Assalamu'alaikum
Suatu
saat, kita pernah terjebak merasa menjadi
individu paling hebat. Terkadang,
lisan kita pun tanpa sadar sering menghina pengetahuan orang di sekeliling
kita, merendahkan derajat status sosialnya. Padahal kita tahu orang-orang itu
dalam hatinya terluka walau sekecil apapun yang terlontar dari bibir kita.
Semakin
kita merasa diri sempurna, dan menggangap diri
adalah Sang Juara, niscaya semakin sulit kita untuk ikhlas saat kekalahan
menyapa. Jika hal tersebut menetap dalam batin kita, yang timbul hanyalah rasa
capek, letih, cemas, gelisah, karena sejatinya kita terpenjara. Terpenjara oleh
nafsu fatamorgana. Terpenjara atas pengharapan aliran tepuk tangan manusia.
Kalau saudah begitu, kita akan selalu diperbudak hawa nafsu dunia untuk tampil
paripurna dengan apapun caranya. Padahal yang selama ini yang kita pakai adalah
topeng, topeng untuk menutup kelemahan kita, bukan diri sejati kita.
Allah
berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?" Menjawablah iblis "aku lebih baik daripadanya,
Engkau ciptakan aku dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah"(QS,
al-A’raf [7]: 12.).
Renungkanlah
sebuah ayat dibawah ini sebagai pengingat agar hambaNya tidak ikut lupa
“Maka
pada hari ini, Kami selamatkan badanmu (fir’aun) supaya kamu dapat menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS.Yunus:92).
Ulama
besar Abdul Hamid Al-Ghazali merumuskan sebuah pendekatan agar sebongkah
kesombongan mampu lenyap dalam hati kita.
1. Menumbangkan pohon kesombongan dari akarnya yang tertancap
di dalam hati, yakni dengan jalan mengenal diri sendiri dan Allah sebagai Sang
Pencipta. Jika kita sudah mengenal diri dan Allah, kita akan menyadari betapa
manusia itu tidak selayaknya memiliki sifat sombong. Kita ditakdirkan menghamba
dan lebih tinggi dari makhluk lainnya, jadi tidak perlu memaksakan diri untuk
memulia-muliakan pribadi dan memaksa tampil untuk terlihat jumawa di hadapan
khalayak.
2. Mencegah supaya kesombongan yang sudah terkikis
tidak kembali menghantui jiwa kita. Dengan secara praktis kita juga dapat
menerapkan disiplin kepatuhan dan tunduk secara nyata kepada Allah SWT.
Al
Ghazali merumuskan beberapa hal yang bisa kita tempuh sebagai berikut:
- Jika kita sombong karena keturunan hendaknya mengobati diri dengan senantiasa mengenali kembali keturunan sejati kita, yaitu debu dan air mani.
- Andai bangkai sombong karena kecantikan menerpa, hendaklah kita lebih banyak melihat kepada apa yang terkandung dalam batin kita bukan pada lahirnya saja.
- Apabila kita digerogoti rasa sombong karena kekuatan, dapat diobati dengan pengetahuan bahwa penyakit akan membuat kita sekejap terkulai lemah.
- Lalu jika kita selalu terkait akan kesombongan karena harta dan kekayaan dapat diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta kekayaan, pendukung dan pengikut itu suatu saat akan meninggalkan. Itu pasti bukan? Dan kita tidak membawa apa-apa.
- Lantas, pada suatu kita sombong akan ilmu yang kita miliki, dapat diobati dengan cara pertama-tama menumbuhkan kesadaran pada pribadi kita bahwa Allah SWT memaklumi orang yang bodoh dan sama sekali justru tidak memaklumi orang yang mempunyai pengetahuan. Kedua dengan menyadari segenap diri bahwa kesombongan itu hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT saja. Dan Allah saja yang Maha Pencipta tidak sombong, Ia selalu meluakan lapangan ilmu bagi setiap hambanya yang mau mengejar.
- Terakhir apabila kita sombong karena titel ketekunan ibadah kita, dapat diobati dengan cara mengharuskan diri kita supaya dapat bersikap rendah hati pada semua orang. Bukankah iman dan amal selalau berkaitan dengan amal? Sudah seharusnya karena begitulah Rasulullah menampakkan keteladanannya.
Semoga
dengan ini kita selalu dijauhkan dari prasangka sombong yang hanya akan
menyebabkan bertambahnya deretan penyakit hati yang sudah menumpuk dalam jiwa
kita. Lagipula, buat apa kita sombong, toh kita masih menumpang di bumi Allah
dan jika tidak hati-hati, kesombongan jualah yang memakan kita di akhirat
nanti. Semoga kita diselamatkan dari ganasnya siksa Allah kelak.
"Kecuali
orang yang bertobat dan beramal saleh, maka mereka akan Allah gantikan
keburukannya dengan kebaikan. Adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QA, al-Furqân: 70)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar