OBAT bagi sebuah bangsa yang salah kelola adalah
pertama inflasi mata uang;
kedua adalah perang.
Keduanya membuahkan kesejahteraan sementara;
keduanya membuahkan kehancuran permanen.
Namun, keduanya merupakan tempat berlindung oportunis politik dan ekonomi.
Jerman, suatu ketika, pernah merasakan pahitnya dua jenis obat yang dikatakan Ernest Hemingway itu. Seusai Perang Dunia I, tahun 1920-an, Jerman mengalami hiperinflasi. Di era Weimar itu, Jerman harus menerbitkan uang kertas sejumlah 100 triliun mark ketika hiperinflasi memuncak pada 1923.
Saat inflasi melonjak, kita mesti merogoh uang lebih banyak untuk sebungkus mie. Ronald Reagan, mantan presiden AS, karena itu, menggambarkan inflasi ‘sama jahatnya dengan pejambret, sama menakutkannya dengan perampok bersenjata, dan sama mematikannya dengan pembunuh bayaran.” Bukankah semua itu pangkalnya uang? Tapi pernahkah, seperti tanya Ayn Rand, Anda pikirkan apa akar dari semua uang?
Edmund Conway bukan hanya meminjam ucapan ekonom, tapi juga mencuplik sindiran Hemingway, kegusaran Reagan, dan pertanyaan filosofis Rand, untuk menggarisbawahi isu-isu ekonomi yang kita hadapi sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.
Di sepanjang buku bersampul sederhana ini (penerbit Esensi, 2011), Conway menuturkan 50 gagasan ekonomi yang perlu Anda ketahui (Conway hanya menulis satu gagasan untuk komunisme, selebihnya kapitalisme, dan menyisakan satu isu bagi gagasan lain, yakni happynomics).
Conway mencoba menarik teori ekonomi dari buku teks yang tebal dan rumit menjadi racikan gagasan yang lebih mudah dicerna. Untuk setiap gagasan, ia meramu teks sepanjang beberapa halaman ihwal bagaimana teori dan praktek berjalan. Ia sisipkan text box sebagai fokus pada isu tertentu dan garis waktu yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang menjadi tonggak sejarah: ambruknya Wall Street (1929) dan Black Monday (1987) ketika ia mengulas gagasan tentang saham.
Pengungkapan seperti itu mengingatkan kita agar tidak lupa sejarah. Dan “sejarah ekonomi” dalam kehidupan kita tak lain adalah sejarah pertarungan gagasan. Globalisasi yang tengah berlangsung memperoleh tentangan yang sama kerasnya dengan dukungan pada ide ini.
Tapi editor ekonomi pada Daily Telegraph ini menunjukkan bahwa gagasan ekonomi bukanlah persoalan para ekonom dan akademisi saja, atau pebisnis dan pialang saham semata. Gagasan ekonomi adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebagai pekerja, pemilik toko, pemasok barang, juga pengangguran (Conway benar tatkala menyimpulkan gagasan inti pengangguran: tingkat pengangguran nol adalah mustahil).
Pikiran-pikiran Keynes, Friedman, ataupun Schumpeter niscaya bukanlah gagasan yang asing bagi para ekonom dan akademisi. Namun Conway menunjukkan, lewat kitab ini, bahwa semua gagasan yang telah begitu jauh mengatur hidup kita ini layak untuk dipahami oleh awam. Buku ini setidaknya mengajak kita untuk ingat bahwa ekonomi layak untuk diperhatikan bukan hanya ketika banyak hal menjadi buruk seperti yang melanda Eropa sekarang.
Conway telah menunjukkan bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya adalah studi mengenai orang. Ia menghindari angka dan statistik dan mengajak kita memahami ekonomi sebagai penyelidikan mengenai apa yang membuat kita merasa bahagia dan puas, tentang bagaimana kemanusiaan telah berhasil menjadikan manusia lebih sehat dan sejahtera. Raja Bhutan mengembangkan konsep gross national happiness untuk mengukur kemajuan masyarakatnya. Memang, akhirnya, ekonomi tidak selalu mengenai uang. **
http://blog.tempointeraktif.com/ekonomi-bisnis/ekonomi-pada-akhirnya-adalah-studi-tentang-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar