Rabu, 19 Februari 2014

Jalan Hidup Salikin: Mengasah Telinga Batin



Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang dialami para nabi dan para wali (auliya).

Sebagaimana halnya telinga batin (sama’), mata batin (bashirah) juga membutuhkan pengasahan supaya bisa melihat lebih tajam dan mampu melihat sesuatu yang sulit diamati oleh mata kepala. Mata batin yang lebih tajam bisa melihat dan menyaksikan hal-hal yang gaib.

Untuk mengasah mata batin, diperlukan juga berbagai latihan, seperti halnya ketika kita mengasah telinga batin. Orang-orang yang rajin melakukan mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan berbagai bentuk pendekatan diri lainnya kepada Allah SWT, maka dapat menyingkap seluruh tabir (hijab) yang menghalangi seseorang untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang gaib.

Para salikin yang sudah mampu membuka tabir lalu menyingkap kegaiban maka ia sudah berada di tingkat mukasyafah, suatu prestasi spiritual yang mampu menyingkap rahasia dan alam gaib.

Menyaksikan sesuatu yang gaib sesungguhnya biasa dijelaskan dan tidak perlu kita ragu. Karena, hampir semua orang pernah mengalami mimpi. Mimpi itu sesungguhnya adalah salah satu bentuk penyaksian sesuatu yang gaib. Hanya saja mimpi kebanyakan hanya bunga-bunga tidur, seperti yang sering dialami banyak orang.

Yang dimaksud mengasah mata batin dalam hal ini bukan latihan untuk meningkatkan frekuensi kejadian mimpi, tetapi bagaimana meningkatkan tingkat kesadaran kita bisa mencapai derajat yang lebih tinggi. Dan, menyebabkan mata batin kita menjadi lebih sensitif.

Penglihatan mata batin ada persamaannya dengan mimpi, tidak bisa diidentikkan dengan mimpi biasa. Mimpi biasa (al-hilm) bisa dialami oleh semua orang tanpa dibedakan tingkat kesadaran spiritualnya.

Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang yang dialami para nabi dan para wali (auliya’). Nabi pernah menjelaskan hal ini dengan mengatakan, “Mimpi baik berasal dari Allah SWT dan mimpi buruk dari setan.” (HR Bukhari).
Menurut kalangan salikin, sama’ sangat berarti membantu dirinya untuk lebih fokus kepada suasana batin yang diinginkan.

Setidaknya, ada lima manfaat sama’ bagi para salikin. Pertama, melalui sama’, yaitu menyimak dan menghayati lagu dan atau irama tertentu mereka dapat melembutkan jiwanya yang keras, meluruskan pikirannya yang selama ini sering bengkok, membersihkan dan memutihkan hati yang selama ini kotor.

Seni musik merdu dan indah dapat menggiring seseorang untuk melupakan kesedihan, kepenatan, dan kegundahan hidup akibat kekecewaan demi kekecewaan yang mendera dirinya. Sama’ bisa menemukan kembali jati diri seseorang yang telah hilang.

Kedua, para salikin dapat men jadikan sama’ sebagai sarana untuk membuka hijab-hijab yang selama ini muncul sebagai akibat lamanya ia berpisah dengan Tuhannya.

Melalui sama’, hati dan pikiran seseorang bisa terketuk untuk membuka lebar-lebar perhatiannya kepada Tuhan melalui penyimakan syair dan lagu atau irama yang feminin. Perlahan-lahan, ia merasa ringan dan tenang perasaannya saat menghayati sama’ yang mengetuk dinding-dinding kalbunya.

Ketiga, kalangan salikin saat menghayati sama’ mendengarkan kembali komitmen spiritual yang pernah ia ikrarkan kepada Allah SWT. Hampir setiap orang pernah menyesali perbuatan buruknya sambil berikrar untuk meninggalkan dunia hitam dan gelap itu lalu kembali ke jalan yang benar.

Namun, dalam perjalanan hidupnya kemudian kembali terjerumus lagi. Melalui sama’ ikrar dan komitmennya bisa diperbarui kembali dengan menjalani kehidupan baru yang bebas dari noda dan dosa.

Keempat, ketika para salikin berada di dalam majlis sama’, ketika itu mereka berusaha untuk mencontoh sahabat-sahabat spiritual dan para mursyidnya yang tanpa beban penuh perhatian dan fokus menghayati sebuah irama lagu dan musik yang mengandung nasihat-nasihat luhur.

Dalam hati kecil para salikin, tebersit keinginan untuk menjadi mursyid walau hanya di tengah keluarganya sendiri yang amat terbatas.

Kelima, kalangan salikin dapat menjadikan tradisi sama’ untuk menjadikan telinganya lebih sensitif terhadap pesan-pesan Tuhan. Bunyi-bunyi halus di berbagai tempat bisa dimaknai sebagai pesan yang amat berharga bagi manusia.

Kita perlu mengingat, sebagian wahyu yang diterima Rasulullah berupa bunyi-bunyi lonceng, lalu Rasul menerjemahkannya ke dalam bahasa visual.

Inilah wahyu paling sulit diterima Rsulullah, sehingga Aisyah pernah berkata, wahyu paling sulit diterima suaminya tersebut ialah dalam bentuk bunyi lonceng. Terkadang, saat musim dingin Rasulullah berkeringat lantaran ia harus menerjemahkan dengan baik suara-suara lonceng yang disampaikan oleh Jibril.
Sudah saatnya seni dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, dan menampilkan jati diri serta inner beauty setiap orang.

Bagi telinga yang sudah sensitif, bunyi-bunyian alam sesungguhnya tidak lain adalah sama’ bagi para salikin. Apa pun yang didengar telinga sesungguhnya itu adalah musik makrokosmos, musik alam raya.

Bunyi deru ombak di laut, gemercik air sungai, gesekan dedaunan, dan nyanyian burung-burung malam, serta suara guntur pun semuanya menyampaikan pesan.

Para salikin harus membiasakan telinganya untuk lebih sensitif menerima suara-suara yang tidak melalui gendang-gendang telinga, melainkan langsung ke pusat saraf mereka.

Penghayatan terhadap setiap suara, kemudian dirasakan bagaikan irama musik indah merupakan karunia dari Allah SWT. Dalam salah satu ayat pernah disebutkan, “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (QS Fathir [35]: 1)

Dalam kitab Tafsir Fakhr ar-Razi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (as-shaut al-hasan).

Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Alquran, seperti diisyaratkan dalam surah al-A’raaf ayat 32, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”

Sindiran Alquran terhadap suara yang tidak memiliki unsur keindahan dan dianggap kasar ialah suara keledai. Ini seperti dinyatakan dalam surah Luqman ayat 19, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Suara keledai terkenal keras dan tidak beraturan.

Agaknya, memang seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran. Tetapi, Alquran itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekali pun. Baik pada masa turunnya maupun zaman-zaman sesudahnya.

Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni sastra dan bahasanya yang amat menakjubkan.

Selain Alquran, juga ditemukan beberapa hadis yang menerangkan bahwa musik dan seni suara mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia.

Para nabi yang diutus oleh Allah semuanya memiliki suara yang bagus, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Qatadah, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan suaranya bagus.”
Rasulullah dalam beberapa riwayat memberikan dukungan terhadap musik dan seni suara, antara lain, cerita Aisyah tentang dua budak perempuan pada hari raya Id (Idul Adha).

Keduanya menampilkan kebolehan bermain musik dengan menabuh rebana, sementara Rasulullah bersama Aisyah menikmatinya.

Abu Bakar tiba-tiba datang dan membentak kedua pemusik itu, lalu Rasulullah menegur Abu Bakar dan berkata, “Biarkanlah mereka berdua, hai Abu Bakar karena hari-hari ini adalah hari raya.”

Riwayat lainnya Aisyah pernah mengatakan, “Aku melihat Rasulullah menutupiku dengan serbannya, sementara aku menyaksikan orangorang Habsyi bermain di masjid.

Lalu, Umar datang dan mencegah mereka bermain di masjid. Kemudian, Rasulullah berkata, “Biarkan mereka, kami jamin keamanan wahai Bani Arfidah.” Kedua hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang tidak bisa diragukan keshahihannya.

Dalam lintasan sejarah dunia Islam, seni musik merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban Islam yang terus dikembangkan.

Sudah saatnya juga seni musik dan berbagai bentuk seni lainnya dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, dan menampilkan jati diri serta inner beauty setiap orang.

Orang yang rajin mengikuti sama’ diharapkan memiliki kepekaan telinga batin yang dapat menerima suara-suara batin untuk pencerahan umat manusia. Kita teringat, Wali Songo juga akrab dengan seni dalam memperkenalkan Islam di lingkungan kerajaan dan masyarakat.

Sama' yang pertama kali didengar manusia ialah suara Tuhan. Ketika onggokan atom-atom yang membentuk diri manusia di dalam rahim ibunya, sebelum roh suci ditiupkan ke dalam dirinya, maka Tuhan terlebih dahulu bertanya kepadanya dalam suatu pertanyaan dan sekaligus perjanjian primordial azali (mitsaq): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”

Lalu, sang janin terpesona mendengarkan suara indah nan merdu itu sambil menjawab: “Sudah pasti (Engkau Tuhanku), kami jadi saksi.” (alastu bi rabbikum qalu bala syahidna) (QS al-A'raf [7]: 172).
K etika orang dalam suasana tenang, dalam keadaan bersih, sebersih janin yang tersimpan di dalam tempat paling aman (qararin makin), pada saat itu suara-suara indah dan lembut (sama') yang pertama kali pernah ia dengarkan tiba-tiba muncul kembali.

Suara-suara lembut itulah yang dicari para salikin. Sama' itu terkadang disuarakan oleh gemericik air sungai, deru gelombang laut, gesekan dedaunan, dan suara-suara alam lainnya.

Suara-suara itu juga terkadang dilagukan oleh bunyi jangkrik dan kicauan burung malam. Suara indah nan lembut itu terkadang muncul di balik gesekan biola, tiupan seruling senja, petikan halus kecapi, dan tabuhan lembut rebana serta lantunan tilawah dan shalawat Nabi.

Suara-suara lembut itu dipastikan akan diperdengarkan kembali kepada para hamba pilihan-Nya, ketika Ia memanggil kekasih-Nya dengan penuh kemesraan: “Wahai kekasihku pemilik jiwa yang tenang, kembalilah ke pangkuan Tuhanmu dengan hati tenang dan tenteram, di dalam dekapan keridhaan-Ku, bergabunglah dengan para kekasih-Ku yang lain, masuklah ke dalam ketenangan syurga-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Para salikin berani melepaskan segalanya demi menggapai sama', suara-suara indah nan lembut itu. Mereka berusaha mengondisikan diri tidak sekadar seperti berada di dalam gua Hira atau gua Kahfi, tetapi jika mungkin seperti ketika berada di dalam rahim ibu.

Bila di masa janin ia berada di dalam rahim ibu mikrokosmos, sang ibu biologis, sekarang ia berada di dalam rahim ibu makrokosmos, sang ibu pertiwi.

Jika di dalam rahim mikrokosmos ia mendengarkan sapaan lembut Tuhan, hal yang sama juga dialami di dalam rahim makrokosmos.

Itulah sebabnya para salikin dan ahli khalwat sering menangis membaca Alquran. Terutama ketika membaca ayat: Ya ayyuhal ladzina amanu (Wahai orang-orang yang beriman). Sapaan itu mengingatkannya pada sapaan awal dalam zaman zali di rahim mikrokosmos.
  

Talbiyah


Labbaika Allahumma labbaik, labaika lasyarika laka labbaik, innal hamda wan ni'mata laka wal mulk la syarika laka! Lantunan talbiyah ini dilantunkan dengan suara-suara hati yang sangat mendalam.

Ibarat ungkapan rindu dendang seorang kekasih terhadap Sang Kekasih Yang Mahatunggal di samping rumahnya, Baitullah.

Suara-suara hati ini diungkapkan sambil berputar, bertawaf, memutari rumah Sang Kekasih yang tak pernah jauh dari-Nya.

Sesekali tangan membasuh air mata kerinduan yang tak tertahankan mengucur di kedua pipinya. Betapa tidak sekian lama ia merindukan untuk pulang ke kampung halaman spiritualnya, pada akhirnya telah sampai juga.

Di depan maqam Ibrahim ia tersungkur dengan pasrah. Seolah ia terlahir kembali dan berada di dalam belaian Sang Mahapengasih. Mulut tidak bisa lagi berucap, mau minta apa lagi jika Sang Pencipta surga membelainya, dan mau memohon perlindungan apa lagi di dalam genggaman erat Sang Mahapengaman (al-maula).



Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/02/13/n0wx86-jalan-hidup-salikin-mengasah-telinga-batin-5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar