Minggu, 18 April 2010

Sumur Kering

Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.

“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”

“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang bermaksud mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata sang sufi lagi

“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.

Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian ia menyahut lagi.

“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”

Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan tinggallah ahli bahasa kita, termenung-menung menyesali orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu.

Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah ada. Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah diragukan.

Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang pas buat dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil itu resminya imam masjid. Dalam urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia ternyata juga dominan secara politis.

Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya dalam, dan absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah dan tak mengurangi arti apa pun.

Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik. Diajak tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at sering mencolot diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin. Buat apa anggota macam dia?

Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa luwes berdialog dengan pihak mana pun.

Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya bertanya pada “kiai” kita mengapa ia begitu menekankan perlunya menghapal doa dan ayat-ayat.

“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya. Ngerti?”

Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun memberi contoh. “Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu ibarat tukang jahit memotong-motong kain seorang pelanggan sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.

“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana. Kan kacau jadinya?” kata Pak Haji lagi.

Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.

“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”

“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat. Surat sudah ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah ada prangko, tapi tak ada alamat. Ke mana tukang pos mau menyampaikannya, coba?”

Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas mengajarkan sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang waktu, agar dalam salat jamaah ada di shaf paling depan.

“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,” katanya. “Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing. Nah, terserah kita. Mau pilih kelas unta apa puas dengan kelas kambing,” katanya lagi.

“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang lain cuma kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.

“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”

Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang tidak termasuk main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.

“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.

“Maksudnya?”

“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan dengan pahala.”

“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”

“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi jiwa yang sujud demi pahala.”

“Apakah berarti Haji Mangil salah?”

“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan Tuhan.”

Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat tanpa alamat.

“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.

Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering” penalaran yang serba formal dan teknis.

Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati, dan pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya bersikap sama: ibadah yang tulus dari hati, akan ketangkap juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang mahabesar kasihnya, yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula, betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.

Mohammad Sobary, Editor, No.52/Thn.IV/14 September 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar