Rabu, 11 Mei 2011

Allah Mencintai Seorang Hamba Yang Bertaqwa, Besar Hati Dan Merahasiakan Ibadahnya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, besar hati lagi merahasiakan ibadahnya“
[1]

Hamba yang bertaqwa : Adalah seorang hamba yang beriman kepada perkara ghaib, mendirikan shalat, meninfakkan harta yang Allah rizkikan kepadanya, beriman dengan segala yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang diturunkan kepada Rasul sebelum beliau, meyakini akan adanya hari akhirat, menepati janjinya, menjauhi segala yang Allah haramkan, taat kepada Allah dan mengikuti syari’at-Nya yang dengan syari’at tersebut Allah telah mengutus penutup para Rasul-Nya dan penghulu mereka …

Kebesaran Hati : dimaksud adalah kekayaan jiwa, inilah kekayaan yang dicintai, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“ Akan tetapi yang dimaksud dengan kekayaan adalah kekayaan jiwa “[2]

Ibnu Baththal mengatakan : “ Makna dari hadits tersebut, bukanlah kekayaan diukur dengan banyaknya harta dikarenakan sebagian besar orang yang Allah berikan kelapangan harta baginya tidak merasa berkecukupan dengan apa yang diberikan kepadanya, sehingga dia bersungguh-sungguh dalam mencari tambahan dan tidak memperdulikan dari mana dia memperolehnya, seolah-olah dia bagai seorang yang fakir akibat keseriusannya dalam mencari harta. Melainkan kekayaan yang sebenarnya adalah kebesaran/kekayaan jiwa, yaitu yang merasa cukup dan puas dengan apa yang diberikan kepadanya dan ridha serta tidak demikian serius dalam mencari tambahan harta dan tidak pula rakus dalam menuntut harta benda. Seolah-olah dia seorang yang kaya raya “.

Al-Qurthubi mengatakan : “ Makna hadits tersebut, bahwa kekayaan yang memberi manfaat atau yang bernilai sangat besar atau yang terpuji adalah kekayaan jiwa “. Ulasannya bahwa jikalau jiwanya telah berkecukupan , niscaya akan menahan diri dari sikap tamak, dengan begitu jiwanya akan meraih kemuliaan dan semakin agung dan akan mendapatkan kehormatan, kesucian, kemuliaan, pujian lebih banyak dari pada seorang yang jiwanya fakir karena kemauan untuk meraih harta, karena hal seperti itu akan menjerumuskan pada perkara-perkara yang hina dan perbuatan-perbuatan yang rendah karena kemauannya yang rendah dan sikap bakhil pada dirinya. Dan akan banyak dari kaum manusia yang akan mencelanya dan kedudukannya akan menjadi kerdil dihadapan mereka, sehingga dia akan lebih hina dina dari pada seorang yang hina dan akan sangat rendah dari pada setiap orang yang rendah.

Kesimpulannya, bahwa seseorang yang memiliki sifat jiwa yang besar akan menjadi seorang yang puas dengan rizki Allah tidak lah memiliki kehendak untuk mencari tambahan yang tidak dibutuhkannya dan tidak juga rakus dalam mengusahakan tambahan harta, dan tidak merasa kepuasan dalam setiap permintaannya. Melainkan dia ridha dengan pembagian Allah bagi dirinya, layaknya dia telah mendapatkannya untuk selamanya. Sedangkan seseorang yang memiliki sifat jiwa yang miskin berkebalikan dengan yang sebelumnya, karena dia tidak akan merasa puas dengan yang diberikan kepadanya, bahkan dia selamanya akan mengupayakan tambahan dari setiap peluang yang memungkinkan baginya, karena dia tidak merasa cukup dengan yang telah diberikan kepadanya, seolah-olah dia bukan seorang yang kaya raya. Selanjutnya pula, kekayaan jiwa ini muncul dari sifat ridha dengan segala ketentuan Allah ta’ala dan berserah diri kepada segala keputusan-Nya, karena mengetahui bahwa yang ada disisi Allah jauh lebih baik dan kekal. Dia akan berpaling dari segala upaya dan usaha mencari tambahan harta. Ath-Thibi mengatakan : Mungkin yang dimaksud dengan kekayaan jiwa adalah tercapainya segala kematangan ilmiyah dan amaliyah, yang diisyaratkan oleh sorang penyair didalam sya’irnya :

Dan siapa saja yang menginfakkan sebagian besar waktu luangnya untuk mengumpulkan harta

Karena takut akan kemiskinan, maka dialah yang telah melakukan perbuatan kemiskinan tersebut.


Maksudnya bahwa dia sepantasnya menginfakkan waktunya untuk meraih kekayaan yang sebenarnya yaitu pencapaian segala kematangan ilmiyah dan amaliyah, bukan dengan mengumpulkan harta benda, karena perbuatan itu tidaklah menambah sesuatu baginya kecuali kemiskinan”.

Ibnu Hajar mengatakan : “ Pendapat ini, walaupun mungkin juga seperti ini maksud hadits tersebut, akan tetapi pendapat sebelumnya lebih tepat menunjukkan maksud hadits. Dan kekayaan jiwa seseorang akan tercapai dengan kekayaan hatinya, yaitu dengan merasa butuh kepada Rabb-nya pada setiap perkaranya dan membenarkan bahwa Dialah Dzat yang Maha pemberi dan yang Maha menahan sesuatu, dengan begitu dia akan ridha dengan segala keputusan-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat pemberian-Nya dan bersegera kembali kepada-Nya dalam menepis setiap kemudharatan yang menimpa dirinya. Maka dari rasa butuh didalam hati kepada Allah akan timbul kecukupan pada dirinya tidak lagi membutuhkan selain Rabbnya ta’ala. Adapun kekayaan yang tercantum didalam firman-Nya ta’ala :

“ Dan Dia mendapati engkau dalam keadaan papah lalu membuatmu berkecukupan “[3]

Turunannya pada kekayaan diri, dikarenakan ayat tersbeut adalah ayat Makkiyah, dan bukan suatu yang tersembunyi betapa keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum takluknya daerah Khaibar dan wilayah lainnya, yang beliau dalam keadaan sangat sedikit memiliki harta, wallahu a’la.

Al-Khafi : Yaitu seseorang yang tidak menampakkan peribadatannya dan memutuskan dirinya demi peribadatan dan menyibukkan diri pada perkara-perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Bisa saja seseorang yang yang rambutnya kusut terurai menjaga pintu-pintu, sekiranya dia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan memuliakannya “[4]

Seseorang yang kusut rambutnya, adalah seseorang yangmembiarkan rambutnya terurai tak terurus dan beruban, tidak diberi minyak dan tidka disisir. Yang dimaksud menjaga pintu-pintu, adalah ketidakmampuan yang ada pada dirinya ditengah-tengah kaum manusia, dimana kaum manusia menghalaunya dari pintu-puntu kediaman mereka karena menganggap remeh orang tersebut. Dan sekiranya dia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan memuliakannya, maksudnya : seandainya dia bersumpah agas sesuatu terjadi , niscaya Allah akan memenuhi sumpahnya , sebagai bentuk pemuliaan Allah bagi orang tersebut dengan mengabulkan permintaannya dan menjaganya agar tidak melanggar sumpahnya. Hal ini, karenatingginya kedudukan orang tersebut disisi Allah ta’ala walau dia hina menurut anggapan kaum manusia.Ada yang berpendapat bahwa makna sumpah pada hadits diatas adalah doa, dan makna Allah akan memuliakannya yaitu mengabulkan doanya.[5]

Sesungguhnya Allah mencitai orang-orang yang bertaqwa lagi menyembunyikan amal-amal ibadahnya yang mana apabila dia dalam keadaan menghilang tak menampakkan diri maka sebenrnya dia tidaklah menghilangkan dirinya dan apabila dia hadir maka dia tidak dikenali. Dia tidak menampakkan kebaikan yang dikerjakannya, amal perbuataan dan ilmunya. Tidak mengharap penghormatan dihati-hati setiap makhluk , dan merasa puas dengan pengawasan Allah pada setiap ketaatan yang diperbuatnya tanpa memperdulikan perhatian makhluk. Merasa puas dengan pujian Allah dan tidak membutuhkan pujian manusia, tidak suka apabila terkenal dan lebih menyenangi untuk tidak disebut sama sekali.


[1] Diriwayatkan oleh Muslim didalam Kitab az-Zuhd.

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari didalamKitab ar-Riqaaq, bab. Al-Ghina Ghina an-Nafsi

[3] Adh-Dhuha : 8

[4] Diriwayatkan oleh Muslim didalam Kitab al-Birr wa ash-Shilah wal-Adab, bab. Fadhl adh-Dhu’afa’ wa al-Khamiliin.

[5] An-Nawawi : Syarh Shahih Muslim 16 / 174 – 175


http://kautsarku.wordpress.com/2010/03/01/allah-mencintai-seorang-hamba-yang-bertaqwa-besar-hati-dan-merahasiakan-ibadahnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar