilantunkan oleh Mush’ab bin Umair, dai muda yang dikirim Rasulullah SAW sebagai perintis dakwah di Kota Yatsrib. Saat itu, Mush’ab sedang menyampaikan Islam kepada orang-orang yang sudah masuk Islam, tiba-tiba Usaid datang.

Usaid berkata dengan nada menuding, “Apa maksud Tuan da tang ke sini? Tuan hendak mempengaruhi rakyat kami yang bodoh-bodoh. Pergilah Tuan sekarang, jika Tuan masih ingin hidup!” Dengan wajah tenang karena pantulan iman, Mush’ab menjawab, “Wahai pemimpin, silakan duduk bersama kami, mendengarkan apa yang kami bicarakan. Jika Anda suka apa yang kami bicarakan, silakan ambil. Dan jika Anda tidak suka, kami akan meninggalkan Anda dan tidak kembali lagi ke kampung Anda ini.”

Usaid setuju, lalu mulai mendengarkan Mush’ab menjelaskan Islam sambil membaca ayat-ayat Alquran. Rasa gembira terpancar di wajah Usaid. Dia langsung mengaguminya.

“Alangkah indahnya apa yang Tuan baca,” kata Usaid. “Apa yang dapat saya lakukan jika aku ingin memeluk Islam?” katanya lebih lanjut. Di bawah bimbingan Mush’ab, Usaid masuk Islam. Sejak itu Usaid men cintai Alquran seperti seseorang mencintai kekasihnya. Itulah Usaid bin Hudhair yang malaikat pun turun mendengarkan bacaannya.


Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/11/lpqhlo-malaikat-pun-turut-mendengarkan