Selasa, 22 Mei 2012

Mencegah Kehancuran Total



Kaidah Universal

Diantara kaidah universal yang telah digariskan al-Qur’an adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) tidak bertindak zalim terhadap bangsa yang berbuat baik. Allah SWT Maha Adil dalam perintah-Nya dan adil pula dalam larangan-Nya. Maka, tidak ada keterpurukan dalam bentuk apa pun sepanjang bangsa itu beramal saleh, menjauhi kemaksiatan dan tidak melanggar hukum-Nya. Dan apabila mereka melanggar batasan Allah SWT, berarti mereka sendirilah yang mengundang kehancuran tersebut.
Setiap kali Allah SWT menuturkan tentang kehinaan suatu bangsa dalam al-Qur’an, selalu disertai dengan penjelasan kejahatan-kejahatan yang dilakukan sehingga berefek pada datangnya petaka.

Kaidah Turunan. 

Kaidah lain yang muncul dari kaidah universal tadi adalah bahwa penyebab petaka itu bukan kejahatan individual, tetapi kemaksiatan yang dilakukan secara jama’i. Jika terjadi kerusakan akidah (pola pikir) dan akhlak (perilaku) yang dilakukan secara individu secara terpisah, tetapi kondisi sosial secara umum masih baik, maka kehancuran akan ditunda menurut ilmu-Nya.

Manakala kerusakan pikiran, orientasi dan perilaku telah merata atau telah menjadi kultur masyarakat, maka pertolongan Allah SWT tidak akan turun. Maka bersiap-siaplah menghadapi kemurkaan dan kehancurannya.
Umat Nabi Nuh Alaihi Sallam (AS) misalnya, mereka dihancurkan di saat kerusakan akidah dan amaliah mereka sudah merata tanpa ada pengecualian, laksana sebatang pohon, tidak ada satu buah pun yang bisa dikonsumsi. 

“Rabbi, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tersisa di atas permukaan bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan anak kecuali anak-anak jahat dan amat kafir.” (Nuh [71]: 26-27).

Demikian pula kaum ‘Ad, mereka terpuruk, ketika kejahatan yang mereka lakukan mencapai grafik yang tinggi; pemimpin mereka terdiri dari orang-orang yang zalim dan berbuat kerusakan di negeri. Di sisi lain, tiada seorang pun yang merdeka melakukan kebaikan. Kisah kaum ‘Ad ini tercantum dalam surat Hud (11) ayat 59.
Nasib serupa juga menimpa kaum Luth AS, mereka disiksa oleh Allah SWT ketika kebejatan moral dan kebanggaan terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan sudah memuncak. Mereka dengan terang-terangan melakukan perbuatan nista (homoseksual), di pasar-pasar dan tempat terbuka. Lebih memprihatinkan lagi, mereka tidak memandang keji terhadap dosa yang mereka lakukan.

Penduduk Madyan juga merasakan siksa serupa ketika berlaku curang, khianat dan menjalankan perilaku buruk lainnya. Mereka hobi mengurangi takaran. Berlaku jujur malah dipersepsikan sebagai sesuatu yang cela. Ketika ada yang mengingatkan, mereka sambut dengan caci maki dan celaan, bahkan mereka tidak pernah merasa menyesal dengan kemaksiatan.

Adapun Bani Israil, mereka ditimpa kehinaan dan kesengsaraan melalui murka dan laknat Allah SWT lantaran telah demikian terjerumus dalam perbuatan jahat, bersikap memusuhi orang lain, dan memakan barang haram. Sementara itu, para pemimpin dan tokoh-tokoh agama mereka larut dalam kehidupan mewah dan melebihi batas kepentingan pribadi yang mereka ciptakan: mereka memperbolehkan kedurhakan dan dosa tanpa ada seorang pun yang mencoba mencegahnya dengan mengatakan bahwa perbuatan seperti itu adalah aib. 

“…Dan ‘Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak pernah saling mencegah satu sama lain atas tindakan munkar yang mereka lakukan. Sungguh amat buruk apa yang mereka perbuat.”  (Al- Ma’idah [5] :78-79 ).

Mencegah Kemaksiatan. 

Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) yang menafsirkan ayat terakhir di atas menjelaskan tentang maksud al-Qur’an dengan penjelasan yang sangat jelas. Kesimpulan dari Hadits-hadits itu terdapat dalam satu riwayat yang menuturkan bahwa Nabi SAW menyatakan:
“Ketika kedurhakaan yang dilakukan Bani Israil itu sudah sampai pada puncaknya, maka ada salah seorang di antara mereka yang memergokinya sedang melakukan maksiat, lantas ia pun menegur: ‘Kawan, takutlah engkau kepada Allah, dan tinggalkanlah maksiat ini, sebab ia tidak halal bagimu.’ Akan tetapi ketika besoknya orang tersebut kembali memergoki kawannya tersebut melakukan kemaksiatan lagi, ia membiarkannya, dan bahkan ia sendiri ikut bergabung bersama kawannya itu. Lantaran itulah maka Allah lalu menimpakan kegelisahan dalam hati mereka. Selanjutnya Nabi SAW membacakan ayat: “Orang-orang yang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam …. “ seperti tersebut di atas. 

Para sahabat menuturkan bahwa saat itu Nabi SAW sedang bertumpu pada kedua siku beliau, kemudian beliau duduk, lalu berkata: “Jangan, jangan sekali-kali Anda bersikap seperti demikian. Hendaklah Anda mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, serta halangilah orang yang sedang melakukan kemaksiatan, dan doronglah ia untuk berbuat baik semampu Anda. Sebab kalau tidak, niscaya Allah akan menimpakan kegelisahan dalam hati Anda sekalian satu sama lain, dan Anda pasti akan mendapat laknat seperti yang mereka alami.”

Kerusakan akidah dan perilaku serupa ini dapat dimisalkan sebagai wabah. Manakala seseorang terserang wabah penyakit, maka wabah itu pertama akan menyerang anggota tubuh yang lemah. Jika kondisi masyarakat sekitarnya baik dan cara yang diterapkan untuk mengatasi wabah itu pun benar, serta ada usaha yang terorganisasi untuk melenyapkan wabah itu tanpa menundanya, niscaya wabah tak bakal menyerang semua orang, sehingga sebagian besar dari mereka dapat diselamatkan.

Akan tetapi ketika para dokter yang ada kala itu mengabaikan wabah tersebut, sementara orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat hanya berpangku tangan saja, niscaya wabah itu akan menyebar dan penyakit pun akan menyerang semua anggota masyarakat, sehingga orang yang semula sehat pun akan sakit pula.
Perumpamaan di atas bisa dianalogikan dengan kerusakan moral dan perilaku, serta kesesatan akidah. Para ulama adalah ‘dokter-dokternya’, sedangkan para pemimpin formal dan penguasa adalah ‘petugas-petugas kebersihan’ dan ‘kesehatan’. Sedangkan kesadaran moral masyarakat laksana fitalitas kehidupan, dan lingkungan masyarakat ibarat air, makanan, udara, pakaian dan tempat tinggal. Lalu amar bil makruf dan nahi ‘anil munkar dalam bidang keagamaan dan moral, dapat dipandang sebagai usaha kebersihan dan kesehata. 

Bila para ulama dan para pemimpin formal mengabaikan tugas sosial, dan berpangku tangan terhadap kerusakan dan kejahatan, maka kehinaan, dekadensi moral akan merebak di kalangan individu umat. Ini akan menyebabkan lenyapnya ghirah keagamaan, dan selanjutnya akan melahirkan kerusakan lingkungan. Jika umat sudah pada tahap kejahatan seperti itu, niscaya layak mendapat bencana dari Allah SWT secara merata.

“Hendaklah engkau takut terhadap siksa yang tidak saja secara khusus menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu…..” (Al-Anfal [8]: 25).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas: yang dimaksud adalah hendaklah kalian tidak membiarkan kemaksiatan merajalela di tengah masyarakat, sebab kalau demikian niscaya Allah SWT menimpakan azab-Nya secara merata kepadamu.

Shalih Hasyim, pengasuh pesantren di Kudus.
SUARA HIDAYATULLAH NOPEMBER 2009 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar