Adapun sifat
tercela yang biasa terdapat pada manusia itu jika dilihat banyak sekali
tertampak dan tidak mampu untuk dipungkiri seperti, sombong, ujub, riya, budi
yang buruk, gila jabatan (kedudukan) dan merasa derajat tinggi, meneliti cela
orang lain dan berperasangka buruk, dan masih banyak lagi.
“Tasyawwu fuqa ilaa maa bathana
fiyka minal-‘uyuwbi khaiyrun min tasyawwu fiqa ilaa maa hhujiba ‘anka
minal-ghuyuwbi”.
“Usahamu untu mengetahui apa
yang tersimpan di dalam dirimu dari berbagai macam cela itu adalah baik, dari
pada usahamu kepada apa yang terhalang dari kamu dari bebagai perkara yang
ghaib”.
Di dalam Al Qur’an manusia yang
beriman dilarang meneliti (cela) orang lain separti halnya di dalam Al Qur’an :
“Yaa ayyuhal-ladziyna
amanuj-tanibuw kasyiranm minazh-zhanni inna ba’dhadzanni itsmun walaa
tajas-sasu walaa yaghtabab-ba’dhukum ba’dhan ayuhhibbu ahhadukum an yak kula
lahhma akhihi miytan fakarih-tumuwhu wat taqullaha in nallaha
tawwabunr-rahhimun”.
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebahagian kamu mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu
merasa jijik terhadapnya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubaht lagi Maha Penyayang”. {QS. Hujuraat. 12}
Sebuah haditspun menerangkan :
“Dari Abu Hurairah r.a.
Bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda: Tahukah kalian, apakah ghibah itu ? Para
shahabat berkata Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui, beliau berkata:
Ghibah itu ialah menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara ia tidak tahu.
Seorang berkata : Bagaimana kalau pada saudaraku itu apa yang aku katakan ?
Beliau menjawab: Kalau padanya ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh
engkau telah mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti yang engkau
katakan, sungguh engkau telah berdusta”.{HR. Imam Muslim}.
Dan pada sebuah hadits yang
lain :
“ ‘An Anasin radhiallahi ‘anhu
qaala rasulullhi shalallahu alaiyhi wa sallamu. Thubaa liman syaghalahu
‘ayyubuhu ‘an-‘uyubinnasi”.
“Dari Anas r.a. berkata : Telah
bersabda Rasulullah s.a.w. berbahagialah orang yang selalu di ingatkan oleh
‘aibnya sendiri dari pada ‘aibnya orang lain”. (HR. Al Bazzar).
Maka dari itu
untuk membersihkan jiwa selalu mengoreksi cela yang ada di dalam diri. Yang
seharusnya cela-cela itu terbuang jauh-jauh dari diri manusia yang ingin
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan cela yang terdapat pada manusia
bermula dari hawa nafsu.
Dan
ketahuilah pula bahwa hawa nafsu bermula dari (4) perkara :
· Pertama : Melanggar perintah Allah Ta’ala.
· Kedua : Menjalankan amal baik yang
disertai dengan riya’.
· Ketiga : Bersantai-santai sehingga tidak memperhatikan betapa
pentingnya wakt.
· Keempat : Bermalas-malas dalam melakanakan kewajiban-kewajian
perintah Allah Ta’ala.
Untuk
menghilangkan ke empat perkara itu hendaklah jiwanya diisi dengan ketha’atan
tekun dalam menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah
Rasul s.a.w. dan mengenai perkara-perkara akan suatu kelebihan di dalam
beribadaht di antaranya mengenai taqdir, mengenai karamaht dan lainnya. Hal ini
jangan dikejar untuk ingin mengetahuinya sebelum menghilangkan aib (cela) yang
terdapat pada diri sendiri. Dan janganlah bermaksud bahwa dengan amal-amaknya
itu ia ingin mengetahui perkara ghaib. Sehingga hatinya di dalam ibadaht
disibukkan oleh perkara-perkara tersebut.
Jadilah kamu
yang selalu mencari istiqamah (kelurusan) dan janganlah menjadi orang yang
mencari karamaht (kekeramatan) maka sesungguhnya jiwamu menjadi bergolak
sedangkan kamu mencari karamaht, akan tetapi Allah Ta’ala mencarimu dengan
kebenaran (kelurusan). Dan karena memang Haq Allah Ta’ala itu lebih utama
bagimu daripada kamu mengutamakan bagian jiwamu.
Sehubungan dengan hal ini telah
diceritakan didalam Hikayat Israilyyat yang bersumber dari Wahab bin Munabbih
r.a. :
“Sesunggunya (duhulu) ada
seorang laki-laki dari bani Israil menjalani puasa selama 70 tahun. Setiap
tahun ia berbuka 7 hari. Kemudian ia memohon kepada Allah Ta’ala agar supaya
diperlihatkan padanya bagaimana kekuatan syaithan di dalam mengalahkan manusia.
Walaupun permintaannya itu sudah lama sekali diajukan, akan tetapi Allah Ta’ala
belum mengabulkannya. Ia berkata dalam hatinya : Seandainya aku tahu atas
kesalahanku dan dosa-dosaku yang terjadi antara aku dengan Tuhanku pastilah itu
lebih baik bagiku dari perkara yang aku minta ini.
Pada waktu itu juga Allah
Ta’ala mengutus malaikat untuk menemuinya. Kemudian malaikat itu berkata :
Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutusku untuk menemuimu. Dia (Allah) berkata
kepadamu :
Sesungguhnya perkataanmu yang
telah lalu itu lebih disenangi Allah Ta’ala dari pada ibadahmu selama itu.
Sesudah diberitahu oleh malaikat yang demikian itu, maka Allah Ta’ala membuka
penglihatannya sehingga ia dapat melihat bala tentara iblis seketika itu yang
telah mengepung bumi, sehingga tidak seorangpun manusia yang tak terkepung
olehnya bagaikan pengepungan lalat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar