SURAH AL-FAJR
"WAKTU FAJAR"
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha
Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْفَجْرِ
1. Walfajr
1. Demi waktu fajar,
Fajar artinya 'dinihari,
subuh', dan menunjukkan suatu permulaan. Secara tiba-tiba realitas menyinari
kita bagaikan pembukaan hari, dan awal bersinarnya cahaya atau pengetahuan
adalah bagaikan awal bangunnya fisik.
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
2. walayaalin 'asyr
2. Dan demi sepuluh
malam,
Menurut tradisi, sepuluh
malam ini dianggap sebagai sepuluh hari pertama Dzuihijjah (bulan suci
ziarah haji). Hari kesembilan adalah saat para peziarah berdiam di Arafah dari
mulai tengah hari hingga matahari terbit, diam menunggu, menantikan pengetahuan
yang sudah ada di dalam maupun di luar diri mereka. Penyebutan malam bukannya
siang adalah mirip dengan penyebutan empat puluh malam yang ditetapkan oleh
Allah untuk nabi Musa (Q.S.2:51). Mungkin hal ini berkenaan dengan keuntungan
besar dari salat, tafakur dan berdoa kepada Allah selama malam-malam ini ketika
semua aktivitas lahir sangat menurun, ketika konsentrasi kita sedang
tajam-tajamnya dan, dengan demikian, ada kemungkinan yang lebih besar untuk
mencapai mobilitas dan pembukaan batin. Juga, setiap malam ada siangnya, dan
perjalanan manusia yang dimulai dari kegelapan dan kebodohan diharapkan akan
berakhir dengan persepsi yang jelas tentang pengetahuan.
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ
3. wasysyaf'i walwatr
3. Dan demi genap dan
ganjil,
Syaf’a (angka genap) adalah dari syafa’a
yang berarti 'menggandakan, menggenapkan yang ganjil, membubuhkan, menengahi'.
Terjemahan umum dari syafa’ah (dari syafa’a) adalah
'perantaraan', tapi yang dimaksud sesungguhnya adalah kehadiran orang lain yang
memiliki kekuatan dan pengetahuan lebih tinggi, dan dengan demikian mampu
memberikan bantuan, bimbingan atau keberhasilan. Implikasinya adalah ada
keterlibatan dua orang. Jika syafa’a diterapkan pada seekor unta betina
atau biri-biri betina, berarti dengan melahirkan maka unta tersebut jumlahnya
menjadi dua. Segala hal yang dapat diamati—semua pengalaman penciptaan—bergantung
pada dualitas, meskipun dalam realitasnya ada keesaan di balik itu. Hanya ada
satu realitas, namun semua aspek realitas tersebut muncul dua-dua: siang dan
malam, pengetahuan dan kebodohan, syariat dan hakikat, taat dan membangkang,
roh dan nafsu, dan sebagainya.
Salat malam dimulai
dengan beberapa pasang siklus dan diakhiri dengan salat khusus yang terdiri
dari satu rakaat, yakni salat witir (salat ganjil). Dengan demikian, dualitas
pun akhirnya menjadi satu dalam salat witir.
وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
4. wallayli idzaa yasr
4. Dan demi malam
tatkala berlalu.
Sara berarti 'berangkat, menyuruh pergi,
bepergian, pergi, berlalu'. Sayr berani 'perjalanan, gerakan, prosesi'.
Kemudian muncullah kata sirah, yang berarti 'keadaan, kondisi, atau
tingkah laku', khususnya menunjuk kepada perilaku Nabi Muhammad. Semua
penciptaan bergerak secara konstan karena segala sesuatu bergerak dan berubah.
Demikian pula malam dan siang, keduanya dalam keadaan bergerak. Dan dengan
berlalunya kegelapan malam di akhir perjalanan hidup ini, maka kebodohan pun
akan berlalu dan akhimya kita sadar akan Realitas.
هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِّذِي حِجْرٍ
5. Hal fii dzaalika qasamun lidzii hijr
5. Tidak adakah dalam
semua ini sumpah bagi orang yang memiliki pemahaman?
Hijr, dalam konteks ini, berarti sama dengan
'aql, yakni pemahaman dan nalar. Ayat ini menegur kita dengan
mengatakan, "Apakah semua fenomena ini tidak cukup menjadi tanda bagi
orang-orang yang berpikir?"
Setelah memberitahu kita
bahwa di ujung kebodohan akan ada pengetahuan, bahwa di akhir kerugian ada
keuntungan, bahwa di ujung malam akan ada siang, bahwa di akhir tidur ada
kesadaran, dan bahwa sifat penciptaan selalu berada dalam gerakan konstan dari
satu ujung ke ujung lainnya yang berlawanan, suatu gerakan ke arah kesadaran
dan, dengan demikian, menuju kepastian—setelah semua hal tersebut disampaikan
kepada kita melalui kata-kata kiasan, kemudian Allah memberi kita bukti-bukti
historis.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
6. Alam tara kayfa fa'ala rabbuka
bi'aad
6. Tidakkah kau
perhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan (kaum) 'Ad,
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ
7. irama dzaati l'imaad
7. [Bangsa] Iram yang
mempunyai pilar-pilar [tinggi],
الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ
8. allatii lam yukhlaq mitsluhaa fii
lbilaad
8. Yang semacamnya tak
pernah diciptakan di negeri [lain].
Kaum 'Ad adalah suku yang
sangat kuat. Kota-kota, tempat tinggal dan kekuatan mereka dibangun di atas
pilar-pilar yang kelihatannya sangat kuat. Meskipun sikap inereka unik,
berpengaruh dan arogan namun semua bekas peninggalan mereka telah lenyap.
Lihatlah kebudayaan-kebudayaan yang 'kokoh' ini yang tidak tahan terhadap ujian
waktu. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hendaknya kita tidak tertipu oleh
kekuatan struktur lahiriah.
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
9. watsamuudalladziina jaabuu shshakhra
bilwaad
9. Dan kaum Tsamud,
yang memahat batu di lembah,
Suku Tsamud terkenal
dengan gedung-gedungnya yang terbuat dari marmer dan batu, yang diperkirakan
sangat tahan lama dan tak dapat dihancurkan. Sebagian memang masih ada dan
dipahat di atas batu pegunungan yang berkualitas tinggi, dan kelihatannya masih
sangat aman. Namun penduduknya lenyap secara misterius, tidak meninggalkan
jejak selain tempat tinggal mereka.
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
10.wafir'awna dzii l-awtaad
10. Dan Fir 'aun, raja
pancang-pancang.
Ada beberapa tafsiran
yang berbeda untuk kata awtad, jamak dari watad, artinya 'pancang
atau pasak tenda'. Di beberapa kebudayaan kuno, kekayaan seseorang diukur
dengan jumlah pasak yang dimiliki dalam tendanya; semakin besar tenda (semakin
banyak jumlah pasaknya— peny.), semakin besar pengaruh pemiliknya. Tapi pasak
juga digunakan untuk menyiksa orang. Konon Fir'aun menyiksa istrinya sampai
mati dengan cara mengikatnya pada pasak yang menancap di tanah.
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ
11.alladziina thaghaw fii lbilaad
11. Yang melampaui
batas-batas di kota-kota,
فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
12.fa-aktsaruu fiihaa lfasaad
12. Dan mereka membuat
banyak kerusakan di sana,
Di antara ciri-ciri yang
lazim pada kaum perusak adalah pelanggaran (perbuatan melampaui batas), korupsi
dan dekadensi moral. Mereka menyelewengkan jalan spiritual dan menyesatkan
orang lain dari tujuan eksistensinya.
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
13.fashabba 'alayhim
rabbuka sawtha 'adzaab
13. Maka Tuhanmu
menuangkan sebagian azab pada mereka.
Azab tidak terjadi dengan
cara yang sembarangan. Ia merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri yang
mendaiangkan malapetaka. Kesulitannya ada pada si mutrafun sendiri,
sebagaimana dengan jelas dinyatakan di tempat lain dalam Alquran (Q.S.56:45).
Mutrafin
adalah mereka yang hidup dalam keglamoran, dikelilingi oleh kemewahan dan
berbagai obyek materi yang tidak perlu. Mereka seakan-akan terlindung dari
kehidupan, dan akibatnya tidak hidup dalam kesadaran. Mereka dalam keadaan
terpisah, tidak menghubungkan kehidupan dengan kematian, atau pangkal dengan
ujungnya. Hidup dengan berlindungkan bantalan palsu ini tentu saja merusak
masyarakat. Bilamana terjadi dekadensi, alam akan secara otomatis mengadakan
pembaharuan dan regenerasi. Oleh karena itu masyarakat terperosok ke dalam
kebusukan disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri. Segala sesuatu
mengandung bibit kerusakan di dalam dirinya; jika kita memupuki bibit itu, maka
kebusukan akan menyebar dan mengambil-alih.
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
14.inna rabbaka
labilmirshaad
14. Sesungguhnya, Tuhanmu
mengawasi.
Mirshad berasal dari rasbada, berarti
'mengawasi sesuatu, diam menunggu, mengamati'. Ayat ini memberitahu kita bahwa
Tuhan kita Yang pekerjaannya menumbuhkan apa yang berada di bawah kekuasaan-Nya
hingga mencapai potensi penuhnya, akan mencengkam bangsa-bangsa yang telah
melampaui batas.
Pertama-tama kita
ditunjukkan pada seluruh penciptaan dalam totalitas kosmiknya, lalu kita
disodori dengan beberapa contoh historis tentang nasib kaum yang melampaui
batas. Setelah rangkaian ayat-ayat ini bercerita tentang beberapa peristiwa
dalam sejarah, kita akhirnya sampai pada manusia masa kini.
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُفَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
15.Fa-ammaa l-insaanu
idzaa maa ibtalaahu rabbuhu fa-akramahu wana''amahu fayaquulu rabbii akraman
15. Adapun manusia,
ketika Tuhannya mengujinya, lalu memberi kehormatan kepadanya dan memberinya
kehidupan yang menyenangkan, ia berkata: "Tuhanku menghormati aku".
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
16.Wa-ammaa idzaa maa
ibtalaahu faqadara 'alayhi rizqahu fayaquulu rabbii ahaanan
16. Dan ketika Dia
mengujinya, lalu menyempitkan rezekinya, ia berkata: "Tuhanku menghinakan
aku".
Ibtala (dari bala), berarti 'mencoba,
memberikan ujian, menimpakan penderitaan'. Tujuan eksistensi manusia adalah
untuk menjalani balwa (penderitaan, cobaan) agar beradab dan baik
perilakunya sehingga ia berada dalam islam yang sebenarnya: ketundukkan,
kepasrahan diri dan kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagai hamba sejati dari
kemerdekaannya dan dalam kemerdekaan dari penghambaan sejati. Kehidupan dunia
ini tak lain hanyalah penderitaan (balwa). Jika seseorang mempunyai
harta, maka sulitlah baginya untuk mempertahankan dan memeliharanya, dan, jika
ia benar-benar dalam islam, maka ia akan membelanjakannya dengan bijak, karena
tahu bahwa penggunaan yang salah akan dimintai pertanggungjawabannya. Jika
seseorang tidak mempunyai harta, ia mengalami penderitaan karena ketiadaannya,
kuatir akan tidak mampu menghidupi dirinya dan orang lain, dan seterusnya. Jadi
setiap orang mengalami ketidakamanan, baik si kaya maupun si miskin.
Barang material memang
penting. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya barang-barang yang pokok.
Jika seseorang tidak diberi makan dan tidak ada atap untuk berlindung, maka
akan sulit baginya untuk mempelajari makna batin dari eksistensi ini. Di lain
pihak, ingatan seseorang tidak pemah berhenti pada satu tingkat kepuasan:
sifatnya menginginkan lebih dan lebih lagi.
Ketika manusia diberikan
kesenangan lahiriah, ia duduk-duduk saja sambil berkata, "Tuhanku sayang
dan bermurah hati kepadaku." Di lain pihak, jika perbekalannya terbatas,
maka hal itu menguji kesabaran, keuletan dan kesanggupannya untuk tidak
terlampau cemas. Manusia mengira bahwa kemiskinan dimaksudkan hanya untuk
merendahkannya.
Ada beberapa kata bahasa
Arab yang diterjemahkan sebagai 'kemurahan hati', meskipun masing-masing
sedikit berbeda secara tajam. Karuma berarti 'memberi apa pun yang
diminta'. Sakha berarti 'memberi apa yang dibutuhkan dan perlu', dan jada
berarti 'memberi tanpa diminta'. Makna dari kata-kata ini merupakan sifat dari
Sang Pencipta. Itsar adalah 'memberikan kepada orang lain apa yang dia
sendiri butuhkan'. Ini adalah perbuatan yang sangat mulia dari sifat sepi
ing pamrih. Hanya manusia yang melakukannya, karena Allah tidak membutuhkan
apa pun.
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
17.Kallaa bal laa
tukrimuuna lyatiim
17. Tidak, tetapi kamu
tidak memuliakan anak yatim,
Baik dalam keadaan kaya
atau miskin, manusia tidak bersyukur dan tidak mengetahui makna dan pengertian
dari hikmah di balik kondisinya. Di sini dilambangkan dengan sikapnya yang
tidak bermurah hati kepada anak yatim. Karuma berani 'bermurah hati',
dan dalam konteks anak yatim, berarti akrama (memuliakan), maksudnya
'memberikan perhatian yang baik dan kasih sayang yang layak'. Anak yatim adalah
orang yang membutuhkan dorongan dan perlindungan, karena ia tidak memiliki
pelindung yang nyata. Bapak pertama kita, Adam, adalah seorang yatim. Nabi kita
Muhammad, baginda semua orang, adalah yatim. Dengan mengetahui makna dari yatim
yang tidak berdaya, maka kita mengikuti tradisi yang tak berbatas waktu yakni
tidak tergantung pada orangtua melainkan kepada Allah.
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
18.walaa tahadduuna 'alaa
tha'aami lmiskiin
18. Dan kamu tidak saling
mendorong untuk memberi makan orang miskin,
Akar dari miskin
adalah sakana, yang berarti 'mendiami'. Sukun berarti 'diam,
sunyi, damai'. Orang miskin tidak memiliki apa pun dan sama sekali pasrah
terhadap keadaan yang sangat tak berdaya. Ini kebalikan dari fakir, yakni orang
yang membutuhkan tapi masih bisa aktif: ia bisa mengemis, ia masih bisa
mengharapkan seseorang akan memberinya sesuatu, dan menadahkan tangannya. Ayat
ini menunjukkan bahwa mayoritas umat manusia berada dalam kemgian, dan tidak
mengikuti arus kedermawanan yang bergerak ke depan.
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا
19.wata/kuluuna tturaatsa
aklan lammaa
19. Dan kamu makan
harta warisan orang lain dengan amat serakah,
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
20.watuhibbuuna lmaala
hubban jammaa
20. Dan kamu mencintai
harta dengan kecintaan yang berlebihan.
Kita semua mencintai
harta dari mana pun sumbernya. Manusia biasa akan berteriak memintanya dan
sangat mengharapkannya, dan dia mengusahakan keamanan materi yang biasanya
justru menimbulkan perasaan ddak aman karena takut kehilangannya. Dengan
demikian harta malah menambah kecemasan seeorang. Manusia umumnya ingin
menambah kekayaan baik dengan cara yang benar ataupun tidak benar. Manusia
bersifat suka mementingkan diri sendiri (egois). Dalam hal ini ia menunjukkan
kebalikan dari Penciptanya, Yang Maha Pengasih, sampai ia menyadari bahwa
setiap desah napas adalah pemberian yang sangat dibutuhkan dan penting.
Kita telah mengetahui
sebutan yang sebanding untuk manusia—kepicikan, pengkhianatan dan ketamakannya.
Alquran mendorong kita agar menggunakan kehidupan ini untuk membuka apa yang
ada dalam diri kita agar mengetahui siapa kita, dengan menerima realitas
hewaniah dan ilahiah dalam diri kita.
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا
21.Kallaa idzaa dukkati
l-ardhu dakkan dakkaa
21. Tidak! Tatkala
bumi hancur sehancur-hancurnya.
Maka kini tibalah
peringatan. Dakka berarti memukul hingga hancur. Kita biasanya tidak
memperhatikan kenyataan bahwa pada akhirnya bumi akan kembali ke ketiadaan.
وَجَاء رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
22.wajaa-a rabbuka
walmalaku shaffan shaffaa
22. Dan Tuhanmu
datang bersama malaikat bershaf-shaf,
Bila ayat ini disampaikan
dengan ungkapan lain: 'Dan tatkala semua kekuatan yang tak terlihat oleh kita datang
dengan formasi yang sempurna'. Para malaikat dan kekuatan-kekuatan alam semesta
berada dalam tatanan alamiahnya, mereka berbaris-baris. Tidak ada lagi
kemungkinan bagi manusia untuk turut campur dan bertindak.
وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّى لَهُالذِّكْرَى
23.wajii-a yawma-idzin
bijahannama yawma-idzin yatadzakkaru l-insaanu wa-annaa lahu dzdzikraa
23. Dan pada hari itu
neraka ditampakkan. Pada hari itu manusia akan ingat, tetapi apa gunanya igatan
itu baginya?
Pada waktu itu neraka
(jahanam), api abadi, akan mendekat, jelas dan gamblang. Pada waktu itu manusia
akan ingat, tapi apa gunanya ingatan dia pada saat itu? Wilayah amal,
kemungkinan untuk berperilaku benar dan menyucikan diri di dunia ini, akan
berakhir. Ia akan menangis, 'Andaikan aku beramal saleh selama hidupku', yang
berarti bahwa pada saat itu ia akan mengakui hakikat kehidupan, yang ternyata
tidak seperti perkiraannya dulu, tapi sudah terlambat untuk mengubahnya.
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
24.Yaquulu yaa laytanii
qaddamtu lihayaatii
24. Dia akan berkata:
Oh seandainya dulu aku melakukan [amal salehj untuk kehidupanku [mendatang].'
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ
25.Fayawma-idzin laa
yu'adzdzibu 'adzaabahu ahad
25. Tapi pada hari itu
tak seorang pun akan mengazab seperti azab-Nya,
وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ
26.Walaa yuutsiqu
watsaaqahu ahad
26. Dan tak seorang
pun akan mengikat seperti ikatan-Nya.
Tidak seorang pun akan
bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Perbuatan seseorang akan
menentukan seperti apa kondisi dan keadaan dia di kehidupan mendatang. Tidak
ada orang lain yang akan dapat menggantikannya. Setiap orang bertanggung jawab
dan akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Keadaan tersebut memang
khas.
Pada hari itu—dalam kesadaran baru—kondisi azab dan penghambaan seseorang
akan diukur sesuai dengan perbuatan dia sebelumnya. Kondisinya tidak akan sama
dengan kondisi orang lain. Genggaman Allah atasnya akan bersifat khas dan
khusus untuk dirinya saja.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27.Yaa ayyatuhaa nnafsu
lmuthma-inna
27. Wahai jiwa yang
tenang!
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
28.Irji'ii ilaa rabbiki
raadiyatan mardhiyya
28. Kembalilah kepada
Tuhanmu, dengan perasaan senang, dan menyenangkan [bagi-Nya].
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
29.Fadkhulii fii 'ibaadii
29. Maka masuklah di
antara hamba-hamba-Ku,
وَادْخُلِي جَنَّتِي
30.wadkhulii jannatii
30. Dan masuklah ke
surga-Ku.
Tuhan memanggil jiwa (nafs)
yang berada dalam kesentosaan dan kedamaian, al-nafs al-muthmainnah.
Panggilan ini menandai awal kebangunan rohani. Jika kita tidak mendapatkan
kedamaian, bagaimana kita bisa mengingat hal yang jauh di dalam samudera hati
kita yang paling dalam? Jika kita gelisah secara lahiriah, terus-menerus dalam
kekacauan, bagaimana kita bisa mendengar gaung pengetahuan yang tak berbatas
waktu yang tertanam dalam hati kita? Itulah sebabnya maka panggilan dimulai
pada nafs yang senang dan tenang.
Tahap berikutnya dari nafs
adalah kepuasan hati: radhiyah berarti 'puas', puas terhadap pemahaman
dan terhadap pengetahuan bahwa kondisi yang sedang dijalani ini merupakan suatu
kesempumaan dan bukan sebaliknya. Kita mungkin saja tidak menyukai situasi yang
sedang kita jalani, tapi kondisi tersebut tidaklah relevan di sini. Pada tahap
berikutnya, mardbiyyah (senang), kita akan mengetahui bahwa segala
sesuatu yang lain pun puas dengan kita. Secara batiniah kita berada dalam
kedamaian yang sejati sedangkan secara lahiriah kita masih sebagai manusia yang
suka berbuat karena kita tidak bisa menghindar. Tidak ada jalan untuk
menghindar, kita harus berjuang. Dunia ini adalah wilayah percobaan (balwa)
baik dalam aspek baik maupun buruk, baik lahir maupun batin. Allah berfirman
dalam sebuah hadis kudsi: "Apa yang salah dengan hamba-hamba-Ku? Mereka
terus-menerus berdoa kepada-Ku meminta kesenangan di dunia ini, tapi Aku tidak
menciptakan dunia ini untuk kesenangan."
Imam Husein telah
menyebutkan tahap-tahap nafs: 'Nafs yang tenang adalah nafs yang
berada dalam tauhid.' Kita mencapai ketenangan jika kita berada dalam tauhid. 'Nafs
yang bersyukur, adalah nafs yang telah diberkahi rahmat.' Pada tahap ini
kita mengakui bahwa yang ada hanyalah rahmat Allah. Beliau juga mengatakan, 'nafs
yang terpilih adalah nafs yang memiliki hikmah,' yaitu, nafs yang
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Realitas. Beliau mengartikan nafs
yang berakal dan jiwa yang memahami, sebagai al-nafs al-radhiyah, dan nafs
yang menyuruh orang berbuat jahat sebagai al-nafs al-jahilah, nafs yang
bodoh.
Klasifikasi nafs
secara tradisional berkisar dari keadaan terendah, al-nafs al-ammarah
bi-su', sampai keadaan tertinggi, al-nafs al-kamilah, yakni
meningkat ke atas melalui tujuh maqam (stasiun). Tahap kedua adalah jiwa
yang merasa bersalah, al-nafs al-lawwamah, yang kadang-kadang menyadari
kecenderungannya terhadap kejahatan. Ini adalah tahap permulaan kesadaran. Lalu
berikutnya al-nafs al-mulhamah, jiwa yang diberi ilham, tidak terikat,
tanpa bimbingan, diikuti oleh al-nafs al-muthmainnah. Setelah ketenangan
muncullah kepuasan disertai pengetahuan, ridba': al-nafs al-radhiyah
memiliki pengetahuan tentang kesempurnaan sang Maharaja. Bila kita puas dengan
penciptaan, maka penciptaan pun akan puas dan selaras dengan kita, dan itulah al-nafs
al-mardhiyyah, tahap keenam. Dari keadaan tersebut muncullah kesempurnaan
dan kesatuan, al-kamilah.
Pada tahap kesempurnaan
ini Allah mengatakan, 'Sekarang masuklah ke dalam arena-Ku, dan bersembunyilah
dalam satu-satunya taman tauhid, di dalamnya ada kebahagiaan dan kemeriahan
yang luar biasa dan keberlimpahan yang bebas dinikmati!'.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar