“Demi masa!” (ayat 1). Atau demi waktu ‘Ashar, waktu
petang hari seketika bayang-bayang badan sudah mulai lebih panjang daripada
badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang ‘Ashar. Maka terdapatlah
pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.
Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu’
Amma bahwa telah teradat bagi bangsa Arab apabila hari telah sore, mereka duduk
bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan ceritera-ceritera lain yang
berkenaan dengan urusan sehari-hari. Karena banyak percakapan yang melantur,
keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan
permusuhan. Lalu ada yang mengutuki waktu ‘Ashar (petang hari), mengatakan
waktu ‘Ashar waktu yang celaka, atau naas, banyak bahaya terjadi di waktu itu.
Maka datanglah ayat ini memberi peringatan “Demi ‘Ashar”, perhatikanlah waktu
‘Ashar. Bukan waktu ‘Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang
mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap-cakap
yang tidak tentu ujung pangkal. Misalnya bermegah-megahan harta, memuji diri,
menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan
timbullah saling sengketa.
Lalu kamu salahkan waktu ‘Ashar, padahal kamulah yang
salah. Padahal kalau kamu percakapkan apa yang berfaedah, dengan tidak
menyinggung perasaan teman dudukmu, tentulah waktu ‘Ashar itu akan membawa
manfaat pula bagimu.
Inilah satu tafsir.
Tafsir yang lain: “Demi Masa!”
Masa
seluruhnya ini, waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman,
masa demi masa, dalam bahasa Arab ‘Ashr juga sebutannya. Sebagai semasa
Indonesia dijajah.
Belanda
dapat disebut “’Ashru Isti’maril
holandiy” (Masa penjajahan Belanda), “’Ashru Isti’maril Yabaniy”, masa penjajahan
Jepang. “’Ashrust Tsaurati
Indonesia Al-Kubra”, masa Revolusi Besar Indonesia, “’Ashrul Istiqlal”, masa
kemerdekaan dan sebagainya.
Berputarlah bumi ini dan berbagailah masa yang dilaluinya;
suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua. Ada masa hidup, kemudian
mati dan tinggallah kenang-kenangan ke masa lalu.
Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi
sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa.
Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati,
habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi,
dan masa itu akan terus dipakai manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang
datang dan ada yang pergi.
Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar
dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh
edaran masa.
“Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian.”
(ayat 2). Di dalam masa yang dilalui itu nyatalah bahwa manusia hanya rugi
selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-sekali. Hanya
rugi jua yang didapati: Sehari mulai lahir ke dunia, di hari dan sehari itu
usia sudah kurang satu hari. Setiap hari dilalui, sampai hitungan bulan dan
tahun, dari muda ke tua, hanya kerugian jua yang dihadapi.
Di waktu kecil senanglah badan dalam pangkuan ibu, itu
pun rugi karena belum merasai arti hidup. Setelah mulai dewasa bolehlah berdiri
sendiri, beristeri atau bersuami. Namun kerugian pun telah ada. Sebab hidup
mulai bergantung kepada tenaga dan kegiatan sendiri, tidak lagi ditanggung
orang lain.
Sampai kepada kepuasan bersetubuh suami isteri yang
berlaku dalam beberapa menit ialah untuk menghasil anak yang akan dididik dan
diasuh, menjadi tanggungjawab sampai ke sekolahnya dan perguruannya untuk
bertahun-tahun.
Di waktu badan masih muda dan gagah perkasa harapan masih
banyak. Tetapi bilamana usia mulai lanjut barulah kita insaf bahwa tidaklah
semua yang kita angankan di waktu muda telah tercapai.
Banyak pengalaman di masa muda telah menjadi kekayaan
jiwa setelah tua. Kita berkata dalam hati supaya begini dikerjakan, jangan
ditempuh jalan itu, begini mengurusnya, begitu melakukannya. Pengalaman itu
mahal sekali. Tetapi kita tidak ada tenaga lagi buat mengerjakannya sendiri.
Setinggi-tingginya hanyalah menceriterakan pengalaman itu kepada yang muda.
Sesudah itu kita bertambah nyanyuk, bertambah sepi;
bahkan kadang-kadang bertambah menjadi beban berat buat anak-cucu. Sesudah itu
kita pun mati!
Itu kalau umur panjang. Kalau usia pendek kerugian itu
akan lebih besar lagi. Belum ada apa-apa kita sudah pergi. Kerugianlah seluruh
masa hidup itu. Kerugian!
“Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat 3). Yang
tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman.
Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak
Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang
sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat
berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman
menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti
kepada Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan
bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang
sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan
selama masa hidup di dunia ini akan diberi nailainya oleh Allah. “Dan beramal
shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu
kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun
suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan
diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa
itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik.
Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun
bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju!
Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan
menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja
hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan
dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal
kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa
kita kembali ke hadhirat Tuhan.
Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun setelah
kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang kenangan
itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan sebagai
Mu’min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan itulah
kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhirat Ilahi. Sebab itu tidaklah
akan rugi masa hidup kita.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.” Karena nyatalah
sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup
nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang
dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu
dapat dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana yang salah,
supaya yang salah itu sama-sama dijauhi.
Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan
pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah
terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang
bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang
menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.” (ujung ayat 3).
Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab
hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri,
teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama
banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan
menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi
sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal
berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
Di dalam Al-Qur’an banyak diterangkan bahwa kesabaran
hanya dapat dicapai oleh orang yang kuat jiwanya, (Surat Fushshilat 41:35).
Orang yang lemah akan rugilah.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2)
Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang
Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah dapat dielakkan.
Kalau tidak ada syarat yang empat ini rugilah seluruh
masa hidup.
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya “Miftahu Daris-Sa’adah”
menerengkan: “Kalau keempat martabat telah tercapai oleh manusia, hasillah
tujuannya menuju kesempurnaan hidup. Pertama: Mengetahui Kebenaran. Kedua:
Mengamalkan Kebenaran itu. Ketiga: Mengajarkan kepada orang yang belum pandai
memakaikannya. Keempat: Sabar di dalam menyesuaikan diri dengan Kebenaran dan
mengamalkan dan mengajarkannya. Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat
ini.
Dalam Surat ini Tuhan menerangkan martabat yang empat
itu. Dan Tuhan bersumpah, demi masa, bahwasanya tiap-tiap orang rugilah
hidupnya kecuali orang yang beriman. Yaitu orang yang mengetahui kebenaran lalu
mengakuinya. Itulah martabat pertama.
Beramal yang shalih, yaitu setelah Kebenaran itu
diketahui lalu diamalkan; itulah martabat yang kedua.
Berpesan-pesanan dengan Kebenaran itu, tunjuk menunjuki
jalan ke sana. Itulah martabat ketiga.
Berpesan-pesanan, nasihat-menasihati, supaya sabar
menegakkan kebenaran dan teguh hati jangan bergoncang. Itulah martabat keempat.
Dengan demikian tercapailah kesempurnaan.
Sebab kesempurnaan itu ialah sempurna pada diri sendiri
dan menyempurnakan pula bagi orang lain. Kesempurnaan itu dicapai dengan
kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Buat memenuhi kekuatan ilmiah ialah Iman. Buat
peneguh kekuatan amaliah ialah berbuat amal yang shalih. Dan menyempurnakan
orang lain ialah dengan mengajarkannya kepada mereka dan mengajaknya bersabar
dalam berilmu dan beramal.
Lantaran itu meskipun Surat ini pendek sekali namun
isinya mengumpulkan kebajikan dengan segala cabang rantingnya. Segala pujilah
bagi Allah yang telah menjadikan kitabnya mencukupi dari segala macam kitab,
pengobat dari segala macam penyakit dan penunjuk bagi segala jalan kebenaran.”
Sekian kita salin dari Ibnul Qayyim.
Ar-Razi menulis pula dalam tafsirnya: “Dalam Surat ini
terkandung peringatan yang keras. Karena sekalian manusia dianggap rugilah
adanya, kecuali barangsiapa yang berpegang dengan keempatnya ini. Yaitu: Iman,
Amal Shalih, Pesan-memesan kepada Kebenaran dan Pesan-memesan kepada Kesabaran.
Itu menunjukkan bahwa keselamatan hidup bergantung kepada keempatnya, jangan
ada yang tinggal. Dan dapat juga diambil kesimpulan dari Surat ini bahwa
mencari selamat bukanlah untuk diri sendiri saja, melainkan disuruh juga
menyampaikan, atau sampai-menyampaikan dengan orang lain. Menyeru kepada Agama,
Nasihat atas Kebenaran, Amar ma’ruf nahyi munkar, dan supaya mencintai atas
saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya. Dua kali diulang tentang
pesan-memesan, wasiat mewasiati, karena pada yang pertama menyerunya kepada
jalan Allah dan pada yang kedua supaya berteguh hati menjalankannya. Atau pada
yang pertama menyuruh dengan ma’ruf dan pada yang kedua mencegah dari yang
munkar. Di dalam Surat Luqman, 21:17 dengan terang-terang ditulis wasiat Luqman
kepada anaknya agar dia suka menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan
bersabar atas apa pun jua yang menimpa diri.
Menurut keterangan Ibnu Katsir pula di dalam tafsirnya:
“Suatu keterangan daripada Ath-Thabrani yang ia terima dari jalan Hamaad bin
Salmah, dari Tsabit bin ‘Ubaidillah bin Hashn: “Kalau dua orang sahabat
Rasulullah SAW bertemu, belumlah mereka berpisah melainkan salah seorang di
antara mereka membaca Surat Al-‘Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka
mengucapkan salam tanda berpisah.”
Syaikh
Muhammad Abduh dalam menafsirkan Hadis pertemuan dan perpisahan dua sahabat ini
berkata: “Ada orang yang menyangka bahwa ini hanya semata-mata tabarruk (mengambil berkat) saja. Sangka itu
salah. Maksud membaca ketika akan berpisah ialah memperingatkan isi ayat-ayat,
khusus berkenaan dengan pesan-memesan Kebenaran dan pesan-memesan atas
Kesabaran itu, sehingga menimbulkan kesan yang baik.”
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Kalau manusia seanteronya sudi
merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu baginya.”
Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan Surat ini dengan
tersendiri, dan Sayid Rasyid Ridha pernah mencetak tafsir gurunya ini dengan
sebuah buku tersendiri pula, dan menjadi salah satu pelajaran kami di Sumatera
Thawalib, Padang Panjang pada tahun 1922.
Tafsir Al Azhar . Oleh Buya Hamka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar