Rasulullah Saw
bersabda :
“Orang yang
berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya
“(HR. Bukhari Muslim).
Berangkat dari
sabda Rasulullah Saw seperti dalam hadist di atas, tentu sebagai mu’min akan
senantiasa berusaha menjaga dirinya dari ucapan,sikap dan prilaku yang
menyimpang dari aturan dan hukum-Nya yang selanjutnya tetap istiqomah dalam
meneliti jalan menuju ridho Allah.
Berbicara tentang hijrah dalam
konteks kekinian, layaknya kiranya kita simak dan renungkan seruhan allah
SWT yang tertuju kepada Rasuluiah Saw yang hakikatnya tertuju pula kepada
kita sebagai pengikutnya. Seruan Allah SWT lewat firman-Nya:
“Ya ayyuhal
muddatstsir , qum fa andzir warobbaka fa kabbir wa tsiyaabaka fa thahhir,
war rujza fahjur wa laa tamnun tastaktsir, wa li rabbika fash bir.” (QS. Al
Muddatstsir , 74:1-7 )
Kalau kita membaca risalah turunnya wahyu, tidak lama
setelah turunnya ayat “Nubuwah” (lima ayat pertama dalam Surat Al Alaq) yang
secara resmi menobatkan Muhammad sebagai Nabi Allah, maka tidak lama kemudian
disusul dengan turunnya “tujuh” ayat pertama Al Muddatstsir, yang secara resmi
mengangkat Muhammad sebagai Rasul Allah, pengemban risalah melalui “tujuh” ayat
risalah tersebut.
Inilah awal diri Rasulullah Saw
berfungsi sebagai Rasul Allah, membawa risalah Allah SWT untuk “mengislamkan”
manusia yang saat itu dalam kondisi “jahiliyyah”. Firman-Nya diawali, “Ya
ayyuhal muddatstsir” (Wahai orang yang berselimut). Kalau kita baca dalam
“asbabun Nuzul” ayat ini diriwayatkan, Rasulullah Saw pada waktu itu sedang
berselimut. Saat itu beliau memohon kepada istrinya, Khadijah Ra., untuk
menyelimuti tubuh Beliau setelah menerima wahyu “lima” ayat pertama dalam surat
al `Alaq di Gua Hira kemudian pulang ke rumah kondisi badannya menggigil.
Tetapi para ahli tafsir tidak ingin berhenti hanya pada
pengertian “harfiah”nya dari kata “selimut”, yang arti harfiahnya adalah orang
yang berselimut atau mempergunakan selimut untuk menghangatkan badannya
sendiri. Sehingga para ahli tafsir mengartikan “selimut” dengan arti “maknawi”,
wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan tidak mau peduli dengan kondisi
lingkungannya. Karena orang-orang yang berselimut identik dengan tanda-tanda
orang yang terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mau peduli
terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Bukankah Rasulullah Saw pergi ke Gua
Hira itu hanya ingin mendapatkan petunjuk dari Allah SWT tentang bagaimana
membimbing umat manusia yang sudah sangat sesat pada waktu itu. Kenapa setelah
beliau mendapat wahyu malah menyelimuti dirinya? Konteksnya kemudian Allah SWT
berfirman, “Qum” (bangkitlah, bangunlah), lemparkan
selimut ketidakpedulianmu itu. Persoalan ummat tidak akan selesai dengan hanya
ingin menyelamatkan diri kita masing-masing lalu kita tidak mau peduli dengan
apa yang terjadi di lingkungan kita.
Bangkit atau bangun tidak sekedar
bangkit, lalu apa yang harus dilakukan ? Tugas yang harus dilakukan adalah “fa
andzir” (memberi peringatan). Lemparkan “selimut ketidakpedulian”,
segeralah bangkit dan laksanakan tugas untuk memberikan peringatan agar mereka
yang sesat segera meninggalkan jalan sesat kehidupan mereka, dan yang lalai agar
cepat sadar atas kelalaiannya. Tidak dibenarkan sama sekali kita menyelimuti
diri dengan tidak mau peduli atas kondisi yang terjadi di sekitar kita. Tetapi
kita harus siap bangkit dan segera memberikan peringatan kepada masyarakat yang
berada dalam jangkauan kemampuan kita. Karena tugas dakwah “bukan hanya” tugas
para da`i, ulama tau para kyai saja, melainkan merupakan tugas setiap orang
muslim. Salah satu keterlambatan dakwah Islam selama ini adalah “kemungkinan
kesalahan persepsi” atas tugas dakwah ini yang seolah-olah tugas dakwah hanya
tugasnya para da`I, `ulama atau kyai saja.
Tugas setiap orang mukmin atau muslom
“tidak hanya” sekadar bisa menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi harus “saling
mengingatkan” dalam kebenaran. Maka digunakanlah bahasa “wa tawaashau”,
bukan “taushiyah”. Makna kata ”taushiyah” adalah nasihat dari
sati pihak kepada pihak lain. Namun jika “tawaashau” sifatnya adalah
“saling menasihati”. Karena perlu disadari bahwa semua manusia sangat
berpotensi untuk berbuat kesalahan atau lalai.
Pada umumnya, nasihat orangtua kepada anaknya, guru kepada
muridnya, pimpinan kepad bawahannya, `ulama kepada ummatnya. Namun orangtua,
guru, pimpinan atau `ulama itu adalah manusia yang sangat mungkin berbuat
salah. Oleh karena itu, didalam Islam, anak harus siap dengan santun
mengingatkan orangtua yang berbuat kesalahan, demikian pula murid kepad
gurunya, bawahan kepada pimpinannya atau ummat kepada `ulamanya. Kalau ada
`ulam yang keliru atau berprinsip salah dan pernyataannya “sangat menyesatkan”,
maka ummat pun “harus berani” segera mengingatkannya. Janganlah dia dibiarkan
dalam kesesatannya karena akan membawa akibat penyesatan terhadap ummat yang
lebih luas lagi.
Hal inilah yang selama ini terkesan
tidak berjalan sebagimana mestinya. Semua harus kita benahi dengan kita mau
bangit memberi peringatan. Maka dari itu, “amar ma`ruf nahyi munkar” ini
adalah kewajiban setiap orang mu`min (QS. Ali Imran, 3 :104 & 110). Ini
pula seperti apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, “Samapaikan oleh kaliah
apa yang telah kalian terima dariku walaupun hanya satu ayat”.
Lalu apa yang harus kita dakwahkan ?
Paling tidak ada “Lima” konsep dakwah yang harus ditempuh.
Konsep Pertama, kita simak
lanjutan ayatnya, “wa rabbaka fa kabbir” (Allah Tuhanmu itu Akbar-kan).
Yang harus kita dakwahkan kepada masyarakat adalah menyadarkan atau mengajak
ummat sehingga mereka hanya mau meng-Akbar-kan Allah dalam semua aspek
kehidupannya. Tidak ada yang “Akbar” kecuali Allah. “Allahu Akbr” dari segi
Dzat juga dalam sisi aturan dan hukum-Nya, dan jika kita menyatakan bahwa
“Allahuakbar”, maka semua selain Allah tidaklah ada yang akbar, baik hawa nafsu
atau pun akal kita itu kecil. Alam jagad raya ini di hadapan-Nya. Oleh karena
itu semua harus tunduk kepada Allah yang Akbar.
Konsep Kedua, “Wa tsiyaabaka
fathahhir” (Bersihkanlah pakainnyamu). Kita harus sudah mulai mengupayakan
mensucikan pakaian lahir terutama bathin kita. Membersihkan diri kita dari dosa
dan kemaksiatan. Kita mulai mau membersihkan mental atau akhlak-akhlak yang
kotor dari kehidupan masyarakat.
Konsep Ketiga, “war rujza fah
jur” (segala perbuatan dosa dan maksiat itu harus segera dijauhi). Kalau
kita perhatikan bahasa Al Quran itu selalu menggunakan kata “jauhi” atau
“jangan dekati: bila berbicara tentang larangan (QS. Al Baqarah 2:35, Al Araf
7:19, Al An`am 6:151, Al Isra 17:34). Larangan-larangan semacam ini dimaksudkan
untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan
pendidikan pula kepada manusia bahwa semua sarana dan prasarana yang bisa
menimbulkan kemaksiatan pun terkena larangannya.
Konsep Keempat,”Wa laa tamnun
tastaktsir” (dan janganlah kamu memberi dengan maksud ingin memperoleh
balasan yang banyak). Karena tugas dakwa ini adalah tugas yang mesti didasari
ikhlas semata-mata karena Allah, maka janganlah kita senantiasa berharap
imbalan yang lebih banya dari apa yang telah kita lakukan. Bukan berarti
manusia tidak boleh memetik hasil dari jerih payah perjuangannya , tetapi tetap
harus sewajarnya saja kita layak berharap. Adapun konsep selanjutnya ialah
konsep yang kelima.
Konsep Kelima, ”Wa lirabbika
fash bir” (maka bersabarlah (taat) bagi Tuhanmu). Oleh karena tugas dakwah
ini adalah tugas yang tidak ringan, maka tentunya sangat diperlukan kesabaran dan
ketahanan diri kita untuk tetap beristiqomah dalam medan perjuangan. Kita mesti
tanamkan dalam diri kita sebuah kesabaran, karena tidak mustahil kita akan
berhadapan dengan orang-orang yang sangat terusik dengan dakwah kita.
Ini semua resiko yang mesti kita hadapi bukan malah kita
lari menginggalkannya. Tidaklah pantas bila kondisi “medan dakwah” telah
mengundang kita untuk terjun langsung dalam kancah perjuangan, lantas tiba-tiba
kita lari meninggalkannya. Kita sadari, sungguhlah tidak mudah bagi kita mengajak
orang untuk senantiasa meng-Akbar-kan Allah dalam setiap aspek kehidupannya,
tidak lah ringan kita memberikan teladan tentang kebersihan lahir terutama
bathin kita sehingga tatanan kehidupan masyarakat kita bisa bersih dari munkar.
Tidak gampang pula kita memberikan arahan kepada orang
untuk senantiasa mau menjauhi atau tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi
terhadap orang yang selama ini hidupnya telah bergelimang dengan dosa dan
maksiat, sehingga dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya telah dianggap bukan
dosa lagi.
Walaupun terlihat betapa beratnya “medan dakwah” kita,
tentunya harus tetap kita jalani dengan hanya semata-mata didasari keikhlasan
untuk mencapai ridha Allah. Kesabaran dan ketahanan diri serta istiqomah memang
menjadi syarat penting dari semua ini.
Semoga kita semua dapat meng-“hijrah”-kan diri kita dari
hal-hal yang dapat mengundang murka-Nya ke arah jalan yang lurus menuju ridha
Allah SWT.
Wallahu a`lam bish-shawab.
sumber: Lembar
kajian syakhshiyyah Islamiyyah FUUI | K.H. Athian Ali M. Da’I ,MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar