Kamis, 07 Maret 2013

"The S Factor"


 by Amrie Noor
IGC Chief – 08032013



"I get to play golf, I get to practice. It's made me love golf more" - Stacy Lewis.

       S is for Stacy and Steel, literally.

       Jika orang pintar bilang bahwa 'champion is made of steel', tubuh Stacy Lewis (born in Toledo, Ohio - February 16, 1985) secara harfiah memang mengandung baja. Titanium tepatnya. Lima pen titanium dipasang untuk meluruskan tulang belakangnya (spine) yang berkelok bak trek sirkuit F1.

       Pada usia 11, Stacy didiagnosa terkena penyakit seram, scoliosis (an abnormal curving of the spine). Tulang belakang yang normal melengkung sedikit. Penderita penyakit ini, tulang belakang mereka melengkung ngaco. Operasi dilakukan tahun 2003 saat dia bersekolah di The Woodlands High School, Texas. Operasi ini sangat berbahaya karena menyentuh syaraf. Stacy muda dan kedua orangtuanya harus menandatangani pernyataan tak akan menuntut jika operasi gagal dan membuatnya lumpuh. Saat itu mana terbayang golf, Serapong course, HSBC trophy. Bisa jalan lagi aja udah bersyukur.



       Usai operasi, Stacy muda harus menggunakan 'body brace' 18 jam sehari. Untuk sekedar berdiri - gerakan alami yang kita lakukan tanpa mikir - Stacy butuh bantuan orang lain. Berbulan-bulan gak bisa tidur nyenyak dalam segala posisi. Masa depan terlihat sangat suram.

       10 tahun kemudian - Minggu, 4 Maret, 2013 petang - Stacy berdiri tegak menandatangani puluhan topi, kaos, buku yang disodorkan penggemarnya. Dia lakukan dengan ikhlas. Terus tersenyum. Bersyukur atas karunia kemenangan yang diraih, hasil perjuangan ketat melepaskan diri dari tempelan Na Yeon Choi dan Paula Creamer. Hujan kembali turun. Tangan Stacy terus bergerak membubuhkan namanya pada topi seorang gadis cilik. Mereka berpandangan lama. Si nona kecil seolah mewakili remaja putri di seantero jagat, menyampaikan pesan langsung dari hati, 'I want to be like Stacy. Never give up'.

       Minggu tengah hari, Team IGC (aku, Carlo, Wulan, Moko) masuk arena dan langsung menuju #9. Paula, Stacy, Na Yeon baru saja menyelesaikan hole 6. Skor pada leaderboard berubah. Lho, Paula sudah menyusul. Mereka bertiga imbang pada posisi 14 under. Carlo langsung bersemangat mengumbar ramalan, 'Chief, gue yakin Paula bakal menang. Si Choi akan termehek di 2nd 9 kayak gue'. Stacy gak direken. Gue senyum aja, karena tau sesuatu yang dia gak tau, bahwa pen baja Stacy telah menular dan mengubah empedu dan jantungnya menjadi setangguh baja juga.

       Tiba-tiba dari arah hole 7 par-5 sayup terdengar teriakan gemuruh penonton. Ada apa ya? Mataku bolak balik memandang leaderboard. Cewek-cewek yang sedang putting di green sebelah gak gue gubris. Kemudian angka pada board bergerak manual. Na Yeon -15. Wah, neng Korea dapet birdie. Paula -14. Hmmm, putting masih ngaco. Semua terperanjat ketika di ujung nama Stacy dipasang angka 16 merah. Whoaaaa, this little lady (1.65 m) just got eagle!

       Sayang kami tidak menyaksikan 'shot of the year' tersebut. Menurut saksi mata yang kutanya, untuk 2nd shot Stacy menggunakan hybrid dari jarak 180m, dan bola melambung indah menuju pin, berhenti hampir albatross kurang 12 cm dari lubang. Bahkan Na Yeon berkomentar takjub sambil membelalakkan matanya yang sipit indah: "When Stacy hit that shot, it was like WOW. You kind of thought it was going to be her day after that".

       Sebetulnya senjata utama Stacy adalah putter-nya. Ketika semua peserta pada meleset putting-nya (Paula 4x dari jarak 1.2 m), Stacy tidak imun. Dia unggul karena yang lain meleset lebih sering :-).

       Di hole pamungkas, Na Yeon hanya tertinggal 1 pukulan. Paula udah hilang greget. Ketiganya mengeksekusi drive sempurna. Na Yeon memilih layup untuk mencoba bikin birdie, dan berharap Stacy bikin kesalahan. Posisi pin sungguh jahanam, di kiri depan. Pukulan ragu dan lemah bakal masuk bunker (Paula did this), terlalu kiri ada kolam menganga. Di kanan green bertebaran bunker menunggu pro yang sok pengen 2 on.

       Dasar berhati baja, Stacy mengeluarkan wood 3 dari sarangnya, dan tanpa ragu menghajar si bola. Terlihat bola bakal jatuh di bunker, eh belok kiri dikit, mendarat di apron dan bergulir ke ujung belakang green. 2 on! Tapi, on hiburan. Pukulan berikut adalah the most scariest putt of all. Long, multiple breaks, severely sloping down hill.

       Na Yeon nge-chip. Keren. Stop pada jarak 4 m dari pin, down hill juga. Paula mengeksekusi 4th shot dari bunker, nete dan par. Kini di arena tinggal 2 gladiatoriawati saling mengintai. Putting Stacy kurang firm dan stop pada jarak 10 m dari pin. Alamak, playoff, deh. Eh, berkat gravitasi, bola Stacy bergerak lagi bergulir perlahan dan berhenti persis di depan markah Na Yeon.

       Cewek imut Korea putting duluan. Dia harus bikin birdie, dan berharap agar puting Stacy gagal. Bibir ribuan penonton Korea komat kamit menghantar doa 'kimchi kimchi bulgogi bimbimbap'. Jarak 3 m sering disebut 'jagu' (jarak gugup) bagi ladies, dan 'JBG' (jarak BG getar) buat cowok. Na Yeon gagal. Penonton Korea melenguh seirama, Carlo dengan tega teriak, 'Yessss!'. Tinggal Stacy pada posisi '2 putts to win'. Eh, diketok pulak. Bola lewat lubang dengan deras.

       Stacy yang gue yakin selalu bikin metal detector di bandara berdering kacau, berdiri lama, hening sendiri. Kedinya melangkah menjauh, seolah memberi kesempatan pada tuan putrinya untuk merenung. Paula dan Na Yeon menatap dengan haru. Mereka tau sesaat lagi ribuan penonton akan merubung Stacy dan memujanya dengan segenap cinta.

       Apa yang dipikirkan Stacy saat itu? Apakah dia teringat kemenangan yang juga dramatis ketika merebut gelar pertama sebagai pro (sejak 2008) dalam turnamen major 2011 Kraft Nabisco Championship, menahan gempuran juara bertahan, ranking 1 dunia, Yani Tseng? Apakah dia mengenang saat dianugrahi LPGA Player of the Year tahun lalu? Atau jauh ke masa silam ketika untuk berdiri saja perlu bantuan ibunda?

       Stacy taps in for par. Merebut gelar Champion of Champions. Dia lepaskan putter-nya, menakupkan kedua tangan, menggelengkan kepala tak percaya, menyeka buru-buru sudut matanya yang berlinang. Penonton bertepuk tangan membahana, bergelora sampai ke pucuk pepohonan tinggi yang memagari Sentosa.

       Ini adalah kisah perjuangan anak manusia. Bahwa cobaan justru menempamu menjadi seorang juara. Tentu dengan latihan dan kerja keras. Dan cinta orangtua.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar