Rasululuah SAW
pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud. “Hampir saja
umat-umat menyerang kalian dari segala penjuru, bagaikan rayap-rayap yang
menyerang tempat makannya sendiri”
Lalu para sahabat
bertanya, “Apakah jumlah kita waktu itu sedikit ya Rasulullah?”
“Tidak,” jawab
Rasulullah, “Malahan pada waktu itu kalian berjumlah sangat banyak, tetapi
kalian adalah buih bagaikan air bah. Sesungguhnya Allah SWT telah mencabut
kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah menanamkan Wahn dalam hati
kalian.”
Para sahabat
bertanya, “Apa Wahn itu ya wahai Rasulullah?
Rasulullah
menjawab, Cinta dunia dan takut mati.
Hal yang
digambarkan oleh Rasulullah kepada kita ratusan tahun silam ini apabila kita
inap-inapkan menungkan persis dengan keadaan yang menimpa umat Islam saat ini.
Kaum muslim yang pada saat ini berjumlah lebih dari 1,4 Milyar orang yang
tersebar dalam 50 negara seolah tidak berdaya dalam kancah kehidupan manusia.
Persatuan yang telah dijalin berabad-abad silam, saat masa Rasulullah dan para
sahabatnya serta Khulafahur Rasyidin, kini sekakan dihancurkan oleh umat Islam
sendiri.
Gelombang
kekerasan atas nama agama sekarang sudah seperti menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin. Umat Islam yang yang sudah terpola
kedalam berbagai golongan mengklaim adalah golongan yang paling benar. Akibat
klaim saling benar ini kemudian menjadi konflik, bahkan berakhir dengan
pertumpahan darah.
Kita lihat di
televisi bagaimana saat ini saudara kita yang berada di Palestina, Irak,
Afganistan, Libanon dan masih banyak daerah lain yang dalam keadaan menderita.
Jangankan untuk berdagang, bertani, bersekolah, untuk hidup-pun mereka harus
berjuang. Bagaimana perasaan kita mendengar seorang anak umur 6 tahun wafat
karena tembakan senjata canggih Israel, karna hanya melempar tank Israel dengan
sebuah batu kecil. Atau bagaimana jiwa kita ketika mendengar seorang wanita
muslim yang sedang hamil, diperkosa, kamudian tubuhnya dicabik-cabik oleh
tentara Israel hanya karena ingin tahu jenis kelamin anak didalam perutnya.
Barangkali kita
sering beranggapan bahwa itu sudah takdir dari Tuhan. Tuhan telah mentakdirkan
kaum muslim di Palestina, di Afganistan, di Irak, di Libanon dan lainnya dalam
kondisi seperti itu. Itu adalah pikiran picik kita, pikiran orang-orang yang
egois dan hanya memahami islam secara dangkal. Tahukah kita bahwa takdir adalah
ujung dari usaha manusia.
Mungkin kita kita
disini yang mayoritas beragama Islam sudah lupa hadist nabi yang mengatakan
bahwa kaum muslim itu ibarat sebuah tubuh. Apabila sakit salah satu bagian,
maka bagian yang lain juga akan ikut merasakan sakit. Bayangkan ketika jempol
kita tiba-tiba tersandung batu dan akhirnya berdarah. Secara refleks mulut akan
mengaduh, kepala mungkin akan pening, tangan akan mencari kapas atau obat dan
otak pun akan berpikir bagaimana supaya darah segera berhenti mengucur. Betapa
indahnya kebersamaan yang seharusnya terjalin dalam islam, seperti kebersamaan
dalam tubuh kita yang tanpa dikomando sekalipun sudah tahu harus melakukan apa.
Disini saya tidak
meminta bapak-bapak dan ibu-ibu untuk menangis dan bersedih meraung-raung
dengan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Tetapi begitulah
sebenarnya kebersamaan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bagi umat Islam. Ketiak
ada saudaranya yang muslim mengalami kesusahan , maka sudah sewajarnyalah umat
Islam yang lain berupaya untuk meringankan beban saudaranya tersebut.
Kebersamaan yang
dimiki oleh umat islam diikat oleh sesuatu yang bernamaaqidah. Sebuah ikatan
yang sangat kuat, menembus batas suku bangsa, negara, bahasa, ras, kota,
pulau,bahkan benua sekalipun. Sekali seseorang bersahadat dan ia tetap dalam
sahadatnya itu, maka ia adalah saudara kita.
Contoh terbaik
kebersamaan umat islam yang harus menjadi contoh tauladan kita adalah ketika
zaman Rasulullah SAW dan para sahabat yakni kaum muhajirin dan anshor. Lihatlah
bagaimana kuatnya ikatan antarumat islam di kala itu. Saking kuatnya ikatan
ini, seakan-akan seperti saudara kandung sendiri.
Orang-orang anshor
berlomba-lomba memberikan bantuan kepada kaum muhajirin yang datang dari Mekah.
Dan mereka melakukannya dengan ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah SWT.
Itulah contoh terbaik sepanjang masa yang dapat kita tiru pada kehidupan kita
saat ini.
Dan kalau kita mau
merenung lebih dalam lagi, mengapa kondisi umat islam seperti ini? Disaat
musuh-musuh Islam sedang gencar-gencarnya menyerang Islam dari berbagai sudut,
kita sesama Islam saja masih berselisih.
Mengapa saat ini
kita masih mempermasahkan antara yang memakai Qunut dengan yang tidak, masih
mempermasalahkan antara menjaharkan pembacaan Bismillah dalam membaca Alfatihah
pada shalat dengan yang tidak menjaharakan, jumlah rakaat Tarwih, tahlil?
golongan Islam Hamas dan golongan Islam Fatah di Palestina saling berselisih?
Mengapa terjadi perang sekte antara umat Islam di Iraq? mengapa kita begitu
mudah mengkafirkan orang lain hanya karena permasalahan furuk berdasarkan
ijtihad para alim ulama, sedangkan kita tahu seseorang dikatakan kafir atau
sesat apabila akidahnya sudah melenceng dari Islam. Seperti mengakui mengakui
ada Tuhan selain Allah, ada nabi selain nabi muhammad, Ritual ibadah yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Adaa apa dengan kebersamaan yang dimiliki oleh umat
islam sekarang?
Umat islam saat
ini mayoritas lebih sibuk dengan kelompoknya masing-masing. Lebih percaya
dengan pemimpin kelompoknya yang terkadang ’secara tak sadar’ telah mengalahkan
tingkat kepercayaannya kepada Rasulullah SAW. Hal ini menyebabkan apapun yang
dikatakan oleh Sang Pemimpin, langsung dipegang teguh. Akibatnya ada kelompok
yang menganggap orang islam di luar golongan mereka adalah kafir, kotor, najis,
bahkan halal untuk dibunuh.
Kita tahu bahwa
kebenaran hanya milik Allah SWT, bukan milik satu golongan. Bahkan para imam
madzhab sendiri tidak pernah mengklaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang
paling benar.
Imam Abu Hanifah
(Hanafi) pernah berkata: “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami
bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya”
Imam Malik
(Maliki) juga pernah bekata: “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah,
terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan
Al-Quran dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Quran dan
sunnah, tinggalkanlah”
Imam Syafi’i, pun
seperti itu, ia mengatakan “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang
berlainan dengan hadits Rasulullah SAW, peganglah hadits Rasulullah SAW itu dan
tinggalkanlah pendapatku itu”
Begitupun dengan
Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada
Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka
mengambil.”
Begitulah para
imam madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak
taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Bahkan
diantara imam madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’,
mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan
menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih
kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.
Di lain hal,
jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang
mukmin, tidak ada klasifikasi. Selama mukmin tersebut menjalankan semua
perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan
syurga bagi mukmin tersebut.
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan syurga untuk mereka.” (QS At-Taubah 111).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar