Kamis, 01 Agustus 2013

MENJADI ORANG YANG BERMANFAAT




UKURAN kualitas seseorang adalah pada manfaat yang dia tebarkan. Semakin bermanfaat hidupnya, semakin tinggi kualitas orang itu. Sebaliknya, semakin tidak bermanfaat atau malah membawa mudharat, semakin rendahlah kualitas orang itu. Demikian Rasulullah mengajari kita, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat buat sekitarnya.

Kalau ditelusuri lebih jauh, kemanfaatan itu bukan hanya membahagiakan orang lain, namun juga membahagiakan diri sendiri. Bagi orang yang sudah memiliki ‘jam terbang’ kehidupan yang sudah cukup tinggi pasti bisa merasakan hal ini. Yakni, mereka yang sudah makan asam garam duniawi. Termasuk, pengusaha sukses yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya.

Kawan saya yang pengusaha sukses itu merasa tidak bahagia dan gelisah dikarenakan kehilangan harapan. Kenapa kehilangan harapan? Karena harapannya sudah tercapai semua lewat kesuksesannya. Dan setelah cita-citanya tercapai semua itu, dia merasa hidupnya menjadi putus harapan dan hampa. Tak ada lagi yang dia kerjakan. Menganggur tanpa tujuan itulah yang menyebabkan dia hampa, meskipun semua kebutuhan dasarnya terpenuhi oleh kekayaan dan segala pencapaiannya selama ini.

Maka, Islam mengajari kita agar tidak menjadikan kesuksesan duniawi ini sebagai harapan final. Melainkan hanya sebagai harapan sementara, atau harapan antara. Dimanakah atau apakah harapan finalnya? Adalah kehidupan sesudah mati, dimana kita akan bertemu dengan sumber segala realitas. Dialah Allah, Sang Penguasa Sejati. Sumber segala kebahagiaan yang hakiki.

Inilah syarat pertama seseorang dalam mengejar kebahagiaan hakiki. Dia harus memiliki harapan yang tidak berhenti hanya di fase duniawi saja. Melainkan harus sampai ke ukhrawi atau kehidupan sesudah mati. Itulah ayat yang saya kutipkan di tulisan sebelumnya. QS. Al Kahfi (18): 46. ‘’Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang abadi lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu. Serta lebih baik untuk menjadi harapan.’’

Apa kaitannya dengan tema ‘Menjadi Orang yang Bermanfaat’ kali ini? Tentu saja sangat erat. Seseorang yang mematok kebahagiaannya secara individualistik pasti tidak akan bertemu dengan kebahagiaan. Melainkan akan bertemu dengan kekecewaan dan putus harapan. Persis seperti yang dialami kawan saya tersebut. Di usianya yang sudah kepala tujuh, dan dengan kesuksesan duniawi yang berlimpah ternyata dia masih merasa belum menemukan yang dia cari. Semua kesuksesan yang diperolehnya itu tak bermakna apa-apa dalam usahanya mencari kebahagiaan.

Kesalahan mendasarnya adalah dia mematok kebahagiaan dalam bentuk yang sangat individual. Dengan cara itu, dia telah membatasi kebahagiaanya hanya pada diri sendiri. Padahal, begitu banyaknya sumber kebahagiaan yang terhampar di sekitar kita, yang hanya bisa kita peroleh ketika kita menempatkan nilai kebahagiaan itu secara sosial.

Contoh kecil yang sangat sederhana adalah sebagai berikut. Jika Anda menempatkan kenikmatan makan hanya secara individual, maka kebahagiaan Anda hanya akan berhenti pada 2-3 piring saja. Karena, tentu saja, perut kita sudah tidak kuat lagi menampungnya. Dan, ketika hal itu telah tercapai maka selesailah kebahagiaan Anda. Bingung mencari kebahagiaan. Selain perut sudah kenyang, selera makan sudah menurun.

Bandingkan dengan jika kita mematok kebahagiaan makan ini secara sosial. Yakni, dengan memberi makan orang-orang yang sedang dilanda kelaparan. Semakin banyak kita memberi makan kepada mereka, semakin besar pula kebahagiaan yang kita peroleh. Tentu saja, jika kita sudah bisa menempatkan rasa kepedulian sebagai substansi kebahagiaan. Kualitasnya tidak akan berhenti pada 10-20 piring, namun bisa mencapai ratusan, ribuan, ataupun lebih banyak lagi. Tak ada batasnya. Semakin besar jiwa sosial kita, semakin bermanfaatlah kita, dan semakin besar pula rasa kebahagiaan yang kita peroleh. Kebahagiaan yang lebih besar adalah seiring dengan kemanfaatan kita bagi sekitar.

Itulah sebabnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang yang paling baik diantara kita adalah orang yang paling banyak manfaatnya. Bukan hanya dalam artian materialistik ataupun harta benda, melainkan juga keilmuan. Semakin banyak kita memberikan pencerahan bagi kehidupan manusia, semakin besar pula manfaatnya, dan semakin bahagia karenanya.

Orang yang demikian, tidak akan pernah merasa kesepian atau hampa dalam hidupnya. Setiap saat dia ingin berbuat kebajikan, menebarkan amalan saleh untuk sekitarnya. Untuk anak-anaknya, untuk istri atau suaminya, untuk saudara-saudaranya, para sahabatnya, masyarakat, bangsa dan negaranya, serta seluruh umat manusia yang berinteraksi dengannya. Itulah konsep Islam yang kita kenal sebagai Rahmatan lil alamin. Seorang muslim sejati tidak akan pernah kehilangan kebahagiaan di dalam hidupnya. Sekaligus, selalu dalam posisi menebar kebajikan yang tercatat dalam keabadian, di dunia maupun di akhirat kelak.

QS. Fushshilat (41): 8. ‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala (kebahagiaan) yang tiada putus-putusnya.’’

Lebih jauh, jika seseorang ingin meningkatkan kebahagiaannya, dia harus menambahi kemanfaatan itu secara spiritual, yakni ikhlas hanya karena Allah semata. Itulah sebabnya, kualitas kebahagiaan adalah seiring dengan orientasi hidupnya. Orientasi individual, yang paling rendah. Sosial, tengah-tengah. Dan spiritual, adalah yang tertinggi.

Sebesar-besar manfaat seseorang secara sosial, masih kalah dengan orang-orang yang telah melandasi kebajikan sosialnya itu dengan niatan ikhlas karena Allah semata. Dia tidak punya potensi kehilangan sama sekali. Karena kesuksesan dan kebahagiaannya telah disandarkan kepada Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Berkehendak. Apa pun yang menjadi hasil usahanya dia terima sebagai anugerah dan kasih sayang-Nya.

Maka, dia akan menjadi orang yang nothing to lose dalam berbuat kebajikan dan menebar manfaat untuk siapa saja yang berinteraksi dengannya, sambil sekaligus merasakan hadirnya Allah Sang Maha Pemurah dalam kehidupannya. Keikhlasannya bukan hanya untuk manusia, tetapi sebagai wujud penghambaannya kepada Sang Penguasa Jagat Semesta. Jiwa orang yang sudah sampai di tingkatan itu adalah rasa lapang, jauh dari kegelisan, kekhawatiran dan kehampaan.

QS. Yunus (10): 62-64. ‘’Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (berbuat kebajikan dan menjauhi kemunkaran). Bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan (juga di kehidupan) akhirat. Tidak ada yang berubah pada kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.’’

Wallahu a’lam bissawab.


 (NB: Serial Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan diunggah di FB untuk memberi manfaat lebih luas.)

https://www.facebook.com/notes/agus-mustofa/tafakur-ramadan-11/10151522193931837

Tidak ada komentar:

Posting Komentar