Bank
Pembangunan Asia mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tidak menganggap enteng
kondisi teraktual di pasar modal Indonesia. Prinsip kehati-hatian tetap perlu
dikedepankan untuk mengambil pilihan-pilihan kebijakan dan atau respons atas
kondisi perekonomian teraktual itu.
”Jika tidak hati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang. Ini masalahnya tidak sesederhana seperti terlihat, seperti tekanan pada nilai tukar dan defisit,” kata ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Iwan Jaya Azis, seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (22/8/2013).
”Jika tidak hati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang. Ini masalahnya tidak sesederhana seperti terlihat, seperti tekanan pada nilai tukar dan defisit,” kata ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Iwan Jaya Azis, seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Iwan
menyatakan, dunia semakin terkait satu sama lain. Dampak masing-masing tidak
dapat dihindari. ”Satu sakit kena semua,” kata Iwan, yang juga Kepala Kantor
Integrasi Ekonomi Region ADB.
Menurut
Iwan, kondisi Indonesia saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan India dan
Thailand. Namun, dia meminta pemerintah juga mewaspadai kemungkinan dampak dari
kondisi terbaru Korea Selatan, negara dengan tingkat utang rumah tangganya
lebih tinggi daripada kondisi di Yunani. Negara ini mengalami krisis ekonomi terparah
di Uni Eropa.
Iwan
menyatakan, kekuatan Asia sebagai sumber pertumbuhan global sudah turun lebih
dari 50 persen dibandingkan dengan tiga bulan lalu. Ini gara-gara
gonjang-ganjing sektor keuangan dunia dengan pelambatan terbesar terjadi di
China.
”Saya
tidak yakin tapering akan dilakukan bulan depan, tapi akan segera dilakukan.
The Fed juga bingung karena hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Makanya
tidak dapat diprediksi, mereka coba-coba juga,” kata Iwan.
Tapering
adalah rencana pengurangan pembelian obligasi atau pengurangan kebijakan
memperlonggar likuiditas atau quantitative easing (QE) oleh Bank Sentral AS/The
Federal Reserve. The Fed berniat mengurangi pembelian obligasi dari 85 miliar
dollar AS per bulan menjadi 60 miliar dollar AS hingga 65 miliar dollar AS
mulai September sampai Desember 2013.
Sampai
hari Kamis (22/8/2013), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun -47,04
poin (1,11 persen) ke 4,171.41. Tercatat transaksi sebanyak 15,7 juta lot atau
setara dengan Rp 6,8 triliun. Penjualan bersih oleh asing di pasar reguler
sebesar Rp 647 miliar. Sepanjang tahun ini, dana investor asing yang keluar
dari Bursa Efek Indonesia senilai Rp 7,8 triliun.
Sementara
kurs tengah BI menunjukkan nilai rupiah turun 72 poin atau 0,67 persen ke level
Rp 10.795 per dollar AS. Di pasar spot, rupiah berada di level Rp 10.875 per
dollar AS atau turun 100 poin (0,93 persen). Nilai rupiah kemarin sempat
menyentuh level Rp 11.145 per dollar AS. Sepanjang tahun ini nilai rupiah telah
turun sekitar 13,5 persen.
Kebijakan
The Fed mengurangi pembelian obligasi juga membuat mata uang regional anjlok.
Nilai rupee India turun dari 64,72 rupee menjadi 65,15 rupee per dollar AS.
Menurut AFP, rupee bahkan sempat menyentuh rekor terendah 65,27 rupee per
dollar AS. Baht Thailand juga melemah dari 31,77 baht menjadi 32,12 baht per
dollar AS. Sejumlah mata uang di Asia juga melemah hari Kamis kemarin.
Wakil
Presiden Boediono saat kuliah umum peserta program pendidikan Lemhannas menolak
istilah pelemahan rupiah. Bagi mantan Gubernur BI itu, kondisi di pasar valuta
ini lebih mengindikasikan terjadinya fenomena penguatan dollar AS. Maka,
istilah pelemahan rupiah perlu diganti dengan istilah penguatan dollar AS.
”Implikasi kebijakan (dari kedua istilah tersebut) berbeda. Jangan sampai kita
salah mendefiniskan masalah yang terjadi kini,” ujarnya.
Langkah
pemerintahPresiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengumumkan paket kebijakan
ekonomi di Jakarta, Jumat ini. Hal ini sebagai respons pemerintah atas
pelemahan rupiah dan jatuhnyaIHSG selama empat hari terakhri ini. Salah satu
langkah yang akan ditempuh adalah memperbaiki transaksi berjalan dan menggenjot
investasi.
Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menggelar rapat di Jakarta, kemarin.
Hadir antara lain Menteri Keuangan M Chatib Basri, Menteri Perindustrian MS
Hidayat, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri Badan Usaha Milik Negara
Dahlan Iskan, Menteri Pertanian Suswono, dan Wakil Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Susilo Siswo Utomo.
Rapat
tersebut merupakan tindak lanjut atas rapat kabinet paripurna yang dipimpin
Presiden Yudhoyono sehari sebelumnya. Rapat menyiapkan paket kebijakan. Rapat
dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama khusus internal pemerintah. Sesi kedua
pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Di
sela-sela rapat, Hatta menyatakan, paket kebijakan ekonomi akan diumumkan
langsung oleh Presiden. Paket tersebut intinya adalah kumpulan kebijakan untuk
menjaga stabilitas perekonomian dan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional jangka
pendek dan menengah.
”Dari
sisi moneter, BI bekerja. Dari sisi pemerintah, kita bekerja pada makro maupun
sektor riilnya,” kata Hatta.
Salah
satu isi paket sebagaimana dipaparkan Hatta adalah menggenjot investasi.
Caranya adalah relaksasi sejumlah insentif pajak, revisi daftar negatif
Indonesia (DNI), dan pemangkasan hambatan, terutama perizinan.
Relaksasi
insentif pajak antara lain diberlakukan pada tax allowance (pengurangan pajak)
dan tax holiday (pembebasan pajak). Untuk DNI, revisi yang dilakukan
semangatnya adalah membuat daftar tersebut semakin ramah investor tanpa
melanggar undang-undang. Sementara pemangkasan hambatan perizinan antara lain
dilakukan di sektor migas. Dari 68 perizinan dipangkas menjadi 8 perizinan.
Pemerintah
juga mencermati transaksi berjalan yang defisit selama tujuh triwulan
berturut-turut. (BEN/LAS/ATO/CAS/MAS/RAZ/ETA/PPG)
**********************************
Iwan Jaya Azis: Bisa Saja Krisis Moneter Terulang
NAMA Iwan Jaya Azis sudah tak asing di telinga para birokrat,
pengusaha, apalagi ekonom Indonesia. Ahli matematika ekonomi dan ekonomi
regional ini adalah Guru Besar Cornell University, Amerika Serikat dan Fakultas
Ekonomi Unversitas Indonesia (UI). Bulan Juli 2010, Iwan diangkat sebagai
Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) hingga
kini.
Apa
pandangannya tentang ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai
tukar rupiah, termasuk sektor keuangan di sejumlah negara Asia? Iwan Purwantono
dari InilahREVIEW dan
beberapa wartawan lain mewawancarai lelaki kelahiranSurabaya, 17 Februari 1953,
ini seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) di Jakarta, Kamis pekan lalu. Petikannya:
Nilai tukar rupiah dan IHSG
terus melemah, termasuk defisit neraca perdagangan yang semakin membengkak. Apa
komentar Anda?
Untuk menghindari dari itu (krisis), kebijakannya memang
bermacam-macam. Ya, semua sangat bergantung kepada pemerintah. Kalau ini saya
tidak tahu. Saya lebih mendalami perekonomian negara lain, seperti Korea dan
China.
Apakah krisis 1998 bisa
terulang?
Kalau pemerintah tidak berhati-hati, bisa saja krisis
moneter 1998 terulang. Saya kira, pemerintah sudah mempersiapkan
langkah-langkahnya. Kita tunggu saja.
Beberapa negara di Asia,
seperti Indonesia, Thailand, dan India mengalami defisit neraca berjalan dan
jumlahnya cukup besar. Komentar Anda?
Ketiga negara itu, masalahnya memang mirip-mirip. Nilai
tukarnya terpuruk. Namun yang paling parah adalah India dengan ruppe-nya. Nilai
tukarnya anjlok besar-besaran.
Korea, berbeda lagi. Masalah ekonominya akibat kredit
rumah tangga yang sangat besar. Volumenya jauh lebih besar dibandingkan utang
Yunani. Yang ingin saya katakan, perekonomian negara-negara di Asia seperti
Indonesia,Thailand, India, dan Korea, cukup spesifik. Mereka memiliki fase
krisis yang berbeda. Tentu saja, penanganannya juga berbeda.
Apa dampak dari pelemahan
ekonomi di Asia?
Yang jelas, pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia
mulai meredup. Dalam catatan saya, tiga bulan terakhir ini, terjadi penurunan
sampai 50%. Asia sudah bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Apa penyebabnya? Apakah karena
salah urus atau ada faktor eksternal?
Tentu,
ada kaitannya dengan perkembangan di AS dan Eropa. Kalau Eropa, kita semua
sudah tahu. Sedangkan AS, terkait kebijakan The Fed selaku bank sentral di sana.
Apalagi kalau bukan rencana penghentian pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE).
Kalau AS jadi menghentikan QE,
apakah perekonomian banyak negara bakal rontok?
Saya
kok tidak yakin. Karena, Pemerintah AS belum pernah menjalankannya. Jadi, agak
sulit memprediksinya. Bahkan boleh dibilang unpredictable. Bank sentral AS tidak bisa menetapkan
kapan dimulainya penghentian QE dan pengurangan stimulusnya berapa. Saya kira,
semuanya masih belum jelas.
Tapi, Chairman The Fed Ben
Bernanke sudah mengatakan akan mengakhiri QE sampai 2014.
The Fed yang biasanya memborong obligasi senilai US$ 85
miliar tiap bulan, kemudian mau dikurangi menjadi US$ 60 miliar. Tapi, saya kok
masih belum bisa yakin. Demikian pula kabar bahwa stimulus The Fed bakal distop
sampai 2014, belum yakin juga. Bank sentral Amerika kelihatannya masih bingung.
Ya termasuk itu, Bernanke.
Artinya, pencabutan QE
dilakukan setelah AS terbebas dari krisis. Kalau sekarang, apakah AS sudah bisa
dibilang bebas dari krisis?
Saya kira belum sepenuhnya. Karena indikatornya belum
tercapai. Misalnya, disebut bebas dari krisis kalau angka inflasinya 2% serta
jumlah penganggurannya di bawah 6%. Nah, kondisi tersebut belum terjadi.
Selengkapnya, artikel ini bisa
disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-01 tahun ke-03 yang terbit, Senin, 26
Agustus 2013. [ts]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar