يَآاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ
وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيوةُ الدُّنْياَ وقفة وَلاَ يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ
الْغَرُوْرُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka
sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah syaithan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS.
Al Faathir (35) : 5)
Bayang-bayang diri
muncul bersebelahan
Diri tak
merasa sedang dipermainkan
Di bawah
cahaya rembulan yang menawan
Setiap melangkah
bayangan ke depan
Senantiasa menggoda memberi harapan
Hatipun berkata,
sedih menyaksikan
Nakalnya dikau,wahai
bayang-bayangan
Permainkan
diri harap diberikan
Harap tinggal
harap, tanpa kenyataan
Kapan kau
bayangan jera mempermainkan
Kasihani diri,
lelah pada pengembaraan
Mancari titik puncak suatu kepuasan
Terlena umat bersama impian bayangan
Bayangan hidup
dalam liputan kepalsuan
Bukan salah Islam, ummat
berantakan
Salah pengikut Islam,
terjauh Al-Qur’an
Terpikat kaum
kafir, Al-Qur’an dipalingkan
Jangan menyesal bila
datang kehancuran
Wahai Allah,wahai Rabbi pemberi kekuatan
Terpenjara diri dalam
lingkaran kedzaliman
Kedzaliman terselubung
dalam satu barisan
Tak berdaya
kami, hadapi suatu kenyataan
Jangankan kehidupan ummat untuk diselaraskan
Nafsu sendiri, sulit
kami kendalikan
Wahai Allah, wahai Rabbi
pendidik diri
Pasrah menyerah diri,bersama binaan Ilaahi
Maafkanlah kami, kesalahan selalu dijumpai
Tanpa uluran
kasihmu, tergelincir diri
Syukur tiada tara rachmat selalu Kau beri
Belumlah wujud nyata dalam sikap sehari-hari
Bila sejenak direnungkan tentang kehidupan
manusia dewasa ini, yang katanya kehidupan zaman modern. Terasa terdengar
jeritan tangis kegelisahan, kesedihan dan keraguan karena himpitan disana-sini,
baik dari manusia yang hanya sekedar mencari sesuap nasi sampai manusia sombong
dan serakah karena bergelimang kemewahan duniawi. Memang berat rasanya
menerobos kegelapan hidup dewasa ini. Dalam kegelapan hidup bertebaran
duri-duri. Bukan saja duri di luar diri, justru duri amat tajam adalah duri
dalam diri sendiri yang tumbuh tertancap dalam di serat-serat daging, sakit
rasanya saat duri dikeluarkan, melebihi disakiti panah masuk dalam diri.
Duri-duri tumbuh pada setiap diri, menjadikan kehidupan umat ditimpa wabah penyakit,
khususunya penyakit hati yang lama menjangkit, tak ada teori ilmu yang dapat
mengantisipasi. Padahal “katanya” abad kini adalah abad kehidupan diera serba
mutakhir penuh kemajuan duniawi. Tidak disadari jika penyakit hati berjangkit
diseluruh permukaan bumi. Penyakit hati, bukan hanya sekedar penyebab timbul
silang sengketa antar sesama manusia, tak ada kasih sayang di tengah-tengah
kehidupan masa kini.
Akibat
fatal kronisnya penyakit hati, umat manusia berada dalam kemabukan impian
bayang-bayang. Bayang – bayang terus dikejar tanpa kenal lelah, tanpa kenal
waktu. Memang seakan tampak indah suatu bayang – bayang. Apalagi bayang –
bayang kemilau duniawi. Bayang – bayang mampir di setiap impian. Jika disadari
jauh ke depan, sirnalah kemulaan manusia yang telah ditakdirkan Allah selaku
kholifah di muka bumi dengan derajat lebih mulia dari seluruh makhluk.
Sebenarnya “tugas manusia selaku hamba Allah adalah
mengembalikan fungsi diri selaku sebaik-baik umat di tengah kehidupan seluruh
makhluk” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Untuk
dapat mengembalikan fungsi diri manusia selaku kholifah sudah seharusnya segala
impian bayang-bayang yang menerkam harus telah sirna dalam setiap langkah
kehidupan. Hal ini memang tidaklah mudah. Oleh sebab itu dengan penuh mengharap
pertolongan Allah, bertahap selangkah demi selangkah berusaha menyibakkan
gelaran hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Berpijak
dari kehidupan inilah para hamba Allah sejati mengembalikan fungsi diri.
Sedangkan hakekat kehidupan itu sendiri adalah pengabdian
sejati seorang hamba kepada Sang Pencipta. Dari pengabdian
sejati inilah muncul pandangan yang sesungguhnya, yakni pandangan
yang tertuju pada inti hakekat kehidupan.
يَا
دُنْيَا اُخْدُ مَنْ خَدَمَنِى وَاسْتَخْدِ مِى مَنْ خَدَمَكِ
Wahai dunia! Berkhidmatlah
kepada orang yang telah berkhidmat kepada-Ku (Allah), dan perbudaklah orang
yang mengabdi kepadamu. (HQR. Al Qudha’I dari Ibnu Mas’ud r.a.)
Sedangkan kenyataan kondisi umat manusia di
jagat raya, khususnya umat Islam yang menyebar hampir di seluruh permukaan
bumi, tertidur berselimutkan bayang-bayang. Bayang-bayang itu adalah duniawi.
Jelas bila seseorang berada dalam kegelapan, dia sulit untuk memandang suatu
yang nyata. Dia akan lebih mudah memandang bayang-bayang. Oleh karena itu,
seseorang berada dalam kegelapan hati, matanya hanya dapat melihat
bayang-bayang. Bayang-bayang itulah yang dirasakan sebagai suatu kenyataan.
Padahal bila disadari bayang-bayang tak pernah memberikan suatu arti. Contoh
isi dunia dekejar, apakah isi dunia ini abadi selalu dalam pegangan dir? Tidak!
Ada masanya isi dunia lenyap dan pergi atau sebaliknya diri pergi meninggalkan
isi dunia. Inilah bukti bahwasanya bayang-bayang takpernah memberikan kepuasan
hakiki.
“Bayang-bayang” sering diidentikkan dengan
“suatu impian” atau “harapan” apa yang hendak diraih, kata rationalis, sering
pula bayang-bayang menjadi pemicu agar diri bertindak cepat. Dan bayang-bayang
itu pula yang sering menjadikan manusia terperosok dalam lembaran fikir,
seketika pula nafsu mendorong mewujudkan, hingga apabila bayang-bayang belum
terpegang atau terjangkau sering menjadikan hati gundah gulana. Tampaknya
bayang-bayang begitu besar keberadaannya dalam diri manusia. Namun sebenarnya
bayang-bayang menjadi kendala dan hambatan bagi manusia, untuk meraih suatu yang
nyata dan pasti, karena bayang-bayang dapat mempermainkan manusia yang
mengejarnya (tanpa kenal lelah), dengan sedikitpun bayang-bayang ini tidak
menaruh belas iba. Semakin dia (bayang-bayang) dekejar semakin laju pula
bayang-bayang meninggalkan dirinya.
Pernahkah kita mencoba untuk merenungkan guna
menggali dan menyibak dengan teliti hal ihwal akan diri sendiri? Seorang
dikatakan Arif, jika dia tidak akan menggali dan mencari sesuatu titik nyata
atau titik kebenaran di luar diri (gejala alam misalnya), melainkan lebih
dahulu menggali diri. Sebab sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam bahasa
orang Arif, “barang siapa ” mengerti diri berarti ia telah memiliki kekayaan
melimpah ruah. Tetapi kebalikan pada manusia di abad logika sebagai andalan
utama, tak pernah ia menyempatkan untuk menggali/menyibak potensi dalam diri
sendiri, melainkan sibuk menggali potensi yang berada di luar diri. Padahal
bila potensi diri telah diketahui dengan pasti, inilah langkah strategi
menyusun kembali kehidupan manusia yang telah porak pranda.
Dengan diketahuinya potensi diri, sudah pasti
pula diketahui titik nyata atau titik kebenaran. Dengan diketahui titik nyata
atau titik kebenaran. Dengan demikian setiap langkah perbuatan selalu berpujak
pada titik kebenaran. Tidak sebaliknya berkata tanpa suatu kejelasan pasti
(titik kebenaran) akan menyebabkan manusia selalu dalam keraguan. Dan inilah
sumber malapetaka bagi manusia. Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad
Rasulullah dalam sebuah hadits, yang artinya:
“Barangsiapa
yang menjadikan dunia ini (pusat) cita-citanya, niscaya Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kepapaan (keraguan) menghantui
dirinya serta tidak akan datang kepadanya keduniaan melainkan sekedar apa yang
telah ditetapkan. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat itu niatnya, niscaya
Allah manghimpunkan segala urusan serta menciptakan kepuasan dalam hatinya
sementara dunia datang tunduk kepadanya”.(HR.Thabrani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar