Bernama lahir Koestono
Koeswoyo. Lahir di Tuban, Jawa Timur, 19 Januari 1936. Anak keempat dari
sembilan anak pasangan Koeswoyo dengan Atmini. Koeswoyo di kenal sebagai
pemusik yang mahir memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu Hawaiian.
Walaupun demikian, ia tak ingin anak-anaknya mengikuti hobinya itu. Tony yang
berusia empat tahun bisa berjam-jam menabuh ember dan baskom dengan pemukul
lidi-lidi yang ujungnya ditancapkan bunga jambu yang masih kuncup.
Tahun 1952, keluarga
Koeswoyo pindah ke Jakarta dan bermukim di Jalan Mendawai III/14, Kebayoran
Baru. Beranjak remaja, naluri musiknya semakin menggebu-gebu dan ia minta
dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Koeswoyo kemudian memenuhi
permintaan itu untuk mengalihkan kegiatan anak-anaknya agar jangan
ikut-ikutan berkelahi dan menjadi krosboi. Selanjutnya ia pun mulai
mempelajari alat musik tersebut secara otodidak.
Duduk di bangku SMA
naluri bermusiknya semakin menggelora, ia membentuk band di sekolahnya, yang
diberi nama Gita Remaja. Bersama komikus Jan Mintaraga, membentuk band
Teenage’s Voice dan Teruna Ria. Ia menjelma menjadi bintang pesta karena
begitu mahir membawakan lagu-lagu Barat yang sedang populer waktu itu. Namun,
Tony tetap berusaha memenuhi harapan orangtuanya untuk meneruskan sekolah
hingga sampai ke bangku kuliah Sastra Inggris, IKIP (UNJ). Di tempat kuliah,
ia rajin mengikuti berbagai kegiatan kesenian mahasiswa seperti GMNI dan HMI.
Ia juga suka hadir di pesta-pesta dan ikut memainkan lagu-lagu yang sedang
digandrungi anak-anak muda waktu itu. Untuk menambah pengetahuannya tentang
lagu-lagu Indonesia dan Barat yang popular kala itu, ia rajin mendengarkan
siaran acara musik dari RRI (Radio Republik Indonesia), ABC (Australia
Broadcasting Corporation) maupun BBC (British Broadcasting Corporation).
Secara diam-diam ia
juga mengajar kakaknya, Jon dan adik-adiknya (Nomo, Yon, dan Yok) bermain
musik. Mereka berlatih dengan peralatan yang dibeli dari gaji Jon dan uang
tabungan ibunya. Dengan adanya gitar, bas, drum dan amplifier mulai
menumbuhkan semangat dan melahirkan keyakinan bahwa mereka juga bisa
mendirikan band. Namun ayahnya Koeswoyo tidak menyetujui pilihannya tersebut.
Dalam situasi yang demikian, Tony justru memberikan semangat kepada saudara-saudaranya
bahwa kalau sudah sekali bermusik, jangan tanggung- tanggung, apalagi
berhenti, sehingga dari rumahnya di Jalan Mendawai itu pun hampir setiap hari
terdengar suara musik. Mereka menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang
populer, terutama karya Kalin Twin dan Everly Brothers.
Tonny bersaudara
kemudian membentuk band yang bernama Kus Bros. Sekitar tahun 1958 mereka
malang-melintang dalam berbagai acara ulang tahun atau pesta pernikahan
hingga sunatan. Bahkan demi mempunyai banyak waktu untuk mencipta lagu, Tony
rela keluar dari tempatnya bekerja di Perkebunan Negara. Tahun 1962, Kus Bros
mencoba untuk masuk dapur rekaman. Lewat perusahan PT Irama, milik Suyoso
(Mas Yos). Mas Yos bersama Jack Lesmana, menantang Tony untuk menyiapkan lagu
dalam dua minggu. Tony menerima tantangan itu dan kembali dua minggu
kemudian. Melihat hasil lagu yang dibawakannya, mas Yos dan Jack kemudian
mengontrak Kus Brothers s pada tahun 1962. Kala itu Formasi di Kus Bros yakni
Tony (gitar melodi), Jon (bas), Nomo (drum), Jan Mintaraga (gitar) mengiringi
duet vokal Yon dan Yok. Namun baru tiga lagu Jan Mintaraga mengundurkan diri,
ia lebih memilih melanjutkan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia di
Yogyakarta. Posisi Jan pada gitar kemudian digantikan Jon dan bas kemudian
dimainkan Yok.
Dengan formasi
anggotanya yang hanya empat orang tersebut, Mas Yos kemudian menyarankan Kus
Brothers untuk mengganti nama menjadi Kus Bersaudara. Dengan nama baru inilah
album pertama Tony dan adik-adiknya diluncurkan (1963), bersamaan dengan
tahun dilangsungkannya Ganefo (Games Of The New Emerging Forces).
Piringan Hitam (PH) yang berkode IML 150 tersebut berisikan 12 lagu
ciptaan Tony yakni Dara Manisku, Jangan Bersedih,
Hapuskan, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi
Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga
Sunyi, Angin Laut, Senja dan Selamat
Tinggal. Selain itu tercipta pula beberapa PH single lainnya yang
berisi beberapa lagu ciptaannya seperti PH single berkode IME-121 berisikan
empat lagu: Dara Berpita, Untuk Ibu, Di
Pantai Bali dan sebuah lagu karya Pak Dal, Bintang Kecil.
Lalu PH single berkode IMC-1868 yang berisikan dua lagu, Kuduslah
Cintaku dan Harapanku. Kus Bersaudara kemudian kembali
berganti nama menjadi Koes Bersaudara.
Dua tahun setelah
menerbitkan PH pertama, Koes Bersaudara menjadi grup musik papan atas. Namun,
Tony dan adik-adiknya masih manggung secara berkala di gedung bioskop Megaria
sebagai selingan pemutaran film atau di International Airport Restaurant
Kemayoran dua kali seminggu. Yang hadir hampir selalu minta mereka membawakan
lagu-lagu The Beatles. Padahal, pemerintah waktu itu memberlakukan Panpres
Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik ‘ngak- ngik-ngok’ yang berasal dari
Inggris dan Amerika Serikat. Akan tetapi, Tony dan adik-adiknya sulit
mengelak permintaan penggemarnya tersebut. Akibatnya ketika Koes Bersaudara
pentas bersama Dara Puspita dan Quarta Nada, pada 25 Juni 1965 di sebuah
pesta, mereka di demo massa. Setelah kejadian tersebut Koes Bersaudara pada
29 Juni 1965 ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Kurang lebih 100
hari keempat bersaudara itu mendekam di Penjara Glodok.
Pengalaman selama 100
hari dipenjara tersebut kemudian dituangkannya ke dalam dua album Koes
Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The
Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra.
Kedua album itu berisi 20 lagu ciptaan Tony dan satu ciptaan Yon, antara lain
lagu Untuk Ayah Ibu, Lonceng Yang Kecil, Rasa
Hatiku (Yon), Jadikan Aku DombaMu, Aku Berjanji,
Balada Kamar 15, Bidadari, Bilakah Kamu
Tetap Di Sini, Mengapa Hari Telah Gelap, Untukmu,
Bunga Rindu, Lagu Sendiri, Coorman,
Hari Ini, Three Little Words, To The So
Called The Guilties, Apa Saja, Di Dalam Bui Poor
Clown dan Bintang Mars. Tony mengakui terus terang,
musik dalam album-album ini banyak dipengaruhi The Beatles.
Perubahan politik dari
Orde Lama ke Orde Baru membuka kesempatan lebih luas bagi Koes Bersaudara
untuk berkembang sehingga mereka mendapat panggilan pentas di mana-mana. Tony
dan adik-adiknya tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan dan
kesewenang-wenangan politik pada waktu itu. Agustus 1966, Koes Bersaudara
melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Hasilnya, keluarga Koeswoyo
bisa pindah rumah yang lebih luas, Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, masih di
Kebayoran. Tetapi, setelah itu kehidupan anggota grup ini tetap dalam
kesulitan. Nomo, misalnya, meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum dan
memilih berusaha di luar bidang musik untuk menghidupi keluarganya.
Posisinya kemudian
diisi Murry, mantan drummer Patas Band. Dari situ kemudian lahirlah Koes Plus
di tahun 1969. Dalam era inilah Tony, Yon, dan Yok mendirikan Kompleks Koes
Plus di Jalan Haji Nawi, Kebayoran Baru, setelah mereka menjadi grup papan
atas setelah lagu Derita serta Manis Dan Sayang
menawan hati para penonton yang hadir dalam acara Jambore Band di Istora
Senayan akhir tahun 1969. Sementara itu, Nomo yang ternyata tetap tak bisa
lepas dari musik, mencoba mengumpulkan anggota Koes Bersaudara kembali. Tony,
Nomo, Yon, dan Yok memang berkumpul untuk menyelesaikan sejumlah lagu dalam
album rekaman Kembali. Tetapi, usaha itu ternyata tidak mampu mengembalikan
kejayaan Koes Bersaudara. Tony pun terus melangkah bersama Yon, Yok, dan
Murry mengibarkan bendera Koes Plus.
Hingga era Koes Plus,
lirik lagu, penyusunan nada dan aransemen Tony diakui banyak kalangan. Dengan
berbekal bacaan filsafat yang
bersumber dari Al Qur'an, Injil, Gitanjali, Bhagawad Gita, Vivekananda, dan lain sebagainya,
menyebabkan lirik lagu yang dia ciptaan memiliki bobot. Mereka bahkan menjadi ‘pelumas’ roda
industri musik Indonesia sampai saat ini. Jarang ada pencipta lagu yang bukan
hanya menciptakan lagu pop berbahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Jawa,
keroncong, kasidahan, Natal, anak-anak, pop Melayu dan bosanova. Ayahnya
Koeswoyo yang tadinya menentang, ikut menciptakan lagu dan mendorong Tony
mempopulerkan keroncong bagi anak-anak muda generasinya.
Tony Koeswoyo wafat di
Jakarta, 27 Maret 1987, setelah dirawat selama dua bulan karena kanker usus.
Meninggalkan dua istri, Astrid Tobing dan Karen, serta lima orang anak.
Sebelum meninggal Tony bersama Koes Bersaudara sempat merilis album Dia
Permata Hatiku dan tampil bersama Chicha dan Sari Koeswoyo di acara
Selekta Pop Artis Safari TVRI.
(Dari Berbagai Sumber)
|
Selasa, 27 Januari 2015
Wawancara Tonny Koeswoyo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Suatu perjuangan yg baik,dan layak diapresiasi,bahkan hingga kini masih diteruskan hingga 3 generasi dan diterima ditengah masyarakat sebagai media hiburan.
BalasHapus