Saat
itu malam masih tersisa. Bulan masih berenang dalam ruang semesta. Dan,
bintang-gemintang masih setia bergelantungan. Dan dalam keheningannya ini, di
salah satu bilik yang sangat sederhana, terdengar suara berbisik. “Wahai
istriku, ikhlaskah dirimu jika malam ini aku beribadah kepada Allah?”
“Wahai
suamiku, kekasih Allah. Sesungguhnya (jika menuruti kata hati) aku merasa
nyaman jika selalu berada di sampingmu. Namun, aku ikhlas dengan apa yang
engkau sukai. Engkau sangat gemar beribadah kepada Allah. Bagaimana mungkin aku
tidak mengikhlaskanmu.” sahut Aisyah lembut.
Sejurus
kemudian, pasangan suami istri agung ini berwudhu. Keduanya lalu tegak dalam
kesalihan malam bak Jabal Rahmah yang memancang kuat menembus lazuardi imani.
Takbirnya melesat bersama keagungan Sang Pencipta. Rapalan firman-firman-Nya
bergetar bersama air mata
yang memburai berharap rida Allah. Begitu juga dengan gerak rukuk dan sujudnya,
lekat dalarn harmoni gerak jagad raya. Demikian ikhlas keduanya memenuhi
panggilan suci untuk menjadikannya lebih mulia dalam menggapai maqamam mahmuda
(tempat terhormat).
Inilah
sepenggal peristiwa malam yang dikisahkan oleh Aisyah RA kepada Atha’ saat ia
dan temannya bertandang ke rumah ummul mukminin.
Cerita yang dituturkan melalui
jalur Ibnu Mardawih ini merupakan satu dari sekian kisah mengesankan
Rasulullah dalam upaya menghidupkan sisa-sisa malamnya.
Subhanallah,
malam itu Rasulullah dan Aisyah shalat dengan cukup lama. Bahkan hingga
menjelang azan Subuh. “Tak biasa Rasul datang terlambat ke masjid.
Ada apakah gerangan?” tanya Bilal kepada para jamaah. Ia pun kemudian diutus
menuju rumah Rasulullah.
Sesampai
di rumah, didapatinya sang Nabi pembawa rahmat itu sedang dalam keadaan
menangis. “Wahai Nabi Allah, mengapa engkau menangis. Bukankah Allah telah
mengampuni semua dosa
dan kesalahanmu?” tanya Bilal heran.
“Bagaimana
mungkin aku tidak menangis, wahai sahabatku. Semalam wahyu turun kepadaku,
surah Ali Imran [3]:
190-191. Merugilah orang yang membaca ayat ini tapi tidak menghayati
kandungannya,” jawab Rasul SAW kepada Bilal.
Subhanallah.
Sebuah malam keintiman seorang hamba dengan Sang Pencipta. Kalau bukan dari
golongan manusia pilihan dan bukan dari orang-orang besar,
berlalunya malam mungkin hanya perjalanan sebuah waktu. Tidak lebih dari itu.
Padahal, tak sedikit orang yang beribadah pada waktu malam mendapatkan
keberkahan.
Berbagai
peristiwa besar, juga terjadi di waktu malam. Di samping tahajud, ada nuzulul
Quran, lailatul qadar, Isra Mi’raj, dan hijrah dari Makkah ke Madinah. Semua
itu telah mengubah perjalanan peradaban manusia.
Malam
adalah makhluk Allah yang sangat spesial.
Malam bukan sebatas kumpulan waktu atau bergulirnya gerak alam. Tapi, dengan
bergeraknya malam diciptakannya waktu senyap menjadi hidup. Dan alam turut
berotasi dalam gerak zikir membesarkan asma-Nya.
Tampaknya
malam memang diprogram untuk menerima estetika hidup yang luhur. Ingat, Allah
telah bersumpah dengan makhluk-Nya yang bernama malam ini. (QS al-Lail [92].
Hal itu menggambarkan betapa eksotisnya waktu malam. Bacaan Al-Quran dan
aktivitas memahami serta merenungi kehidupan,
juga sangat berkesan jika dilakukan pada malam hari. (QS al-lsra [17]: 78).
Sumber:
Kolom Hikmah Republika, Jum’at 9 Desember 2011
http://mimbarjumat.com/archives/1399#sthash.3O72BbNr.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar