Adapun haqiqatnya niat itu ialah keadaan atau sifat
yang timbul dalam hati manusia yang menggerakkan atau mendorongnya
untuk melaksanakan suatu pekrjaan. Tetapi fungsi niat itu telah
dijelaskan oleh Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. :
“ ‘An-Amiyril-mukminiyna abi hafshin
‘umarabnul-khath-thab radhiyallahu ‘anhu qaa la : Sami’tu rasulullahi
shalallahu ‘alaiyhi wa sallama : Yaquulu : Innamal a’malu binniyati wa innama
likullim-rikmaa maanawa faman-kanat hij-ratuhu ilallahi wa rasulihi
fahij-ratuhu ilallahi warasulihi. Wa man-kanat hij-ratuhu lidunyaa
yushiybuhaa-awimra-atin yanki-hhuhaa fahij-ratuhu ilaa mahaa jara ilaiyhi”.
“Dari Amiril mukminin Abi Hafshi Umar bin Khattab ra.
berkata : Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Sesungguhnya sah
atau tidak suatu amal tergantung pada niat, dan teranggap bagi tiap orang apa
yang ia niatkan. Maka siapa yang berjihat semata-mata tha’at kepada Allah dan
Rasulnya maka hijrahnya itu diterima oleh Allah dan Rasulnya. Dan siapa yang
hijrah karena mencari keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan
yang akan dikawini, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya”. (H.R.
Bukhari. Muslim).
Dengan berdasarkan hadits tersebut dapat
dipahami bahwa yang menjadi faktor utamaadalah niat yang datang
dari hati, bukan tergantung amal yang baik dan bagus. Kalau
perbuatan yang dilakukan itu baik dan bagus menurut syariaht Islam tetapi
niatnya salah atau keliru tentu saja amalnyapun sia-sia dan rusaklah amal tersebut,
begitu juga sebaliknya.
Ketahuilah bahwa niat dan ikhlash itu
adalah dua faktor yang tidak boleh dipisah-pisahkan antara yang satu
dengan yang lain, erat sekali hubungannya, tak ubahnya pohon dengan bibit.Sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an :
“Wamaa umiru illa liya’budullaha mukhlishiyna lahud-diyna
hhunafaa-a wayuqiymush-shalahta wayuktudz-dzakata wadzaa-lika
diynul-qaiyyimahti”.
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya mereka
menyembah Allah dengan memurnikan ketha’atan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalaht dan menunaikan zakat,
dan yang demikian itulah agam yang lurus”. (QS. Al-Baiyyinah. 5).
“Innallaha layanzhuru ilaa ajsaa mikum walaa ilaa shuwa
rikum walakin yanzhuru ilaa quduu-bikum”
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk badan dan
tidak pula melihat rupa-rupa kamu, akan tetapi Dia melihat didalam hati kamu”.
(H.R. Muslim).
“Annasu kulluhum halakaa illal-mukminina. Walmukminuuna
kulluhum halaka illal-‘amiluuna. Wal’aamiluna kulluhum halaka
illal-mukhlishuuna”.
“Manusia itu seluruhnya akan binasa kecuali mereka yang
beriman, mereka yang beriman itu seluruhnya binasa, kecuali yang beramal,
dan mereka yang beramal seluruhnya binasa, melainkan mereka yang ikhlash”. (Al-Hadits).
Adapun dalam pelasanaan amal akan ikhlash mempunyai
berbagai macam tingkatan, menurut tiangkatannya antara lain :
1. Golongan Ibadah yaitu : semua amal ibadahtnya hanya
diperuntukkan untuk Allah, yang tidak mempunyai sifat riya’, dan ujub (mengagumi
amal baiknya), akan tetapi amal ibadahtnya itu hanya dimaksudkan untuk
memperoleh pahala menghindar dari siksanya sebagaimana yang telah
dijanjikan Allah Ta’ala. Sebab dengan pahala yang diperolehnya itu
dia lalu mengharafkan syurga dan mohon diselamatkan dari syiksa neuraka. Yang
demikian ini telah di cerminkan didalam Al-Qur’an :
“Iyya kana’budu”.
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah”. (QS.
Al-Fatihah. 5).
2. Keikhlashan golongan Muhibbin, yaitu
: orang yang mencintai Allah Ta’ala dimana amalibadahtnya benar-benar
karena Allah Ta’ala dan tidak karena pahala, serta tidak
karenatakut akan syiksanya, akan tetapi amal ibadahtnya itu untuk
mengagungkan Allah Ta’ala.Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Rabi’ul
Adawiyah :
“Aku menyembah Allah, tidak karena takut neurakaMu, dan
tidak pula mengharafkan syurgaMu, akan tetapi menyembahMu itu semata-mata demi
untuk mengagungkanMu”.
3. Keikhlashan golongan Ma’rifat : Ini
tidak sama dengan keikhlashan ahli ibadaht dan ahli
muhibbin. Kalau keikhlashan ahli ma’rifat, Ia mengetahui
bahwa segala gerak-geriknya adalah Allah Ta’ala yang menggerakkan
atau mendorongnya. Jadi dirinya sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk
menggerakkan dirinya tersebut untuk berbuat sesuatu. Orang yang demikian itu
tidak mengandalkan amal perbuatannya. Sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur’an
:
“Wa iyyaaka nasta’iinu”.
“Dan hanya kepadaMulah kami minta pertolongan”. (QS. Al-Fatihah. 5).
Keikhlashan ahli ma’rifat ini menduduki tingkat
luhur disisi Allah Ta’ala. Jadi jelaslah bahwa setiap amal itu
haruslah disertai dengan keikhlashan. Sebab amal tanpa ikhlash manusia
tidaklah memetik buahnya kelak, sedang amal yang tidak disertai akan ikhlash adalah riya’,sedang riya’ adalah dausa,
dan dausa tempatnya adalah neuraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar