UKURAN kualitas seseorang adalah pada manfaat
yang dia tebarkan. Semakin bermanfaat hidupnya, semakin tinggi kualitas orang
itu. Sebaliknya, semakin tidak bermanfaat atau malah membawa mudharat, semakin
rendahlah kualitas orang itu. Demikian Rasulullah mengajari kita, bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat buat sekitarnya.
Kalau ditelusuri lebih jauh, kemanfaatan itu
bukan hanya membahagiakan orang lain, namun juga membahagiakan diri sendiri.
Bagi orang yang sudah memiliki ‘jam terbang’ kehidupan yang sudah cukup tinggi
pasti bisa merasakan hal ini. Yakni, mereka yang sudah makan asam garam
duniawi. Termasuk, pengusaha sukses yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya.
Kawan saya yang pengusaha sukses itu merasa
tidak bahagia dan gelisah dikarenakan kehilangan harapan. Kenapa kehilangan
harapan? Karena harapannya sudah tercapai semua lewat kesuksesannya. Dan
setelah cita-citanya tercapai semua itu, dia merasa hidupnya menjadi putus
harapan dan hampa. Tak ada lagi yang dia kerjakan. Menganggur tanpa tujuan
itulah yang menyebabkan dia hampa, meskipun semua kebutuhan dasarnya terpenuhi
oleh kekayaan dan segala pencapaiannya selama ini.
Maka, Islam mengajari kita agar tidak
menjadikan kesuksesan duniawi ini sebagai harapan final. Melainkan hanya
sebagai harapan sementara, atau harapan antara. Dimanakah atau apakah harapan
finalnya? Adalah kehidupan sesudah mati, dimana kita akan bertemu dengan sumber
segala realitas. Dialah Allah, Sang Penguasa Sejati. Sumber segala kebahagiaan
yang hakiki.
Inilah syarat pertama seseorang dalam
mengejar kebahagiaan hakiki. Dia harus memiliki harapan yang tidak berhenti
hanya di fase duniawi saja. Melainkan harus sampai ke ukhrawi atau kehidupan
sesudah mati. Itulah ayat yang saya kutipkan di tulisan sebelumnya. QS. Al
Kahfi (18): 46. ‘’Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,
tetapi amalan-amalan yang abadi lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu. Serta lebih baik untuk menjadi harapan.’’
Apa kaitannya dengan tema ‘Menjadi Orang yang
Bermanfaat’ kali ini? Tentu saja sangat erat. Seseorang yang mematok
kebahagiaannya secara individualistik pasti tidak akan bertemu dengan
kebahagiaan. Melainkan akan bertemu dengan kekecewaan dan putus harapan. Persis
seperti yang dialami kawan saya tersebut. Di usianya yang sudah kepala tujuh,
dan dengan kesuksesan duniawi yang berlimpah ternyata dia masih merasa belum
menemukan yang dia cari. Semua kesuksesan yang diperolehnya itu tak bermakna
apa-apa dalam usahanya mencari kebahagiaan.
Kesalahan mendasarnya adalah dia mematok
kebahagiaan dalam bentuk yang sangat individual. Dengan cara itu, dia telah
membatasi kebahagiaanya hanya pada diri sendiri. Padahal, begitu banyaknya
sumber kebahagiaan yang terhampar di sekitar kita, yang hanya bisa kita peroleh
ketika kita menempatkan nilai kebahagiaan itu secara sosial.
Contoh kecil yang sangat sederhana adalah
sebagai berikut. Jika Anda menempatkan kenikmatan makan hanya secara
individual, maka kebahagiaan Anda hanya akan berhenti pada 2-3 piring saja.
Karena, tentu saja, perut kita sudah tidak kuat lagi menampungnya. Dan, ketika
hal itu telah tercapai maka selesailah kebahagiaan Anda. Bingung mencari
kebahagiaan. Selain perut sudah kenyang, selera makan sudah menurun.
Bandingkan dengan jika kita mematok
kebahagiaan makan ini secara sosial. Yakni, dengan memberi makan orang-orang
yang sedang dilanda kelaparan. Semakin banyak kita memberi makan kepada mereka,
semakin besar pula kebahagiaan yang kita peroleh. Tentu saja, jika kita sudah
bisa menempatkan rasa kepedulian sebagai substansi kebahagiaan. Kualitasnya
tidak akan berhenti pada 10-20 piring, namun bisa mencapai ratusan, ribuan,
ataupun lebih banyak lagi. Tak ada batasnya. Semakin besar jiwa sosial kita,
semakin bermanfaatlah kita, dan semakin besar pula rasa kebahagiaan yang kita
peroleh. Kebahagiaan yang lebih besar adalah seiring dengan kemanfaatan kita
bagi sekitar.
Itulah sebabnya, Rasulullah mengatakan bahwa
orang yang paling baik diantara kita adalah orang yang paling banyak
manfaatnya. Bukan hanya dalam artian materialistik ataupun harta benda,
melainkan juga keilmuan. Semakin banyak kita memberikan pencerahan bagi kehidupan
manusia, semakin besar pula manfaatnya, dan semakin bahagia karenanya.
Orang yang demikian, tidak akan pernah merasa
kesepian atau hampa dalam hidupnya. Setiap saat dia ingin berbuat kebajikan,
menebarkan amalan saleh untuk sekitarnya. Untuk anak-anaknya, untuk istri atau
suaminya, untuk saudara-saudaranya, para sahabatnya, masyarakat, bangsa dan
negaranya, serta seluruh umat manusia yang berinteraksi dengannya. Itulah
konsep Islam yang kita kenal sebagai Rahmatan lil alamin. Seorang muslim
sejati tidak akan pernah kehilangan kebahagiaan di dalam hidupnya. Sekaligus,
selalu dalam posisi menebar kebajikan yang tercatat dalam keabadian, di dunia
maupun di akhirat kelak.
QS. Fushshilat (41): 8. ‘’Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala
(kebahagiaan) yang tiada putus-putusnya.’’
Lebih jauh, jika seseorang ingin meningkatkan
kebahagiaannya, dia harus menambahi kemanfaatan itu secara spiritual, yakni
ikhlas hanya karena Allah semata. Itulah sebabnya, kualitas kebahagiaan adalah
seiring dengan orientasi hidupnya. Orientasi individual, yang paling rendah.
Sosial, tengah-tengah. Dan spiritual, adalah yang tertinggi.
Sebesar-besar manfaat seseorang secara
sosial, masih kalah dengan orang-orang yang telah melandasi kebajikan sosialnya
itu dengan niatan ikhlas karena Allah semata. Dia tidak punya potensi
kehilangan sama sekali. Karena kesuksesan dan kebahagiaannya telah disandarkan
kepada Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Berkehendak. Apa pun yang menjadi
hasil usahanya dia terima sebagai anugerah dan kasih sayang-Nya.
Maka, dia akan menjadi orang yang nothing
to lose dalam berbuat kebajikan dan menebar manfaat untuk siapa saja yang
berinteraksi dengannya, sambil sekaligus merasakan hadirnya Allah Sang Maha
Pemurah dalam kehidupannya. Keikhlasannya bukan hanya untuk manusia, tetapi
sebagai wujud penghambaannya kepada Sang Penguasa Jagat Semesta. Jiwa orang
yang sudah sampai di tingkatan itu adalah rasa lapang, jauh dari kegelisan,
kekhawatiran dan kehampaan.
QS. Yunus (10): 62-64. ‘’Ingatlah,
sesungguhnya para wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa (berbuat kebajikan dan menjauhi kemunkaran). Bagi mereka berita
gembira di kehidupan dunia dan (juga di kehidupan) akhirat. Tidak ada yang
berubah pada kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan
yang besar.’’
Wallahu a’lam bissawab.
(NB: Serial
Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan
diunggah di FB untuk memberi manfaat lebih luas.)
https://www.facebook.com/notes/agus-mustofa/tafakur-ramadan-11/10151522193931837
Tidak ada komentar:
Posting Komentar