Konflik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses
interaksi sosial dimana terdapat dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau
lebih yang memiliki perbedaan dalam pendapat maupun tujuan mereka dan
menimbulkan pertentangan. Perbedaan yang dimaksud disini bisa berupa ciri-ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat-istiadat, keyakinan dan lain sebagainya
yang kemudian dibawa dalam suatu interaksi sosial.
Konflik merupakan sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan
bermasyarakat dan tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik baik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat yang lain.
Konflik ini akan hilang jika masyarakat juga hilang.
Konflik menurut Myers (1993:234) dapat dipahami berdasarkan
dua sudut pandang yaitu tradisional dan kontemporer:
- Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar yang pada akhirnya justru akan menimbulkan konfik yang lebi besar.
- Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Islam
juga memiliki pandangan yang sama terhadap konflik.
Meskipun Islam yang notabene lebih mengutamakan perdamaian, sesuai dengan makna kata Islam sendiri yakni “salam”. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan makna dan pandangan terhadap konsepsi koflik.
Meskipun Islam yang notabene lebih mengutamakan perdamaian, sesuai dengan makna kata Islam sendiri yakni “salam”. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan makna dan pandangan terhadap konsepsi koflik.
Dalam agama
Islam pemaknaan konflik bisa dalam bentuk yang lebih ramah dan damai. Dalam
Islam konflik tidak harus difahami sebagai gejala yang destruktif, dan
kontra-produktif, namun bisa menjadi gejala yang konstruktif bahkan produktif.
Konflik merupakan bagian dari tabiat manusia yang telah dibawa oleh manusia
dari sejak dia dilahirkan.
Keberadaan konflik sebagai unsur pembawaan sangat
penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik
tanpa ada konflik. Manusia yang memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka
ragam dan manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi keinginan tersebut.
Namun
untuk bisa mendapatkannya, mereka akan berkompetisi untuk mendapatkan keinginan
tersebut. Dari sini maka dengan adanya konflik akan mengajarkan manusia untuk
dapat berfikir lebih maju untuk mendapatkan keinginannya tersebut sehingga akan
bermanfaat bagi kehidupannya.
Oleh karena itu, Allah membekali nilai-nilai
moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri. Selagi
konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh Allah
dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun akalnya, dan
sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya.
Seperti yang dijelaskan dalam
firman Allah yang artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.”.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik
terjadinya konflik. Dalam Islam, konflik bukanlah sebagai tujuan namun lebih
sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan
untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan individual dan dari
kejelekan-kejelekan, sehingga tidak membiarkan perbedaan-perbedaan itu menjadi
penyebab adanya permusuhan. Karena sesungguhnya manusia berasal dari asal yang
sama.
Seperti dijelaskan pada (QS. An Nisaa' ayat 1) yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya
manusia berasal dari asal yang sama. Dari ayat di atas, Islam mengajarkan
pentingnya untuk toleransi menghargai adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki
manusia baik siri fisik, pemikiran budaya dan lain-lain agar jangan sampai
memicu konflik dan mengakibatkan perseteruan dan permusuhan. Konflik memang
sangat diperlukan dalam kehidupan manusia.
Namun, jangan sampai terlarut dalam
konflik yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan yang tidak ada solusinya
yang justru akan merusak hubungan antar manusia dan akan merugikan manusia itu
sendiri.
Suran An-Nisaa’ diatas merupakan penetapan nilai persaudaraan
yang dimaksudkan sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia yang disebut
Al Qur’an diatas.
Nilai ini harus menjadi landasan masalah multikulturisme,
multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum, karena
Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah
alami (ketentuan Tuhan).
Justru itu, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan
ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia terbaik adalah ketaqwaan
dan kesalehan sosial yang dilakukannya.
Ini yang dimaksud firman Tuhan dalam
al-Hujurat ayat 13 sbb:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina
hubungan sesama manusia tanpa melihat perbedaan seperti ditegaskan Rasulullah
SAW dalam hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik:
" الناس مستوون كاسنان المشط ليس لاحد على أحد فضل الا بتقوى الله"
“(Asal usul) Manusia adalah sama, tidak obahnya seperti
gigi. Kelebihan seseorang hanya terletak pada ketaqwaannya kepada Allah SWT”.
Di dalam agama Islam juga dijelaskan tentang tata cara mengelola
suatu konflik agar konflik tidak bersifat destruktif melainkan menjadi hal yang
dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agama Islam mengajarkan bagaimana
mengelola atau menyelesaikan perbedaan atau pertentangan dengan cara-cara
damai.
Meskipun agama Islam merupakan agama yang notabene menganut ajaran
kebenaran mutlak, namun agama Islam tidak pernah mentolerir penggunaan
kekerasan dalam ajarannya. Sebenarnya konsep resolusi konflik dalam Islam
cenderung memiliki kesamaan dengan manajemen konflik secara umum. Dalam Islam
resolusi konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya debat dan
musyawarah.
Debat pada dasarnya adalah salah satu cara berkompetisi dengan
pihak atau kelompok lain. Dalam Al-Qur’an, debat sering merujuk pada upaya
kompetisi yang dilakukan kaum muslim dengan kaum non muslim. Debat sering
digunakan oleh Nabi Allah untuk menanggapi segala tuduhan terhadap agama Islam
sekaligus meyakinkan pihak lain tentang kebenaran agama Islam. Di dalam
Al-Qur’an juga di jelaskan bahwa berdebat harus dilakukan dengan adil dan fair
yang tercantum pada surat An-Nahl ayat 125 sebagai berikut:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Selain debat, resolusi konflik dalam Islam juga dilakukan
dengan musyawarah. Dalam Al-Qur’an musyawarah sering merujuk pada penyelesaian
konflik dan hubungan sesama kaum muslim, berbeda dengan debat yang cenderung
ditujukan untuk kaum non-muslim. Tujuan musyawarah ini adalah untuk menemukan
jalan keluar dari perbedaan yang tidak menyangkut gejala “idiologis” dan
dikhotomik sehingga memungkinkan terbentuknya kompromi dan negosiasi. Sedangkan
perdebatan lebih menunjukkan sebagai upaya untuk meyakinkan fihak lain, dan
tidak mungkin terjadi kompromi, dan yang mungkin hanya sebatas memahami saja,
bukan untuk saling membenarkan satu sama lain. Perihal musyawarah ini telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sebagai
berikut:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Islam
banyak menggunakan cara-cara damai sebagai cara untuk mengelola konflik. Islam
menganjurkan kepada pemeluknya untuk memiliki sikap toleransi terhadap
perbedaan perbedaan yang dimiliki tiap-tiap manusia. Karena perbedaan itu
merupakan kodrat Allah SWT yang tidak bisa ditolak. Perbedaan itu diciptakan
untuk saling melengkapi, dan dengan perbedaan itu manusia akan terus berkembang
dan menciptakan perubahan-perubahan yang nantinya akan bermanfaat bagi manusia
pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar