Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr
merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para
sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.
Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan
menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir
seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang
turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman
umat manusia.
Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini
menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud
Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat
Makkiyah.”
Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi
palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan
dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash,
salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika
surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya.
Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang
surat ini:
“Surat apa yang turun kepada sahabatmu
di Mekah itu?”
’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat
dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.”
“Coba bacakan kepadaku surat itu!”
Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan
oleh ‘Amr bin Ash.
Musailamah merenung sejenak, ia
berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.”
‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?”
Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr.
Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau
punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas
galian.”
Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih
kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya
tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah
dusta.”
Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”
Dalam Al-Qur’an, Allah sering
bersumpah.
Allah bersumpah dengan benda-benda,
misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1).
Allah bersumpah dengan waktu, misalnya
Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai
gelap (QS. Al-Dhuha 1-2).
Allah juga bersumpah dengan jiwa:
Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7).
Namun, Allah paling sering bersumpah
dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat.
(QS. Al-Qiyamah 1),
Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam
apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2).
Dalam surat Al-’Ashr ini Allah
bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.
Ada perbedaan di antara para ahli
tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah
waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu
yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir.
Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush
shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab
biasanya dipakai untuk menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul
hadid yang berarti zaman besi di dalam sejarah.
Menurut sebagian besar mufasir,
Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul.
Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti juga makan
(tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu
yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor.
Seluruh waktu sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa
yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain?
Hal itu karena adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat
juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu,
melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.
Jika Rasulullah saw tidak turun di
Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama
nilainya dengan kota-kota lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia
karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya,
tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih
tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan
peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang
menganggap hari pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga
apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat
bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.
Mengapa kita suka memperingati
hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada
peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja.
Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu,
misalnya peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu
lahir seorang Rasul yang menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu
mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya
sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir
organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia?
Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali
peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat
dirinya. Jadi, dalam hal ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi
atau relatif (bergantung pada orangnya).
Oleh karena itu, ada hari-hari yang
penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada
zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu,
tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah
misalnya, ‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman
itulah Ahlu Sunnah merujuk.
Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”
Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup.
Muthahhari membedakan antara istilah
kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah
memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama
halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia,
tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda
adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah
sekian tahun, ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang
sana Anda melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak
isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga
happiness.
Jadi apa yang membedakan kebahagiaan
dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan
bersifat insaniyah.
Pada segi-segi kebinatangan, kita sama
dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang
lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu
dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia
dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya
secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah
berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali
perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat
berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru
menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.
Manusia tidak demikian -kecuali
Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia
belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi
kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi
manusia” atau tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya
menjadi manusia. “Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah
sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah
manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri.
Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar,
tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus
atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk
dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk
mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat
hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi
khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa
memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam
kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan
keinginan kita sendiri.
Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat
kemanusiaan itu ?
Kalau kita membandingkan binatang yang
satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi
jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu
berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun
manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram,
nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal
dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama
-mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah,
nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.
Apa yang membedakan nilai seorang
manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana
setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan
nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal
yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.
Mengapa iman? Binatang memiliki
persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh
karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang
bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia
bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak
bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke
derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat
menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu,
manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi
orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang
kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada
hakekatnya ia adalah binatang.
Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9).
Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang
yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka
dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan
karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya
dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ
karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang
yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar
bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah
menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.
Kemudian yang dapat meningkatkan nilai
insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang
manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa
likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai
dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi
hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah
berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.
Menurut Muthahhari, amal saleh itu
memiliki dua ciri.
Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut
amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya
shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain.
Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan
hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah
bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin
dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh
menjadi amal yang jelek.
Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang
meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya
sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya
berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai
pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka
nilainya bisa berubah.
Muthahhari mengatakan bahwa apabila
seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan:
“Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa
shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya
dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah
membayar utang daripada melakukan shalat.
Contoh lain misalnya suatu waktu kita
akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita
tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu
bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu
dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat
Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.
Di sini Islam menjunjung tinggi
nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang
bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap
sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu
adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu
hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang
membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan
hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.
Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).
Sekarang ini dikembangkan sebuah alat
ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya
gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya
orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak
yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh
orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi
oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata
bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ,
tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional
ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya.
Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi
emotional intelegence.
Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi
IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang
mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah
dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan
tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang
mengembangkan manusia secara sosial.
Nilai suatu masyarakat juga diukur dari
iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak
beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.
Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya
kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban
untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat
kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã
shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi
nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa?
Wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh
tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar
dan dilaksanakan.
Pada kata tawã shau kita bukan hanya
subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap
juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.
Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan
dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi
orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan
membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.
Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah
mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam
kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh.
Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan
Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)
TAFSIR SURAT AL-’ASHR
Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM
Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar