Ada sebuah buku yang sangat menarik
tentang gagasan perdamaian dan aksi tanpa kekerasan dalam Islam berjudul Nonviolence
and Peace Building in Islam yang ditulis mantan profesor saya Mohammed
Abu-Nimer. Dari segi materi, tema yang dikupas tentu bukan hal baru
dalam wacana dan kajian keislaman. Masalah peacebuilding dan gerakan
tanpa kekerasan juga disinggung dalam literatur-literatur keislaman klasik
termasuk Al-Qur’an dan Hadits. Yang membuat buku ini menarik barangkali adalah
karena Abu-Nimer yang juga profesor di International Peace and Conflict Resolution
Program, American University, Washington, DC., dengan lihai meracik dan meramu
ide-ide dan praktek peacebuilding (“pembangunan perdamaian”) dan nonviolent
movements (“gerakan nirkekerasan”) dalam sejarah dan tradisi Islam dan Arab
klasik yang berserakan di berbagai literatur itu dalam sebuah kajian yang utuh,
komprehensif, “metodis” dan metodologis, dan karena itu mengandung bobot
intelektual yang sangat tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara
akademik-ilmiah—sebuah kerja intelektual yang sangat berat dan melelahkan.
Jujur saja tidak banyak intelektual
muslim di Indonesia, yang berani melakukan terobosan metodologi, membangun
“teori baru” (meskipun susah mencari “genuinitas” dalam sebuah wacana), dan
menjadi “peramu ilmu/wacana keislaman” dari bahan-bahan dan sumber-sumber yang
ada. Kebanyakan kaum intelektual kita adalah para “pemamah teori” dan
“tengkulak ilmu” atau lebih menyakitkan lagi “pedagang eceran” dari sarjana
asing maupun ulama klasik. Kaum intelektual kita bangga kalau sudah bisa mengutip
pendapat mereka (apalagi kutipannya itu persis huruf, titik, dan komanya) tanpa
mempertimbangkan adaptabilitas, akurasi, dan relevansinya dengan konteks
sosio-kultur lokal Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari umat Islam yang
menganggap sebagai “ibadah” (dan berpahala) apabila mengutip dan membela “aqwal”
ulama klasik.
Faktor mendasar mengapa intelektual
muslim kita menjadi “pemangsa” wacana orang lain adalah disamping karena miskin
teori dan wacana juga karena mereka tidak mempunyai nyali untuk menanggung
resiko kontroversi dan tuduhan-tuduhan sesat (kafir, murtad) dari kelompok
fanatikus Islam. Mereka lebih nyaman memilih aman ketimbang terlibat
kontroversi dan “konflik”. Masalah “keamanan” ini memang sangat mendasar dalam
pandangan dunia (weltanschauung) kaum Sunni, sementara “konflik”
dianggap sebagai sesuatu yang harus dijauhi karena—menurut mereka—bisa
mendatangkan kemudlaratan. Padahal, “konflik” adalah mekanisme alamiah,
natural, dan positif untuk melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih segar, fresh
dan brilliant. Banyak sekali ide-ide besar dan karya-karya cemerlang
dalam sejarah keislaman baik klasik maupun kontemporer karena lahir dari sebuah
“konflik intelektual.”
Kembali ke buku Abu-Nimer. Hal lain
yang menambah bobot buku ini adalah karena karya ini merupakan eksplorasi
intelektual penulis setelah melakukan interaksi dengan berbagai kalangan dan
kelompok dari berbagai latar belakang agama dan budaya: peacebuilders, human
rights activists, conflict resolution practitioners, dan peacemakers
dalam sebuah workshop atau training tentang resolusi konflik, peace building
dan peacekeeping di berbagai tempat: dari AS, Cairo, Amman, Sarajevo,
Gaza dll di Timur Tengah hingga Mindanao di Philippine. Singkatnya, buku ini
merupakan kombinasi dari “penjelajahan intelektual” dan “kerja sosial” penulis.
Ibaratnya penulis adalah seorang arsitek dan pekerja sekaligus, seorang
intelektual kampus sekaligus praktisi dan aktivis NGO—sebuah kombinasi yang
sangat berat dan langka. Sedikit sekali umat Islam yang menjadi
intelektual-akademisi di satu sisi tetapi juga aktivis gerakan dan praktisi
lapangan di pihak lain.
Dalam buku ini, Abu Nimer yang juga
direktur eksekutif Salam: Institute for Peace and Justice berbasis di
Washington, DC ini mengeksplorasi sekaligus “menguji” tema anti-kekerasan (nonviolence)
dan peace-building dalam tradisi, ajaran dan kebudayaan Islam yang
hampir luput dari kajian keislaman kontemporer. Setelah melakukan penjelajahan intelektual
dan riset mendalam mengenai topik ini, Abu Nimer sampai pada sebuah kesimpulan
bahwa teks-teks Al-Qur’an, Hadits, tradisi Islam dan Arab klasik mengandung
prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai fundamental kaitannya dengan praktek nonviolence
dan peacebuilding dalam menyelesaikan konflik. Abu Nimer misalnya
mengutip Q.S. al-Hujuraat/49: 9-10 sebagai basis teologis gagasan peacebuilding
dan peacekeeping sekaligus mekanisme resolusi konflik dalam Islam.
Dalam ayat 9 surat ini misalnya disebutkan, “Wa in thaifataani min
al-mukminin ‘qtataluu fa-ashlihu bainahuma…” (“Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mukmin berperang dan konflik maka damaikanlah keduanya…”).
Kemudian pada ayat 10 disebutkan, “Innama al-mukminuna ikhwatun fa-ashlikhu
baina akhawaikum…” (“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”). Kata “mukmin” ini
dalam tradisi Islam mengacu pada pengertian “orang beriman” secara umum tidak
umat Islam.
Oleh banyak sarjana, kedua ayat di atas
memang dianggap memiliki makna ganda dan “ambigu”. Satu sisi, kedua ayat
tersebut menunjukkan “watak” kekerasan dalam dunia Islam. Artinya, penggunaan
atau jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sudah menjadi bagian integral
dalam sejarah umat Islam sehingga gagasan/hipotesis tentang “pasifism” (yakni
bahwa Islam adalah agama yang mendukung perdamaian dan antikekerasan) hanyalah
“ilusi” kaum pacifist muslim belaka. Akan tetapi, menariknya, jika kita amati
dengan seksama, kedua ayat itu juga menawarkan jalan resolusi konflik secara
damai dengan melibatkan “orang/kelompok ketiga” sebagai mediator. Dalam ilmu
politik mediasi, peranan mediator ini sangat penting dan vital (lihat misalnya
studi Ron Kraybill dalam Peace Skills: Manual for Community Mediators).
Mediator atau “mediation institutions,” meminjam istilah profesor saya,
Peter L. Berger, juga merupakan bagian integral dalam proses peacebuilding
dan negosiasi yang berfungsi mengfasilitasi komunikasi kedua belah pihak yang
bertikai, mengurangi ketegangan dan mendampingi serta mengawal proses rebuilding
relationships and trust among conflicting parties. Tanpa bermaksud
apologi, dalam konteks/proses negosiasi/mediasi dengan menghadirkan “the
third party” untuk melakukan resolusi konflik secara damai dan adil ini,
Islam jauh lebih maju ketimbang dunia Barat yang baru belakangan memunculkan
wacana tersebut dalam kamus conflict resolution, conflict management,
atau yang lebih fresh conflict transformation seperti dipelopori John
Paul Lederach.
Dalam buku ini, Abu Nimer juga
mengungkapkan tentang konsep Sulha yang dalam kamus politik modern
dipahami sebagai “mediasi, arbitrasi dan rekonsiliasi”. Sulha adalah sebuah “extract
lessons” dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang dipakai masyarakat
traditional tradisional Arab dalam menyelesaikan konflik secara damai dan adil
(fairness) baik di tingkat keluarga, interpersonal maupun
komunitas. Sulha ini sejenis “local wisdom” masyarakat Arab klasik dalam
kaitannya dengan wacana peacebuilding dan resolusi konflik (lebih lanjut
lihat studi Elias Jabbour, Sulha: Palestinian Traditional Peacemaking
Process). Saya menduga, prinsip “peaceful Islam” dalam Qur’an
seperti termaktub dalam kedua ayat di atas diadopsi dari konsep/prinsip Sulha
ini. Memang banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang diambil/diserap dari tradisi
Arab-Quraisy, Judaisme dan Kristen seperti ditulis banyak sarjana seperti
Daniel Bell, Gordon Newby, Karim Abdul Karim, Marshal Hodgson, dll.
Dalam konteks dunia Islam yang sedang
bergolak penuh kekerasan sekarang ini seperti tampak di Iraq, Iran, Lebanon,
Syria, Palestine, Mesir, Afghanistan, Pakistan, Sudan, sampai Indonesia, buku
Abu-Nimer ini terasa paradoks: satu sisi Islam berisi pesan-pesan universal dan
seruan moral yang moral luhur berupa spirit cinta-damai, anti kekerasan dan
menjunjung rasa keadilan dan keadaban, akan tetapi di pihak lain kita
menyaksikan sebagian kaum Muslim, seperti tampak pada aksi-aksi Front Pembela
Islam dan Komando Laskar Islam dewasa ini, yang bertindak brutal, intoleran, anti
perdamaian, hobi melakukan tindakan vandalisme, kekerasan dan teror (perang,
pengeboman, sweeping, hijacks, hostages, dll). Alih-alih ingin melakukan
resolusi konflik secara damai dan adil dalam menghadapi perpecahan dan khilafiyah
(disagreement), mereka justru mencaci maki dan melaknat saudara sesama
muslim sebagai kafir, murtad, musyrik, antek Kristen dan Yahudi, dsb dll seraya
mengklaim diri mereka sendiri sebagai yang “paling Islami.”
Yang muncul dalam praktek kehidupan
mereka bukan semangat cinta-kasih yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan
problem keumatan dan kebangsaan tapi semangat kebencian, bukan spirit
persaudaraan tapi spirit permusuhan, bukan etos untuk mengejar kemajuan (advances)
tapi sejenis “mentalitas primordial” untuk mem-protect warisan keislaman
klasik, bukan spirit “Islam progresif” melainkan “Islam regresif.” Jika umat
Islam tidak kunjung sadar dan terus merawat spirit permusuhan dan kebencian
terhadap sesama umat beragama serta terus memupuk semangat anti-kemajuan ini,
maka dunia Islam akan selamanya berada di pinggiran sejarah sementara orang
lain, masyarakat lain, peradaban lain, bangsa lain dan negara lain sudah lepas
landas….***
Oleh
Sumanto Al Qurthuby
http://sumantoqurtuby.blogspot.com/2008/06/islam-dan-peacebuilding.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar