Suatu ketika Aisyah Ra. bercerita, ia melihat Nabi SAW. qiyamullaildengan khusyu’. Ketika terbangun, Nabi masih shalat. Lalu ia tidur dan terbangun lagi, ternyata Nabi SAW masih shalat hingga bengkak kakinya.
Begitu selesai, Aisyah bertanya : ”Untuk apa engkau melakukan ini ya, Rasulullah ? Padahal telah diampuni dosa-dosamu yang lampau dan yang akan datang?” Nabi SAW menjawab dengan tawadhu’ : ”afalaa akuuna ’abdan syakura” (Tak sepatutnyakah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?). (HR. Muttafaq ’alaih).
Dalam al-Qur’an, ungkapan ’abdan syakura (hamba yang bersyukur), ditemukan dalam surat al-Isra ayat 3 yang ditujukan kepada Nabi Nuh as.
Nabi Sulaiman yang kaya raya dan berkuasa, juga selalu berdoa agar diberikan rasa syukur (QS.27:19). Orang yang bisa merasakan nikmatnya karunia itu hanyalah orang-orang yang bersyukur, yakni orang-orang baik. Baik hati, pikiran, ucapan dan lakunya.
Dengan rasa syukur itu pula, Allah terus menambahkan karunia baginya (QS. 14:7-8,27:40,31:12). Sepatutnya kita bersyukur (QS. 28:73,39:66,45:12), namun kebanyakan tidak pandai bersyukur (QS.2;243,40:61), dan sedikit yang bersyukur (QS.7:10,32:9,34:13,67:23). Kiranya kita menjadi yang sedikit itu.
Abu Hurairah Ra, meriwayatkan Nabi SAW bersabda : ”... dan bagi orang yang berpuasa itu akan beroleh dua kegembiraan. Di kala berbuka, ia bergembira dengan berbuka itu dan di saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan gembira karena puasanya itu.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Beranjak dari Hadis tersebut maka ibadah dan amal saleh akan menghantarkan kita untuk meraih tiga kenikmatan yakni: Pertama : Nikmat Material.
Dalam Hadis di atas, kata fariha bi fitrihi bermakna gembira di saat berbuka puasa setelah matahari terbenam. Terasa nikmatnya segelas air teh dan sesuap nasi. Minum yang paling nikmat ketika haus dan makan yang paling nikmat di saat lapar.
Selain itu, makan bersama orang lapar, baik lapar karena puasa maupun orang yang kelaparan (fakir miskin). Makan dan minumlah tapi jangan berlebihan (QS.7:31). Kelak di Hari Kiamat pun kita diberikan makan dan minuman yang enak (QS.52:19,69:24,77:43).
Nikmat material berkaitan tubuh (fisik) dan indikasinya jelas yakni enak makan, buang air/angin, tidur, hubungan suami istri. Jika hal ini terasa nikmat maka badan akan sehat. Sehat itu nikmat sekali.
Oleh karena itu, selesai menikmatinya, mestinya berdoa ”alhamdulillah...”. Tentu nikmat pula punya harta banyak, kendaraan mewah, perhiasan, sawah ladang dan seterus sebagai perhiasan dunia (QS.,3:14).
Kedua : Nikmat Sosial. Selain dimaknai dengan berbuka puasa, fariha bi fitrihi diartikan pula dengan gembira di saat Hari Raya Idul Fitri. Nikmat berkumpul dengan orang tua, sanak famili dan handai taulan (silaturrahim).
Kebersamaan
ketika sahur, berbuka, Shalat Taraweh dan tadarus al-Qur’an bersama keluarga.
Buka puasa bersama (ifthar jama’i) dengan yatim dhuafa dan asatidz disertai
dengan pemberian bingkisan.
Nikmat berbagi, bahagia memberi. Shalat Ied di pagi hari yang sejuk dan syahdu dengan lantunan takbir yang mendayu-dayu. Setelahnya, saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda pemaafan. Duduk bersama keluarga untuk introsfeksi diri dan saling memaafkan.
Mudik ke kampung dengan berbagai cara dilakukan, biaya seadanya, perjalanan yang melelahkan, tidur tak sempat, musibah mengancam, bahkan tidak sedikit yang mudik ke kampung asal.
Bersimpuh, mencium tangan dan memeluk orang tua yang mulai renta, memohon maaf dan ridhanya. Rasa lelah menempuh perjalanan panjang tak dirasakan lagi, tinggal nikmatnya.
Ketiga : Nikmat Spritual. Nabi SAW adalah hamba yang pandai bersyukur. Padahal, Allah sudah memberikan privillage (hak istimewa) yakni ma’shum (terjaga atau terampuni dari dosa).
Nikmat spritual adalah nikmat iman dan islam. Kita akan kehilangan nikmat material dan sosial, tapi jangan kehilangan nikmat spritual. Nikmat dan senang beribadah dan beramal saleh.
Kedua nikmat sebelumnya itu bersifat nisbi dan sesaat, tapi nikmat spritual itu hakiki, mutlak hingga Akhirat. Dalam shalat, kita berdoa agar ditunjuki jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah diberi nikmat (QS.1:6-7). Yakni para Nabi, as-Shiddiqin, As-Syuhada wa Ash-Shalihin (QS.4:69).
Beribadah karena rasa syukur dan cinta kepada Allah. Terasa nikmatnya beribadah itu seakan hati dilanda cinta asmara. Ingin selalu dekat dan berlama-lama dengan sang kekasih, dengan rasa syahdu dan rindu.
Mengabdi kepada Allah, bukan hanya karena takut neraka dan mengharap surga, tapi karena cinta. Mengharap kehidupan akhirat yang surgawi (QS.3:15) dan bertemu Allah kelak (fariha ’inda liqoi robbihi). Bagi yang berpuasa, Allah telah siapkan satu pintu khusus yakni ar-Rayyan (HR. Bukhari Muslim).
Kenikmatan material itu hanya jalan untuk meraih kenikmatan sosial. Orang yang terjebak dengan nikmat material itu laksana binatang piaraan. Nikmat material dan sosial itu sementara dan akan sirna. Kita akan ditinggalkan atau kita yang meninggalkannya.
Oleh karena itu, nikmat spritual harus diraih. Walau pun kita tak punya materi yang banyak dan keluarga yang mendampingi lagi, tapi kita punya Allah yang akan menyertai setiap langkah, ke mana, di mana dan kapan pun. Allah yang patut menjadi sandaran, gantungan dan tujuan hidup kita.Allahu a’lam bish-shawab.
Nikmat berbagi, bahagia memberi. Shalat Ied di pagi hari yang sejuk dan syahdu dengan lantunan takbir yang mendayu-dayu. Setelahnya, saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda pemaafan. Duduk bersama keluarga untuk introsfeksi diri dan saling memaafkan.
Mudik ke kampung dengan berbagai cara dilakukan, biaya seadanya, perjalanan yang melelahkan, tidur tak sempat, musibah mengancam, bahkan tidak sedikit yang mudik ke kampung asal.
Bersimpuh, mencium tangan dan memeluk orang tua yang mulai renta, memohon maaf dan ridhanya. Rasa lelah menempuh perjalanan panjang tak dirasakan lagi, tinggal nikmatnya.
Ketiga : Nikmat Spritual. Nabi SAW adalah hamba yang pandai bersyukur. Padahal, Allah sudah memberikan privillage (hak istimewa) yakni ma’shum (terjaga atau terampuni dari dosa).
Nikmat spritual adalah nikmat iman dan islam. Kita akan kehilangan nikmat material dan sosial, tapi jangan kehilangan nikmat spritual. Nikmat dan senang beribadah dan beramal saleh.
Kedua nikmat sebelumnya itu bersifat nisbi dan sesaat, tapi nikmat spritual itu hakiki, mutlak hingga Akhirat. Dalam shalat, kita berdoa agar ditunjuki jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah diberi nikmat (QS.1:6-7). Yakni para Nabi, as-Shiddiqin, As-Syuhada wa Ash-Shalihin (QS.4:69).
Beribadah karena rasa syukur dan cinta kepada Allah. Terasa nikmatnya beribadah itu seakan hati dilanda cinta asmara. Ingin selalu dekat dan berlama-lama dengan sang kekasih, dengan rasa syahdu dan rindu.
Mengabdi kepada Allah, bukan hanya karena takut neraka dan mengharap surga, tapi karena cinta. Mengharap kehidupan akhirat yang surgawi (QS.3:15) dan bertemu Allah kelak (fariha ’inda liqoi robbihi). Bagi yang berpuasa, Allah telah siapkan satu pintu khusus yakni ar-Rayyan (HR. Bukhari Muslim).
Kenikmatan material itu hanya jalan untuk meraih kenikmatan sosial. Orang yang terjebak dengan nikmat material itu laksana binatang piaraan. Nikmat material dan sosial itu sementara dan akan sirna. Kita akan ditinggalkan atau kita yang meninggalkannya.
Oleh karena itu, nikmat spritual harus diraih. Walau pun kita tak punya materi yang banyak dan keluarga yang mendampingi lagi, tapi kita punya Allah yang akan menyertai setiap langkah, ke mana, di mana dan kapan pun. Allah yang patut menjadi sandaran, gantungan dan tujuan hidup kita.Allahu a’lam bish-shawab.
By Ustaz
Hasan Basri Tanjung MA, Ketua Yayasan Dinamika Umat dan dosen Unida Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar