Setiap
menyambut Idul Fitri, masyarakat selalu menggunjingkan prestasi ekonomi
pemerintah. Prestasi itu tecermin mulai dari lonjakan harga barang di tengah
kenaikan permintaan segala kebutuhan pokok dan transportasi publik hingga
kesiapan infrastruktur, seperti perbaikan jalan, yang kedodoran. Masalah sama
terus berulang setiap tahun.
Rakyat ingin menikmati makan enak setahun sekali, berbagi, beribadah, berlibur, dan bersilaturahim. Padahal, masyarakat berubah: penduduk lebih banyak, lebih padat, lebih gesit dan timpang, semakin urban, serta semakin terhubung dengan teknologi. Semakin kompleks.
Karena
terjadi setiap tahun, tampak betul tendensinya: lebih baik, tetap, atau lebih
buruk. Tendensi itu sendiri refleksi dari hadir atau tidaknya kepemimpinan yang
bekerja dengan manajemen dan sistem atau hanya berakrobat di depan kamera
dengan sidak dan sensasi.
Berita
baik dan buruk
Kita mulai dulu dengan berita baik. Kerja menonjol ada di tangan para profesional di bawah Kementerian BUMN. Perjalanan mudik dengan kereta api jauh lebih tertib, humanis, dan lebih beradab. Pelayanan di bandara dan armada udara juga lebih baik. Pelayanan lalu lintas di lapangan oleh kepolisian, de facto terjadi perubahan. Layanan pembuatan paspor pun sudah bisa jadi dalam satu hari.
Bagaimana
yang lain? Harus diakui, masyarakat miskin makin susah menikmati daging dan
kebutuhan pokok. Kehidupan petani kian terpuruk, koefisien gini meningkat dari
0,38 (2007) menjadi 0,41 (2011). Bila jumlah kendaraan (mobil, motor, bus, dan
truk) pada 1987 baru 7,98 juta unit, sekarang 100 juta unit. Bus dan truk yang
pada 1987 hanya 1,2 juta unit kini 10 juta unit. Sementara perbaikan fisik
jalan antarkota belum tampak berubah.
Begitu
kerja bareng, kualitas layanan pemerintah sangat buruk. Sebut saja layanan
keimigrasian di KBRI Jeddah yang melibatkan Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Tenaga Kerja, serta Kementerian Hukum dan HAM. Juga penyediaan stok
pangan dan daging: melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan (Bea
dan Cukai), serta Kementerian Perdagangan. Perbaikan fasilitas infrastruktur
juga butuh koordinasi internal yang kuat.
Ada
kesan kat, tidak ada perencanaan strategis yang memadai. Setiap pejabat seperti
tengah bermain gaplek, menunduk ke bawah, asyik dengan kartu masing- masing.
Tidak ada yang tengok kiri-kanan membaca sinyal untuk menyamakan tindakan atau
membaca perubahan tuntutan masyarakat.
Ruang-ruang
perubahan dalam perencanaan strategis kalah menghadapi naluri teritorial (Seth,
2007), terhadap tradisi pengukuran kinerja yang keliru (pada penyerapan
anggaran), dan tradisi-tradisi lainnya: mulai dari perjalanan dinas, penanganan
proyek, hingga menguasai perizinan. Akibatnya, banyak peran strategis yang
tumpang tindih: kerja sama tidak terjadi, izin impor dan pameran internasional
ada di banyak tangan kementerian yang berbeda, serta campur tangan parlemen
sangat dominan.
Harus
diakui pula, tata nilai dan budaya korporat birokrasi belum dibangun untuk
menghadapi keadaan yang berubah seperti sekarang. Birokrasi kita adalah sebuah
mesin lama warisan yang diwariskan untuk menghadapi stabilitas yang dijaga
militer yang kuat. Sementara itu, konteks yang dihadapi dewasa ini adalah
dinamika yang cepat berubah dengan partisipasi dan kontrol publik yang kuat.
Wujud
dari semua itu adalah akrobat- akrobat individual, atau pelaksanaan parsial
yang tidak efisien dan tak berdampak kuat dalam layanan. Di tingkat atas,
wujudnya beragam: mendiamkan segala sinyal, hanya hadir dalam rapat kabinet dan
untuk menutupi kegalauan, lalu sejumlah orang berakrobat di depan kamera.
Di
tingkat bawah terjadi kebingungan. Kesibukan melayani atasan, panggilan
berulang-ulang ke Jakarta dari pejabat yang berbeda dengan tujuan yang mirip-
mirip, hubungan pusat dan daerah tidak didasarkan pada kesadaran membangun
impak bagi masyarakat, serba seremoni, dan sibuk urus diri masing-masing.
Selain
soal pasokan pangan yang kacau belakangan ini, saya ingin mengajak pembaca
mengamati hal sepele yang berdampak anggaran besar. Simak saja bagaimana
kementerian mengatur bus-bus PNS yang sudah ada sejak dulu. Dulu bus antar dan
jemput PNS sangat dibutuhkan sehingga selalu terisi penuh. Waktu berjalan,
semakin banyak PNS yang memiliki kendaraan sendiri. Bagaimana sekarang? Saya
tak yakin pemimpin kementerian tahu bahwa bus itu kini banyak yang kosong.
Namun, bus tetap pulang-pergi dengan jumlah sama. Ini hanyalah cerminan
manajemen otopilot: rutin, tak berubah, kendati konteksnya sudah berbeda.
Mitos manajemen
Pada
tahun 1996, pakar manajemen Henry Mintzberg mengingatkan pentingnya manajemen
strategis dalam menata pemerintahan di tengah masyarakat yang dinamis.
Mintzberg pun menemukan mitos-mitos yang dianut para konsultan dan birokrat
senior.
Pertama,
seperti dalam bisnis, birokrat percaya aktivitas-aktivitas dapat diisolasi dari
yang lain dan diberi otoritas seperti dalam perusahaan. Setiap unit diberi misi
yang jelas untuk menggerakkan layanan, lalu pemimpin diberi kontrak kinerja
yang ditandatangani. Kenyataannya, masing- masing kementerian saling terkait.
Untuk menangani TKI di Jeddah, misalnya, ada keterlibatan minimal tiga
kementerian. Demikian pula penanganan jalan negara dan pasokan pangan. Maka,
selama tidak ada perencanaan strategis, dan tidak ada integrator yang kuat,
masalah serupa akan berulang di kemudian hari.
Pertanyaannya, siapakah
integratornya dan apakah ada perencanaan strategisnya?
Apakah mungkin kita
mengurangi jumlah kementerian dan eselon-eselon satu ke dalam struktur yang
lebih ramping agar lebih lincah bergerak dan lebih berdaya hasil?
Kedua,
asumsi kinerja aparat dan kementerian dapat diukur secara obyektif.
Kenyataannya tak demikian. Pemerintah berurusan dengan masalah-masalah
strategis yang muncul sesaat seperti munculnya kejahatan yang tak terduga,
bencana alam, kejutan ekonomi, dan peristiwa politik.
Ketiga,
setiap kementerian/lembaga dapat diberi kepercayaan yang otonom dengan aturan
dan prosedur baku serta pengadaan terpusat untuk menghasilkan kinerjanya
masing-masing. Kenyataannya, mereka bekerja dalam sistem yang saling terkait
dan penuh intervensi, baik dari luar maupun dari dalam.
Semua
ini tentu membuat pengelolaan sebuah pemerintahan besar menjadi lebih kompleks
yang berakibat ambigu di atas, lumpuh di bawah. Bila semua yang disebutkan di
atas tidak disesuaikan, tidak segera di-reform, negara akan kalah dengan
kepentingan-kepentingan internal, tidak efektif, berbiaya ekonomi tinggi,
dengan tingkat kepuasan yang rendah, dan tanpa kewibawaan. Maka, mimpi dunia
untuk menyaksikan kejayaan Indonesia pada tahun 2030 hanya akan jadi sejarah
yang tak pernah jadi kenyataan, dan semua pemimpin hanya diingat dari kasusnya,
bukan prestasi hebatnya, seperti kisah raja-raja Nusantara di masa lalu.
By
Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI dan Founder Rumah Perubahan
Kompas
cetak, 3 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar