Saya
masih ingat dialog antara seorang alumni ITB ketika dia bertemu (alm) Prof.
Sudjoko, Guru Besar FSRD ITB, pada suatu acara. Profesor menanyakan di mana
alumni tersebut bekerja. Ketika dijawab bahwa dia menjadi dosen di sebuah
Perguruan Tinggi, profesor kemudian bertanya mata kuliah apa yang diampunya di
sana. Alumni tersebut menjawab dengan agak tersipu bahwa dia mengajar mata kuliah
dasar, yaitu mata kuliah tingkat 1 atau 2 yang tidak banyak dosen mau
mengajarnya. Oh, bagus itu, timpal Profesor, justru anda seharusnya bangga
mengajar mata kuliah dasar, karena pada kuliah itulah fundasi dasar ilmu
dibangun. Saya sendiri masih mengajar mata kuliah dasar di FSRD, lanjut
Profesor.
Jawaban
(alm) Prof. Sudjoko itu terus saya ingat-ingat. Tidak banyak Profesor di
Perguruan Tinggi — termasuk d ITB — yang mau mengajar mata kuliah dasar (mata
kuliah tingkat 1 dan 2). Kebanyakan mata kuliah dasar diisi oleh dosen-dosen
muda atau dosen baru yang belum banyak pengalaman, sementara Profesor atau
dosen senior dalam keilmuan mengajar mata kuliah pilihan (tingkat 4 atau 3).
Menurut saya seharusnya tidak begitu, mata kuliah dasar sebaiknya diajar oleh Profesor
atau dosen yang sudah punya jabatan akademik yang lebih tinggi (minimal Lektor
Kepala). Mengapa demikian? Karena — mengutip jawaban Prof. Sudjoko tadi — pada
mata kuliah dasarlah fundasi ilmu dibangun. Dan untuk membangun fundasi dasar
itu seharusnya para guru besarlah yang “turun gunung” karena mereka telah
memiliki kearifan dan filosofi ilmu. Jika dasar-dasar ilmu tidak diberikan oleh
orang yang mumpuni, maka jangan heran jika mahasiswa tidak memiliki landasan
yang kuat dalam ilmu pengetahun bidang studinya.
Secara
keahlian (hard skill) mahasiswa zaman sekarang memang bagus, hebat-hebat
malah, tetapi secara filosofis mereka lemah dalam dasar keilmuan. Mereka
terlalu mementingkan hard skill dan agak mengabaikan penguasaan terhadap
fundamental ilmu. Mahasiswa saya di Informatika ITB juga banyak yang begitu.
Dari skill pemrograman mereka jago, hebat-hebat, program mereka bagus
sekali, kreatifitas mereka luar biasa, mendewalah pokoknya. Namun bila
diberikan pertanyaan yang menyangkut fundamental, jawaban mereka kurang
memuaskan dan terkesan ngasal. Dalam sidang-sidang Tugas Akhir fenomena
demikian juga muncul, kebanyakan mahasiswa kurang mampu menjawab konsep-konsep
dasar yang terkait tugas akhir yang dibuatnya.
Mata
kuliah dasar tidak banyak dosen senior yang mau mengajarnya. Saya memang tidak
punya datanya, tetapi dari pengamatan setelah melihat nama-nama dosen yang
mengajar mata kuliah tingkat 1 dan 2 di ITB, saya menduga demikian adanya.
Mungkin karena mata kuliah dasar itu tidak terlalu menarik bagi para profesor
atau dosen yang sudah mumpuni ilmunya, sehingga mata kuliah dasar diserahkan
kepada dosen muda atau dosen baru. Mengajar mata kuliah tingat 4 atau kuliah
pilihan mungkin dianggap lebih menantang bagi dosen senior (termasuk Profesor)
karena mata kuliah tersebut sudah menyentuh aplikasi dunia nyata, teknologi
terkini, keprofesian, dan juga terkait dengan riset dan proyek sang dosen.
Saya
sendiri di Informatika ITB masih dan senang mengajar mata kuliah dasar pada
tahun pertama di Informatika (tingkat II di ITB). Ibarat sebuah pohon,
memberikan fundamental ilmu itu sama pentingnya dengan membangun ilmu itu
sampai ke ujung rantung-rantingnya. Sebuah pohon kuat hanya jika akar-akarnya
kuat. Mahasiswa kita akan memiliki keilmuan yang kuat jika diberikan
dasar-dasar imu yang kuat pula.
by rinaldimunir
-----------------------
catatan :
Kisah Kuliah Professor
Semester ini adalah semester paling menarik bagi saya dalam menempuh pendidikan S1. Karena sudah memasuki tingkat akhir sudah selayaknya kita memilih konsentrasi dan memilih mata kuliah yang kita inginkan sesuai dengan minat kita.Dalam kurikulum pendidikan S1 Teknik Mesin ITB, mahasiswa diberikan 15 sks pilihan, minimal 6 diantaranya mata kuliah jurusan dan sisanya boleh dari mata kuliah umum maupun dari jurusan lain. Saya berpikir daripada mengambil mata kuliah umum alangkah bermanfaatnya bila mengambil mata kuliah yang serumpun dengan ilmu kita. FYI, Teknik Mesin, Teknik Material dan Aeronotika-Astronotika merupakan jurusan yang memiliki hubungan yang sangat erat. Mereka tergabung dalam satu fakultas, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, FTMD. Hampir semua dosennya tamatan Mesin.
Salah satunya saya mengambil mata kuliah Material Lanjut, Advanced Material. Pada mata kuliah ini saya berkesempatan belajar dengan Prof. Rochim Suratman, satu dari dua Professor Jurusan Teknik Material, lulusan KUL Leuven Belgia. Sangat beruntung karena kelas ini hanya memiliki dua orang mahasiswa dan Professor pun bersedia membuka kelas tersebut.
Professor di ITB memang tidak banyak, tidak gampang untuk mendapatkan gelar tersebut. Di jurusan Teknik Material hanya ada dua Professor, di Teknik Mesin juga cuma delapan Professor dari 50an total dosen. Langka. Memang, saya sebelumnya juga sudah sering kuliah dengan dosen pengajar Professor, namun kali ini saya terasa dapat sesuatu yang lebih tak hanya di bidang Mechanical, Materials, namun juga ke hal-hal yang lebih filosofis. Menarik.
Awalnya saya tak memiliki ketertarikan pada pelajaran-pelajaran material dan manufaktur. Saya lebih tertarik di bidang Konversi Energi. Namun dengan Prof. Rochim mata kuliah material ini terlihat sangat menyenangkan. Walau ilmu beliau sangat tinggi namun dalam mengajar beliau sabar dalam menyampaikan dan meyakinkan hingga kita benar-benar mengerti. Suasana belajar pun sangat nyaman, belajar di ruang rapat, kadang di kantor beliau kadang di kelas besar walau isinya cuma kita berdua.
Rendah hati, hampir empat tahun saya merasakan kuliah di kampus gajah ini, baru kali ini ada Professor menawarkan makanan dan minumannya. Pakem bahwa Professor Teknik itu kaku hilang sudah. Kelas terasa cair membuat pelajaran terasa menyenangkan dan cepat diserap oleh kepala. Di sela-sela pelajaranterkadang kita terlibat dalam diskusi, pemikirannya luas dan inspiratif. Beliau pun tak egois, beliau mau mendengarkan dan menghargai saya dalam mengutarakan pendapat.
Kita pernah membicarakan sistem pendidikan di Indonesia yang amburadul, semua orang ingin menjadi sarjana. Orang Indonesia yang mengkultuskan gelar padahal kualitas tidak dipertimbangkan. Mari kita lihat bersama, berapa banyak Sarjana yang menganggur. Ada puluhan PTN yang memproduksi ratusan ribu sarjana tiap tahun, belum ditambah dengan seribuan PTS yang ada di Indonesia. Alamak.
Keprofessian, Beliau juga pernah cerita bagaimana kontrasnya suasana kemahasiswaan disini dengan luar negeri. Disana mahasiswa berhimpun benar-benar untuk keprofesian mereka bukan untuk di push-up dan teriak-teriak ndak jelas.
Santun dalam menyampaikan sesuatu, beliau yang angkatan 1967, dimana orang tua saya baru masa kanak-kanak, tapi dalam bertutur kata sangan santun. Entah itu bicara sesama kolega dosen, kepada saya sebagai mahasiswanya maupun kepada petugas kebersihan di gedungnya.
Satu hal yang paling saya ingat adalah, ekspektasi beliau terhadap lulusan mesin, agar jangan terpaku pada kelompok keahlian saja. Misal KK Konversi Energi selayaknya memiliki pengetahuan yang cukup di bidang Material, Manufaktur dan Perancangan. Begitu juga sebaliknya. Sebab di dunia kerja nanti kita akan dikenal dengan Mechanical Engineer, bukan sebagai Energy Conversion Engineer.
Terima kasih Prof, yang sudah sabar ngajarin saya material lanjut selama satu semester ini. Semoga di lain waktu saya bisa menimba ilmu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar