Kamis, 22 Mei 2014

Kontinuitas Beramal





Diriwayatkan dari Siti Aisyah, Nabi SAW masuk ke tempatnya dan di sisinya ada seorang perempuan dari Bani Asad. Lalu,  Nabi SAW bertanya, “Siapakah ini?“ Aisyah menjawab, “Si Fulanah (ia tidak pernah tidur malam), ia menceritakan shalatnya.

Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah (amalan) menurut kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak merasa bosan sehingga kamu sendiri yang bosan. Amalan agama yang paling disukai Allah SWT adalah yang dilakukan oleh pelakunya secara kontinu.’’ (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW mengingatkan amalan paling baik dan disukai Allah SWT adalah amalan yang dilakukan secara kontinu. Bukan amalan yang besar atau yang kecil. Amalan kecil bila kontinu lebih baik daripada amalan besar namun dilakukan hanya sekali.

Amalan kecil dilakukan secara terus-menerus maka dalam pandangan Allah SWT amalan itu menjadi besar. Sebaliknya, kesalahan (maksiat) yang kecil dilakukan secara terus-menerus, lambat laun menjadi besar sehingga menumpuklah dosa kita.

Rasulullah SAW bersabda, ’’Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan secara terus-menerus.'' Artinya dosa kecil yang kontinu akan menjadi dosa besar. Karena itu, melakukan shalat Dhuha dua rakaat setiap pagi lebih baik daripada 12 rakaat cuma sekali.

Menunaikan Tahajud dua rakaat setiap malam lebih baik daripada 13 rakaat beserta witirnya namun cuma sekali.

Begitu pun membaca Alquran satu ayat setiap hari lebih baik daripada membaca beberapa ayat tapi cuma sekali (hal ini biasanya dilakukan hanya di bulan Ramadhan).

Bersedekah Rp 1.000 setiap hari lebih baik dibandingkan bersedekah Rp 100 ribu tetapi hanya sekali. Rasulullah SAW tidak menekankan jumlah rakaat, berapa ayat, dan berapa rupiah melainkan kontinuitas beramal yang baginda inginkan.

Dalam beribadah, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya agar melakukannya sekuat tenaga dan semampu kita.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.’’ (QS Al-Baqarah:286).

Dan Nabi SAW bersabda, ’’Kerjakan amal perbuatan sekuat tenagamu, Allah tidak jemu menerima dan memberi sehingga kamu jemu beramal, dan shalat yang disukai adalah yang dikerjakan terus-menerus meskipun sedikit.’’ (HR Bukhari-Muslim).

Untuk menjalankan suatu amalan, harus didasari kesabaran dan keyakinan. Tanpa hal tersebut, sulit untuk membiasakan amalan (ibadah). Sebab kesabaran dan keyakinan melahirkan semangat sehingga dalam keadaan apapun kita terus beribadah.

Oleh: Pudji Dwi Setiawati
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/05/23/n5zys8-kontinuitas-beramal

Rabu, 21 Mei 2014

Pesan Rahasia Muadz bin Jabal



Suatu hari, Muadz bin Jabal diboncengi keledai yang dikendarai Rasulullah SAW. Di atas keledai, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Muadz, tahukah engkau hal apa yang patut engkau penuhi terhadap Allah dan satu hal lain yang pasti akan Allah penuhi terhadapmu?”

Muadz terdiam lalu menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Ya Rasul.”

Kemudian Rasulullah menjawab, “Bahwasannya satu hal yang patut engkau penuhi terhadap Allah ialah bahwa engkau berjanji sepenuh hati bahwa engkau tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (syirik). Dan satu hal yang pasti Allah tunaikan hak-Nya untukmu ialah bahwa Dia takkan pernah menyiksa para hamba-Nya yang tidak pernah melakukan syirik.”

Muadz tercengang. Dengan penuh semangat ia menjawab, “Ya Rasul, dapatkah saya sampaikan ini kepada orang-orang?”

Rasulullah SAW pun menjawab, “Tahanlah. Aku khawatir orang-orang akan lengah sehingga mereka terlalu berharap keluasan rahmat Allah, kemudian malas beribadah.” (HR Bukhari)

Sabda Nabi SAW mengingatkan kita kembali perihal hak dan kewajiban yang semestinya kita penuhi baik sebagai makhluk sekaligus hamba Allah SWT. Karena status kita sebagai hamba, maka sedari proses penciptaannya pun Allah telah berikrar, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku.“ (QS adz-Dzariyat: 56)

Begitu tinggi esensi peribadatan kepada Allah selaku Khalik dan kita yang hanya sebagai makhluk. Tentiu saja beribadah kepada-Nya harus dilandasi dengan ilmu dan tauhid (pengesaan Allah).

Dalam surah lain, menjadi jelas bahwa Allah juga ‘menegur’ kita untuk tidak masuk ke dalam jurang syirik. “Dan janganlah kamu menjadikan sesembahan (tuhan) yang lain selain Allah maka kamu akan dicela dan terhina.” (QS al-Isra: 22)

Pesan ini bergandengan dengan perintah untuk taat pada orangtua, anjuran bersedekah, tidak mubazir, tidak terlalu pelit dan berlebihan, larangan membunuh anak karena takut miskin, larangan zina, larangan membunuh sesama, larangan memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, memenuhi takaran (timbangan) dengan adil, dan ditutup dengan larangan untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui (taklid buta).

Syirik dan taklid buta menjadi sejajar manakala syirik dilakukan karena manusia mengikuti tanpa ilmu dan tanpa dalil terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain.

Sabda Rasulullah SAW di atas ditutup dengan anjuran kepada Muadz untuk tidak langsung menyampaikan sabda itu kepada khalayak karena khawatir orang-orang terlalu bergantung pada keluasan rahmat Allah.
Sehingga mereka malas berusaha karena tahu bahwa Allah akan mengganjar mereka dengan ‘bebas siksa’ ketika mereka cukup dengan ‘tidak syirik’. Ini akan membuka peluang kemalasan dalam meningkatkan kualitas ibadah.

Oleh karenanya, Muadz baru menyampaikan sabda berharga ini di detik-detik kewafatannya. Sehingga orang-orang sezamannya tidak ada yang tahu. Sebuah pesan rahasia, penyelamat dari segala siksa untuk semua manusia. Wallahu a’lam.


Oleh: Ina Salma Febriany


Balas Dendam





Dilatarbelakangi kekalahan mereka dari kaum muslimin pada peperangan di Lembah Badar (17 Ramadhan 1 H), kaum Quraisy (Makkah) bersepakat membalas dendam.

Lalu, mereka menyiapkan pasukan berkekuatan sekitar 3.000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.
Pasukan sebesar itu ternyata merupakan gabungan dari kaum Quraisy, sejumlah warga Habsyah dan warga Arab dari Bani Kinanah dan Bani Tihamah.

Setelah informasi tersebut diketahui Rasulullah SAW, tanpa membuang-buang waktu beliau berkonsolidasi dengan para sahabat untuk mencari jalan ke luar terbaik.
Setelah perdebatan panjang, kaum muslimin bersepakat menghadang mereka di luar Kota Madinah yakni di Gunung Uhud.

Dengan kekuatan sekitar 1.000 prajurit, Rasul berangkat ke Gunung Uhud menghadang musuh (pertengahan Syaban 2 H).
Maka berkecamuklah peperangan itu. Berbeda dengan peperangan di Lembah Badar tahun sebelumnya, peperangan di Gunung Uhud berakhir dengan kemenangan pihak musuh.

Kekalahan tersebut terasa sangat menyakitkan. Bukan saja karena banyaknya korban di kalangan kaum muslimin namun karena ketidakdisiplinan prajurit Islam sendiri. Konon, prajurit pemanah yang berjaga di punggung gunung sekonyong-konyong meninggalkan pos mereka.

Mereka tergiur harta benda yang ditinggalkan begitu saja oleh pihak musuh. Dengan begitu, ketika prajurit Islam yang serakah tersebut sedang mengambil harta benda di kaki Gunung Uhud seketika itu pula disergap musuh.

Maka terjadilah malapetaka yang sangat menyakitkan itu. Hamzah bin Abdul Muthalib, panglima perang sekaligus paman Rasulullah SAW terbunuh ditombak dari belakang oleh Wahsyi,  budak milik  Muth’im bin Jubair.

Dalam suatu riwayat dikemukakan, pada peperangan di Gunung Uhud itu, gugur 64 orang dari kalangan Anshar dan enam orang dari kalangan Muhajirin termasuk Hamzah. Semua prajurit Islam itu anggota tubuhnya dikoyak-koyak dengan kejam.

Bahkan, ketika Hindun bin Uthbah (istri Abu Sufyan bin Harb) melihat jasad Hamzah yang sudah tidak bernyawa, dihampirinya dengan penuh kebencian. Lalu, dia belah dadanya. Dia keluarkan jantungnya. Dia mengunyahnya, dan menelannya. Biadab!

Maka berkatalah kaum Anshar, “Jika kami mendapat kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan.” (HR At-Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab).

Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah berdiri SAW di hadapan jenazah Hamzah beliau berkata, “Aku akan bunuh 70 orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Kitab Ad-Dalail dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah).

Apa yang diungkapkan kaum Anshar dan Rasulullah SAW menyiratkan keinginan membalas dendam. Mereka saat itu beranggapan, yang dilakukan musuh telah melampaui batas peri kemanusiaan. Maka menurut mereka sepantasnya dibalas dengan balasan yang setimpal.

Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16] : 126 -128).

Menurut Ibnu Hishar ayat-ayat tersebut diturunkan hingga tiga kali. Mula-mula diturunkan di Makkah, lalu di Gunung Uhud, selanjutnya saat Fathu Makkah. Kandungan ayat itu juga sangat menarik. Dalam keadaan sesulit apapun, kaum muslimin diajarkan untuk bersabar.

Dalam situasi seperti itu, bersabar akan terasa sangat berat. Namun, Allah SWT menjanjikan pertolongan. Dalam ayat lain ditegaskan pertolongan Allah itu dekat. Karena itu, tidak perlu bersedih hati dan tidak perlu bersempit dada.

Oleh: Mahmud Yunus


Mujaddid





Berita-berita buruk itu berseliweran, seperti anak-anak panah yang menghujam. Nafaspun tersengal karena kesal sekaligus sebal.
Astaghfirullah, ya Allah, pagi ini sangat sedikit berita baik yang terselip. Berita buruk terasa membawa pengaruh buruk, berita baik memberikan secercah asa perbaikan.

Teringat sebuah hadis. Perbuatan dosa mengakibatkan sial terhadap orang yang bukan pelakunya. Kalau dia mencelanya maka bisa terkena ujian (cobaan). Kalau menggunjingnya dia berdosa dan kalau dia menyetujuinya maka seolah-olah dia ikut melakukannya. (HR Ad-Dailami).

Kasus sodomi, korupsi, tawuran, penipuan, video mesum, aliran sesat, gas langka, listrik padam, bakso daging celeng, dan sebagainya. Susul-menyusul seperti balap motor GP.

Berita Pilpres pun tidak lagi menjadi pemuas dahaga. Sibuknya partai berkoalisi dan bersinergi seperti yang hanya untuk tujuan bagi-bagi kursi.

Banyak orang berdiskusi tentang datangnya ratu adil. Jika kita telaah ratu adil merupakan mitologi yang mengatakan, akan datang seorang pemimpin yang menjadi penyelamat.
Ia akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ramalan tentang datangnya ratu adil ini berasal dari Prabu Jayabaya.

Pertanda kedatangan ratu adil adalah adanya kemelut sosial, malapetaka alam, dan sebagainya. Mungkin boleh jadi Prabu Jayabaya mendengar hadis tentang Imam Mahdi karena Prabu Jayabaya hidup pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M, sedangkan jauh sebelum itu Rasulullah SAW lahir tahun 570 atau 571 M.

Rasulullah SAW bersabda, “Andai tak tersisa lagi di dunia kecuali satu hari yang Allah panjangkan hari itu sehingga akan muncul seorang laki-laki dari keturunanku atau dari ahli baitku, yang namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku, (saat itu) bumi dipenuhi kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi kelaliman dan kezhaliman.” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Akankah sistem pemilihan negara kita melahirkan pemimpin? Ulil amri yang sebenarnya? Jika dipikir secara logis banyak yang pesimistis. Tapi untuk itulah ada iman. Dengan pendekatan iman selalu hadir rasa optimistis.

Dari Abu Hurairah, mengatakan Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini di setiap awal 100 tahun seorang mujaddid yang akan memperbaharui urusan (membawa kegemilangan) agama mereka. ” (HR Abu Daud).

Ah, jika negara ini sudah berumur 69 tahun, berarti dahulu bapak-bapak pendiri bangsa ini berumur sekitar 30-an. Artinya sudah saatnya sekarang siklus 100 tahunan.

Semoga hitungan ngawur sejadinya ini bisa dikabulkan Allah SWT. Ya Rabb hadirkanlah seorang pemimpin, ulil amri, ratu adil, mujaddid hari ini.

Perbaikilah kehidupan kami, kehidupan bangsa, dan negara kami. Salehkanlah presiden dan wakil presiden terpilih kami nanti, salehkan juga kami rakyatnya.
Jika mereka seseorang yang jauh dari agama-MU, dekatkanlah, tobatkanlah, dan  berilah mereka taufik serta hidayah.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.


Oleh: Erick Yusuf

Kamis, 15 Mei 2014

Memiliki Kekayaan





Dikisahkan, para sahabat sedang mengada
kan perjalanan bersama Nabi Muhammad SAW. Sebagian mereka berpuasa (sunah), sebagian yang lain tidak. Perjalanan sangat melelahkan karena matahari begitu terik. Mereka lantas  berhenti di satu tempat untuk berteduh.

Sebagian menggunakan kain, sebagian lagi hanya menggunakan tangan mereka. Mereka yang puasa sangat kelelahan. Lalu, sahabat yang tidak puasa bergegas mendirikan bangunan, tempat berteduh, dan memberi minum kepada para musafir.

Nabi SAW mengapresiasi langkah para sahabat yang tidak puasa dan menyatakan mereka bakal mendapat pahala dari Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Islam, seperti ditunjukkan Nabi dan para sahabat dalam kisah di atas, mengajarkan kepada kita, dua kesalihan (ibadah),  yaitu kesalihan individual dan kesalihan sosial. Kesalihan individual ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat vertikal (habl min Allah).

Kesalihan sosial ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat horizontal atau sosial (habl min al-nas), seperti membantu orang lain dan memberikan  donasi kepada mereka yang memerlukan. Kedua ibadah ini mesti ada dalam diri Muslim dan menjadi prasyarat kebahagiaannya.

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj [22]: 77). Ada dua perintah dalam ayat ini.

Pertama, perintah rukuk dan sujud alias shalat yang mewakili ibadah formal. Kedua, perintah berbuat kebajikan yang mewakili ibadah sosial. Menurut Imam al-Razi, shalat itu bagian dari ibadah dan ibadah bagian dari kebajikan.

Jadi, kebajikan itu bersifat umum. Di dalamnya terkandung ibadah formal dan ibadah sosial sekaligus. Inti dari ibadah sosial, menurut Ibn Abbas, seperti dikutip banyak ahli tafsir, adalah silaturahim dan keluhuran budi pekerti.

Keduanya memiliki semangat kemanusiaan dan kemasyarakatan yang tinggi. Silaturahim, seperti diketahui, mendorong kita mampu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan sesama manusia, terlebih  dengan orang-orang yang masih berkerabat.

Sementara akhlak mulia menuntun kita agar bersifat asketis dan humanis, sehingga keberagamaan kita dirasakan manfaatnya oleh orang lain.

Pakar tafsir lain, Ibn `Asyur, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, menambahkan satu lagi ibadah sosial yang diminta ayat di atas, yaitu amar makruf dan nahi munkar. Amar makruf berarti menyuruh manusia pada kebaikan. Nahi munkar, mencegah manusia dari kejahatan.

Dalam pengertian yang lebih luas, amar makruf bermakna membangun sistem Islam yang berlandaskan akidah tauhid. Sedangkan nahi munkar bermakna menjaga dan memelihara agar sistem dan bangunan Islam itu tetap tegak dan kokoh.

Pada kenyataannya, kebanyakan kita hanya mementingkan ibadah formal tetapi kurang memperhatikan ibadah sosial. Padahal, kebaikan ibadah formal, seperti shalat, puasa, haji, zikir dan doa hanya kembali kepada kepentingan diri sendiri.

Kebaikan ibadah sosial kembali pada kemaslahatan umat. Ibadah formal sejatinya merupakan dasar dan landasan bagi lahirnya ibadah sosial. Dengan mempertinggi ibadah sosial, Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a`lam!



Oleh: A Ilyas Ismail