Adalah
konsekwensi logis dari mata uang yang terus
mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Untuk
Rupiah, 3 angka nol yang pernah dibuang dengan susah payah tahun
1965/1966 melalui apa yang dikenal dengan Sanering Rupiah,
3 angka nol (000) tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita
bahkan kembalinya cenderung tidak cukup 3 angka nol, melainkan
malah menjadi 4 atau bahkan 5 angka nol. Mau
bukti? Lihat di dompet Anda ? kemungkinan besar hanya uang dengan 4 atau
5 angka nol yang ada di dompet ? karena yang nolnya hanya 3 kemungkinan
sudah untuk bayar parkir, masuk kencleng infaq atau
diberikan ke Pak Ogah…
Akibat
dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang
dibutuhkan otoritas yang berani mengambil keputusan untuk me-reset
kembali agar angka-angka nol tersebut kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini
bisa melalui Sanering bila ekonomi lagi gonjang-ganjing, atau
melalui proses Redenominasi bila ekonomi lagi stabil.
Yang pertama (Sanering) disertai penurunan daya
beli masyarakat melalui pemotongan nilai, yang kedua (Redenominasi)
hanya pencatatan beberapa angka nol-nya yang dihilangkan sedangkan daya beli
masyarakat seharusnya tidak berubah.
Proses
keduanya membuat panik, menyakitkan, membingungkan dan segala macam
konsekwensinya ? tetapi saya sendiri berpandangan justru harus dilakukan dengan
berani dan cepat. Bila berlama-lama, justru akan membuat kebingungan dan
ketidak pastian yang lama. Bila kita menutup mata, justru angka-angka nol yang
bisa terus bertambah tersebut akan berlama-lama merepotkan dan menghantui kita
semua.
Redenominasi
Rupiah?
Bila
dilakukan dengan berani dan cepat; rasa sakit tersebut akan berlangsung cepat ?
namun setelah itu kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan
tersebut. Bayangkan bila tahun 1965 (diimplementasikan sampai 1966) pemerintah
negeri ini tidak berani mengambil keputusan Sanering ? Indonesia mungkin
tidak akan pernah bisa membangun ? dan bisa Anda
bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang?
Demikian
pula bila otoritas sekarang tidak berani mengambil keputusan untuk meng-implementasikan
proses Redenominasi ini; berapa angka nol uang
kita pada saat Anak Anda yang baru lahir sekarang masuk perguruan tinggi 18
tahun yang akan datang?
Jadi Redenominasi
tetap harus dilakukan, tinggal masalahnya kapan dan siapa yang berani
mengambil keputusan tidak popular tetapi perlu ini. Saya mengenal
cukup baik (Pjs) Gubernur BI yang sekarang dan sungguh saya berharap beliau
berani melakukannya, karena bila tidak maka yang terjadi adalah membiarkan
hantu Redenominasi ini berlarut-larut ke pejabat berikutnya, kemudian
pejabat berikutnya lagi, dst.
Bila
Redenominasi tidak dilakukan, ironi yang terjadi seperti yang kita alami
sekarang akan terus berlanjut. Ironi karena rata-rata penduduk
Indonesia secara harfiah dapat disebut ?Jutawan? (Millionaire)
karena PDB Per Kapita kita mencapai lebih dari Rp 24,000,000/tahun,
tetapi rata-rata ?Jutawan? tersebut adalah orang miskin menurut
standar Islam ? karena nilai Rp 24,000,000,- ini hanya
setara sekitar 16.50 Dinar atau tidak
mencapai Nishab Zakat yang 20 Dinar.
Bila
keputusan Redenominasi benar-benar dilaksanakan, yang perlu
dipersiapkan oleh masyarakat adalah proses Reorientasi Nilai. Mengapa proses ini perlu? Berikut saya berikan
ilustrasinya.
Saya
pernah mendengar keluhan pelayan hotel di daerah wisata negeri ini yang
dikunjungi banyak turis asing. Ketika mereka mengantarkan pesanan room
service, sering diberi tips hanya Rp 1,000,- atau bahkan koin Rp
500,-. Hal yang sama yang terjadi pada sopir taksi, para wisatawan
asing tersebut tidak jarang yang menagih kembalian meskipun kembalian tersebut
hanya Rp 1,000,- atau bahkan Rp 500,-.
Mengapa kesan pelitnya beberapa turis asing tersebut terjadi?
Inilah masalah Reorientasi
Nilai itu. Meskipun sebelum datang ke Indonesia mereka sudah pelajari
angka-angka di uang kita ini dan konversinya ke nilai uang mereka; Orientasi Nilai
dibenak mereka masih tetap menyatakan bahwa angka 1,000 atau 500 adalah angka
yang besar. Karena ketika membayar tips dan menagih
kembalian, otak mereka tidak selalu sempat mengkonversi nilai ke angka nilai
yang benar ? maka itulah yang terjadi, nilai tips hanya Rp 1,000 dan uang
kembalian taksi secara recehan ? pun diminta.
Ini
pula yang akan terjadi pada proses Redenominasi, orientasi di otak kita
telah terbiasa dengan angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah
menjadi kecil, kita harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka
yang menjadi kecil ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara
massal bagi seluruh pengguna Rupiah ? maka diperlukan sosialisasi yang efektif.
Apa dampaknya bila Reorientasi Nilai tidak berjalan efektif?
Harga-harga bisa kacau. Misalnya si embok tukang
bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-. Dalam mata uang Rupiah baru
angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi di benak si embok menyatakan
bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah harga bayem dinaikkan
menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun meresponse angka Rp
3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya ? dan terasa kecil
oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah
inflasi 20% terhadap harga bayem.
Jadi
baik produsen, pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response otomatisnya
yang akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar ? inilah Reorientasi
yang saya maksud.
Disinilah sebenarnya keunggulan dan kebenaran Islam itu
dapat terbukti dengan jelas. Kita tidak perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan
kapanpun ? karena tuntunannya, arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang
zaman. Seperti shalat yang kita tidak
perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita berada dan
dimana Ka?bah berada ? maka seluruh
umat sepakat ke situlah kita menghadap.
Demikian
pula dalam hal nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan yang
tidak pernah berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin
dengan Nishab Zakat yang 20 Dinar. Yang kaya
wajib membayar zakat, yang miskin berhak menerima zakat ? betapa kacaunya hak dan kewajiban ini
seandainya nilai Nishab tersebut
perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu kewaktu.
Maka
saya-pun berandai-andai, Seandainya saja otoritas yang ada sekarang berani
menggunakan satuan Dinar setidaknya
sebagai unit of account atau timbangan yang adil ? maka
generasi-generasi yang akan datang dan gubernur-gubernur bank sentral yang akan
datang sampai hari kiamat akan bersyukur ? betapa mudahnya tugas mereka karena
tidak harus lagi dari waktu ke waktu mengambil keputusan yang amat sangat sulit
seperti Redenominasi Rupiah ini.
Sekali Dinar digunakan, nilai/daya
belinya stabil ? 1 Dinar = 1 kambing tetap sampai akhir zaman,
maka tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan Sanering. Bila ini terjadi
maka Reorientasi juga tidak akan perlu dilakukan lagi. WaAllahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar