Jika
selama ini, kita diajarkan sejak kecil untuk menggantungkan cita-cita setinggi
langit, maka sekalian saja naikkan cita-cita kita ke akhirat.
Kenapa tidak? Toh dengan bercita-cita akhirat, maka Allah Ta'ala akan membantu memudahkan urusan kita, akhirat dapat dan dunia pasti dapat. Sedangkan kalau cita-cita hanya dunia, maka khawatirnya kita hanya mendapat dunia, dan di akhirat kita menjadi orang yang rugi besar.
Kenapa tidak? Toh dengan bercita-cita akhirat, maka Allah Ta'ala akan membantu memudahkan urusan kita, akhirat dapat dan dunia pasti dapat. Sedangkan kalau cita-cita hanya dunia, maka khawatirnya kita hanya mendapat dunia, dan di akhirat kita menjadi orang yang rugi besar.
Allah
Ta'ala berfirman,
“Barangsiapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka akan Kami
berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu
bagian pun di akhirat.” (Qs. Asy-Syura: 20)
“Akan
tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’laa: 16--17)
Banyak
yang bertanya "Bagaimana contoh bekerja dengan orientasi
akhirat?"
Jawabannya banyak sekali: bekerja karena ingin menikah, karena ingin menafkahi keluarga, ingin membantu keluarga yang tidak mampu, ingin berhaji, ingin banyak bersedekah seperti si fulan, ingin membangun 100 rumah sakit Islam, ingin menyantuni satu juta anak yatim, dan seterusnya....
Ada
kisah menarik di zaman tabiut tabi'in. Seorang ulama besar bernama Abdullah bin
al-Mubarak, seorang ulama ahli hadits sekaligus seorang pedagang yang berhasil.
Beliau rahimahullah ditanya oleh Fudhail bin Iyadh, "Engkau selalu
mengajari kami untuk zuhud terhadap dunia, tetapi aku lihat engkau sibuk
berdagang di pasar-pasar."
Abdullah
bin al-Mubarak menjawab bahwa dia bersemangat berdagang karena ingin menanggung
nafkah ulama-ulama ahli hadits, agar para ulama tersebut tetap fokus mengajar
ilmu hadits dan tidak sibuk bekerja. Alasannya, kalau mereka sibuk bekerja,
mereka tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk mengajarkan hadits."
(Kisah itu disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A'alam
an-Nubala', pada biografi Abdullah bin al-Mubarak)
Lihatlah
betapa indahnya cita-cita ini, dan betapa Allah Ta'ala membuktikan janjinya.
Beliau rahimahullah justru sukses dalam berdagang, menjadi pengusaha kaya,
namun tetap zuhud terhadap dunia, yaitu tidak meletakkan dunia di hatinya.
Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Beliau mengerti hakikat kehidupan dunia yang
fana, dunia hanya wasilah untuk kebahagiaan akhirat.
Contoh
motivasi lain adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam (yang artinya), "Wajib atas setiap muslim untuk
bersedekah." Dikatakan kepada beliau, "Bagaimana bila ia tidak
mampu?" Beliau menjawab, "Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga
ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan (dengannya ia dapat)
bersedekah." (Muttafaqun 'alaih)
Lihatlah,
betapa motivasi untuk bekerja hanya karena ingin bersedekah, karena sedekah itu
wajib. Sehingga, setelah para sahabat mendengar hadits ini, mereka langsung
pergi ke pasar-pasar mencari kerja, meskipun sekadar menjadi kuli angkat barang
di punggungnya, hanya untuk mendapatkan upah dan dengan upah itu mereka dapat
bersedekah.
Banyak
dalil yang menerangkan janji-janji Allah Ta'ala kepada orang-orang yang
berorientasi akhirat, bahwa orang yang berorientasi akhirat akan sukses dunia
dan akhiratnya.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
"Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, beribadahlah
sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dadamu
dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya
Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada
manusia).'" (Hr. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim)
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa
yang menjadikan kegelisahan, kegundahan, cita-cita, dan tujuannya hanya satu,
yaitu akhirat, maka Allah akan mencukupi semua keinginannya. Barangsiapa yang
keinginan dan cita-citanya bercerai-berai kepada keadaan-keadaan dunia, materi
duniawi, yang dipikirkan hanya itu saja, maka Allah tidak akan peduli di lembah
mana dia binasa." (Hr. Ibnu Majah; sanadnya hasan)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa
yang obsesinya adalah akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya
akhirat, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kecukupan di
hatinya, Allah mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia dalam
keadaan dunia itu hina. Barangsiapa yang obsesinya adalah dunia, tujuannya
dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara:
Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan
urusannya, dan dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia
saja." (Hr. At-Tirmidzi dan lain-lain; hadits shahih)
Nah,
masihkah kita ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala di atas? Apakah itu cuma
dongeng di siang bolong? Siapakah yang paling mampu menepati janjinya? Sungguh
sayang, banyak dari kita yang masih ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala, dan
ikut yakin dengan pameo ini, "Zaman ini zaman edan, kalau tidak ikut arus,
bagaimana kita bisa dapat rezeki?", atau "Yang haram saja susah,
apalagi yang halal." Maka, jadilah suap-menyuap menjadi keseharian kita,
tanpa ada lagi beban, tanpa merasa berdosa, berdusta saat jual-beli menjadi hal
yang wajar, dan seterusnya....
Bagaimana
mungkin karunia Allah Ta'ala, berupa rezeki, dapat diraih dengan maksiat?
Mungkin rezeki itu akan didapat, tetapi rezeki itu tidak akan memiliki berkah.
Justru, rezeki tersebut akan membawa petaka, istri dibawa lari orang, anak
berzina, kita sendiri terkena penyakit strok dan merana seorang diri di rumah
sakit jiwa. Akhir yang buruk, yang tidak satu pun dari kita menginginkannya.
Perhatikan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini,
"Janganlah
kamu merasa bahwa rezekimu datangnya terlambat, karena sesungguhnya tidaklah
seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir
(yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari
rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram."
(Hr. Abdur Razaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)
"Sesungguhnya,
Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan
wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu, hendaklah kamu
bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencarianmu. Apabila datangnya
rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada
Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan
kepada-Nya." (Hr. Abu Dzar dan al-Hakim)
Dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena
sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya
disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka,
bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah
yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu
Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Hendaklah
kita perhatikan hadits-hadits di atas. Kita diperintahkan untuk berusaha,
bersungguh-sungguh, bekerja, memperbaiki mata pencarian, meninggalkan yang
haram, dan kita diperintahkan untuk bertakwa. Rezeki yang ada di langit (dari
Allah) bukan dicari dengan cara maksiat kepada-Nya. Namun, kita diperintahkan
untuk bersungguh-sungguh bekerja, memperbaiki cara mencari rezeki, dan
bertakwa.
Ada
satu pengalaman pribadi yang menarik, sebagai pembuktian hadits-hadits di atas,
yaitu bahwa seseorang tidak akan mati hingga seluruh rezekinya diterima.
Kejadiannya terjadi pada ayah saya, yaitu setelah operasi jantung beliau
mengalami komplikasi, dan sempat dirawat di ruang ICU selama 30 hari.
Beliau
sempat berada dalam kondisi koma selama 2 minggu, setelah itu sadar dan meminta
es krim. Dokter mengizinkan saya untuk memberikan es krim tersebut. Setelah
habis dimakannya, beliau koma lagi selama dua hari, dan akhirnya meninggal
dunia.
Kalau
diilustrasikan secara sederhana dari kejadian ini, seolah-olah para malaikat
menginventaris kembali rezeki yang harus diterima ayah saya, ternyata ada satu
yang tertinggal, yaitu es krim. Maka, ayah saya dibangunkan, diberi es krim,
kemudian nyawanya dicabut setelah seluruh rezekinya diterima. Benar sekali,
seseorang tidak akan mati sebelum rezekinya dia terima dengan sempurna.
Kejadian
ini membuat saya bertambah yakin dengan firman Allah Ta'ala dan sabda Nabi-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam di atas.
Masih
ada lagi yang bertanya, "Untuk apa kita berusaha kalau rezeki sudah
ditentukan?" Jangankan kita, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pun bertanya hal yang sama.
Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat
duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang
berkata, “Kalau begitu, kami bersandar saja (tidak beramal, pent), wahai
Rasulullah?”
Maka,
beliau pun menjawab, “Jangan demikian. Beramallah kalian, karena setiap orang
akan dimudahkan.” Kemudian, beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang
yang mau berderma dan bertakwa, serta membenarkan al-husna (surga), maka kami
siapkan baginya jalan yang mudah.” (Qs. al-Lail: 5-7). (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Inilah
nasihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, untuk tidak
bertopang dagu, serta supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak
menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Kita
pasti akan dimudahkan menuju takdir kita, selama kita mengikuti firman Allah
Ta'ala dalam surat al-Lail ayat 5 hingga 7 tersebut.
Terakhir,
marilah kita renungkan firman Allah Ta'ala berikut ini,
"Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. An-Nahl: 97)
Lihatlah,
bahwa jika kita ingin hidup bahagia dengan mendapatkan semua kebaikan (karena
ayat tersebut tidak membatasi kebaikan apa, maka ulama menerangkan bahwa yang
dimaksud adalah semua kebaikan, baik rezeki, kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan
lain-lain), maka caranya adalah dengan beramal shalih, dalam keadaan beriman.
Bagaimana
kita bisa beriman dan beramal shalih? Mari kita pelajari al-Quran dan mengikuti
petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman yang
benar. Insya Allah kita akan selamat.
Wallahu
a'alam.
***
Penulis:
Fadil Fuad Basymeleh
Penulis
adalah owner Zahir Accounting dan ketua Yayasan Bina Pengusaha Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar