“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Dia akan menimpakan musibah terhadapnya” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia justru akan menyegerakan baginya hukuman/sanksi (adzab atas dosanya) di dunia ini. Namun jika Allah menghendaki keburukan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan menahan dosanya (dengan tidak diadzab di dunia), sampai Dia nanti akan menyempurnakan adzab/hukumannya (seluruhnya) pada hari Kiamat” (HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: Ini hadits hasan).
“Dan apapun bentuk musibah yang menimpa kalian, maka itu (tiada lain) adalah disebabkan oleh ulah tangan-tangan (perbuatan salah dan dosa) kalian sendiri. Padahal Allah masih memaafkan (menutupi dan tidak menghukum) sebagian besar yang lain (diantara kesalahan-kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syura [42]: 30)
Ada satu sunnatullah (ketetapan Allah) dalam kehidupan ini secara umum, dan dalam perjalanan dakwah secara khusus, yang harus selalu kita ingat, dan tidak boleh kita lupakan, abaikan serta lalaikan. Dimana jika terjadi pelanggaran dan dosa, serta kesalahan dan penyimpangan, baik pada individu, komunitas ataupun kelompok, maka akan terjadi dua kondisi.
Pertama, kondisi orang, komunitas atau kelompok yang sudah tidak disayangi dan tidak dicintai Allah, serta tidak dikehendaki baik oleh-Nya, yang tentu karena adanya alasan dan faktor penyebab tertentu, sesuai ilmu, kehendak dan hikmah-Nya.
Dan kedua, kondisi orang, komunitas atau kelompok, yang masih disayangi dan dicintai Allah, serta masih dikehendaki baik oleh-Nya, yang tentu juga karena adanya alasan dan faktor penyebab yang kuat pula, sesuai garis aturan dan ketentuan-Nya! Terlepas apakah kita tahu alasan dan faktor penyebab itu, ataukah tidak!
Untuk kondisi orang, komunitas atau kelompok pertama, mungkin Allah Ta’ala justru akan membiarkannya, tidak menghukumnya di dunia dengan hukuman yang berarti, tidak menegurnya, dan tidak mengingatkan atau memperingatkannya, sebagai sebuah bentuk istidraj (pembiaran) terhadapnya. Sehingga pelanggaran, penyimpangan dan kejahatannyapun akan semakin jauh dan jauh sekali! Dan akhirnya, saat Allah membinasakan dan menghancurkannya, maka sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk kembali dan memperbaiki diri. Sampai Dia Yang Maha Adil dan Bijaksana mengumpulkan dan menyempurnakan seluruh pembalasan serta adzab atas segala kejahatan dan dosanya, di akhirat nanti! Ma’adzallah! (Semoga kita beroleh perlindungan Allah!).
Sedangkan untuk kondisi orang, komunitas atau kelompok kedua, maka biasanya Allah akan memberikan kepadanya kesempatan demi kesempatan, diselingi peringatan-peringatan kecil, teguran-teguran ringan, dan cubitan-cubitan sayang, dari waktu ke waktu. Dan itu dengan tujuan agar yang bersangkutan segera sadar akan kesalahan, mau bermuhasabah (berevalusi/berintrospeksi diri), dan secepatnya berbenah kembali!
Sampai tiba suatu saat dimana kesalahan demi kesalahan telah relatif membesar, keteledoran demi keteledoran telah relatif membanyak, celah demi celah kelemahan telah relatif melebar, dan persoalan demi persoalanpun telah menjadi cukup kompleks, menumpuk dan akumulatif.
Ya, ketika kondisi yang diakibatkan oleh kesalahan demi kesalahan telah sampai pada tingkatan dan tahapan krusial seperti itu, bagi orang, komunitas atau kelompok yang masih Allah sayangi, cintai dan kehendaki baik, biasanya Dia masih memberikan tenggat waktu tertentu baginya, agar secara sungguh-sungguh mau segera melakukan perbaikan dan pembenahan sesuai tuntutan keadaan. Namun, ibarat orang yang telah salah jalan, ketika sudah terlanjur jauh, jika ingin kembali ke jalan yang seharusnya, memang konsekuensi dan resikonya pasti relatif lebih besar dan lebih berat. Dan disinilah tidak sedikit orang, komunitas atau kelompok, yang kemudian tidak lagi siap untuk menanggung besarnya konsekuensi dan beratnya resiko tersebut, yang tentu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan resiko ringan dari salah jalan yang baru satu atau dua langkah saja!
Nah, untuk orang, komunitas atau kelompok yang telah salah arah atau salah jalan relatif jauh seperti itu, dan telah diberikan tenggat waktu dan masa tangguh tertentu, namun ternyata tidak juga segera melakukan muhasabah (evaluasi/introspeksi diri) dan islah (pembenahan) yang diperlukan, gara-gara tidak cukup siap dengan besarnya konsekuensi dan beratnya resiko.
Jika Allah masih menyayangi dan mencintai yang bersangkutan, serta masih menghendaki kebaikan baginya, maka disinilah Allah akan “turun tangan” langsung dengan cara-Nya sesuai kehendak sunnah-Nya. Namun, masalahnya, “cara” Allah itu biasanya justru akan terasa lebih berat dan kadang lebih dahsyat! Karena umumnya memang berupa “jeweran sayang” musibah yang cukup keras atau bahkan “tamparan cinta” hukuman dan ujian yang sangat menyentakkan!
Semoga kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari sebuah komunitas masyarakat atau suatu kelompok dakwah, akan selalu siap dengan setiap konsekuensi muhasabah (evaluasi/introspeksi) dan resiko ishlah (perbaikan diri) atas kesalahan, seberat apapun beban resikonya.
Serta jangan “menunggu” sampai Allah Sendiri yang “turun tangan” untuk menegur keteledoran-keteledoran kita dan membenahi kesalahan-kesalahan kita, dengan cara-Nya, yakni melalui “jeweran” keras atau bahkan “tamparan” menyentakkan, yang memang cespleng, tapi biasanya justru akan lebih berat lagi! Allahumma ‘afwaka wa ghufraanak! (Kami senantiasa berharap ampunan dan maghfirah-Mu, ya Allah!)
Dan semoga kita semua senantiasa termasuk dalam kelompok hamba-hamba Allah yang tetap disayangi dan dicintai-Nya, dihapus dan diampuni dosanya, serta dikehendaki baik oleh-Nya! Aamiin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar