Cinta kepada Allah swt berarti beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-Nya.
“Cinta Allah dapat diraih
dengan menunaikan hak-hakNya dan demikian juga cinta manusia dapat diraih
dengan menunaikan hak-haknya dan memperlakukan mereka secara adil dan baik.
Mendapat cinta Allah adalah tujuan utama seorang hamba dalam hidupnya, maka
wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hal-hal yang mendatangkan kecintaan
Allah.” (Dr. ‘Aidh bin ‘Abdullah Al Qarni)
“Paling kuat tali hubungan
keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (Hadits
Riwayat Ath-Thabrani)
Ada satu syarat penting untuk meraih cinta Allah, yakni kita harus
mengikuti sunnah Rasulullah. Kita harus memahami dan mengikuti jejak
langkah-langkah beliau meraih cinta abadinya, yakni Allah ‘azza wazalla.
Sehingga Allah pun telah menjadikan beliau sebagai kekasih-Nya. Habibullah.
Oleh
karena itu cinta kepada Allah berarti mesti cinta kepada Muhammad, Rasulullah.
Allah yang Maha Kasih berfirman:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu
mencintai Allah SWT maka ikutilah aku. Niscaya Allah SWT mencintai kamu serta
mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Ali
‘Imran: 31)
Setiap
Muslim pasti bercita-cita untuk mendapatkan cinta Allah. Sebab bila kita sudah
menjadi kekasih-Nya, seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi bisa kita gapai
dengan mudah. Persoalannya, bagaimana agar cita-cita tersebut menjadi
kenyataan?
Sesungguhnya
banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menggapai cinta-Nya, namun karena
keterbatasan lahan, saya akan membahas yang pokoknya saja.
Pertama, membaca,
memahami, dan mengamalkan Al Qur’an. Cara ini akan melahirkan cinta dan
kerinduan kepada-Nya, syukur dan sabar, tawadhu (rendah hati) dan
khusyu, serta seluruh sifat yang bisa mengantarkan pada cinta dan
ridha-Nya. (Ibnu Rajab,Ikhtiyaar Al-Uula, hal 114)
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami (Allah)
turunkan kepadamu, yang di dalamnya penuh berkah, supaya mereka memperhatikan
ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang mau menggunakan
akalnya”. (Q.S. Shaad [38] : 29).
Al Qur’an
adalah kitab suci yang harus difahami, bukan sekedar dibaca. Fakta menunjukkan,
banyak yang rajin membaca Al Qur’an tapi tidak faham isinya, sehingga tidak
bersemangat untuk mengamalkannya. Untuk itu, biasakan juga membaca
terjemahannya untuk membantu pemahaman.
Pengalaman menunjukkan, awalnya memang agak
susah mencerna maksud terjemahan Qur’an, namun kalau kita sering membacanya,
lama kelamaan akan mudah memahaminya. Sebenarnya ini berlaku untuk semua ilmu,
kalau kita tidak pernah membaca buku-buku psikologi misalnya, akan susah
mencerna isinya, tapi kalau sudah sering, insya Allah kesulitan
ini bisa diatasi.
Saat membaca Al Qur’an, para sahabat
mengutamakan pemahaman dan implemantasi / pengamalan. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Kebiasaan
kami, jika mempelajari sepuluh ayat Al Qur’an, kami tidak akan melampauinya
sebelum kami memahami secara benar maknanya dan mengamalkannya”. (HR.
Athabari dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih).
Sementara kita, lebih mengutamakan khatam (tamat) ketimbang faham. Alangkah indahnya kalau kita sering khatam dan faham serta implementatif. Setelah faham, langsung diaplikasikan dalam kehidupan.
Sementara kita, lebih mengutamakan khatam (tamat) ketimbang faham. Alangkah indahnya kalau kita sering khatam dan faham serta implementatif. Setelah faham, langsung diaplikasikan dalam kehidupan.
Anas r.a. mengatakan, “Abu Thalhah r.a., seorang shahabat dari kaum Anshar di Madinah adalah orang yang banyak
hartanya, di antara harta yang paling disenanginya adalah kebun kurma yang
menghadap ke masjid, bahkan Rasulullah saw. pun pernah singgah di kebun itu.
Ketika turun firman Allah yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak akan
sampai kepada kebajikan sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu
cintai” (QS. Ali Imran [3] : 92),
Abu Thalhah bergegas menemui Rasulullah saw
seraya berkata, “Ya Rasulullah, sungguh aku telah faham ayat itu, maka harta
yang paling aku cintai adalah kebun kurma yang menghadap ke masjid. Untuk itu
saksikanlah, demi Allah aku sedekahkan kebun itu untuk mendapatkan pahala di sisi-Nya.
Maka silakan Ya Rasulullah bagikan sebagaimana Allah telah mengajarkannya
kepadamu.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Kalau kita bagaimana?
Kedua, mendekatkan
diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunah setelah melaksanakan yang wajib. (Ibnul Qayyim, Madaarijus Saalikiin, jilid 3, hal 13)
Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “. . . Tidak ada amalan yang paling Aku cintai dari hamba-Ku
kecuali apa yang telah diwajibkan kepadanya. Dan Aku mencintai hamba-Ku yang
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah . . .” (H.R. Bukhari).
Menurut riwayat ini, ada dua hal yang
menyebabkan Allah mencintai kita.
Pertama, konsisten melaksanakan ibadah-ibadah fardu/wajib, seperti shalat lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji kalau sudah mampu, dll.
Kedua, melaksanakan amalan-amalan sunah, seperti shalat rawatib, tahajud, dhuha, shaum Senin-Kamis, dll. Ibadah-ibadah ini akan menjadi pupuk bagi hati kita sehingga tetap hidup dan subur.
Pertama, konsisten melaksanakan ibadah-ibadah fardu/wajib, seperti shalat lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji kalau sudah mampu, dll.
Kedua, melaksanakan amalan-amalan sunah, seperti shalat rawatib, tahajud, dhuha, shaum Senin-Kamis, dll. Ibadah-ibadah ini akan menjadi pupuk bagi hati kita sehingga tetap hidup dan subur.
Allah swt. akan merespon taqarrub (pendekatan diri) kita dua kali lipat dari apa yang kita lakukan. Rasulullah
saw. pernah bersabda melalui hadits qudsinya, Allah swt. berfirman:“Jika ia
(manusia) bertaqarrub kepada-Ku satu jengkal, Aku akan mendekat kepadanya
satu hasta. Jika ia bertaqarrub kepada-Ku satu hasta, Aku mendekat kepada-Nya
satu depa. Dan apabila ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya
dengan berlari.” (H.R.Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim,
At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Jadi,
kalau kita memberi satu cinta kepada Allah, Dia akan memberi dua cinta kepada
kita. Kalau kita memberi tiga cinta, maka Allah akan memberi empat cinta,
demikian seterusnya. Karena itu, dekatkanlah diri kepada-Nya dengan
ibadah-ibadah sunah setelah kita melaksanakan yang wajib, pasti Dia akan
mencintai kita.
Ketiga, memperbanyak
dzikir, baik dengan lisan ataupun perbuatan.
Allah swt. memerintahkan untuk memperbanyak
dzikir dalam setiap kesempatan,
“Dan dzikirlah (ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al Jumu’ah
[62] : 10).
Ada dua macam dzikir, muqayyad dan muthlaq.
Dzikir Muqayyad adalah
dzikir yang jenis dan jumlahnya telah ditetapkan Rasulullah saw. seperti dzikir
setelah shalat fardhu (wajib) membaca Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu
Akbar masing-masing 33 kali. Karena Rasulullah telah menetapkan jenis
dan jumlahnya, kita tidak boleh menambahi atau menguranginya.
Dzikir muthlaq adalah dzikir yang
jenis dan jumlahnya tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw., namun disesuaikan
pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Misalnya saat menghadapi ujian kita
agak gelisah, nah kita bisa berdzikir apa saja sesuai kemauan, bisa baca astaghfirullah,
subhanallah, alhamdulillah, dll. Jumlahnya pun terserah kita, berapa
saja boleh.
Allah swt. akan mencintai hamba-Nya yang selalu
menyertakan dzikir dalam seluruh aktifitas kesehariannya. Mendapat kebahagiaan
mengucapkan alhamdulillah, tertimpa musibah mengucapkan innalillahi
wa inna ilaihi raaji’un, melihat kemaksiatan mengucapkan astaghfirullah,
memulai perbuatan baik mengucapkan bismillah, melihat sesuatu yang
mengagumkan mengucapkan subhanallah, dll. Ini indikator bahwa
kita selalu mengingat-Nya, sehingga Allah swt. pun akan mengingat kita.
“Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku
akan mengingat pula kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu
mengingkari nikmat-Ku (Q.S. Al Baqarah [2] : 152).
Allah swt. akan menyertai orang-orang yang
selalu berdzikir kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi, “Aku
adalah menurut persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya ketika ia
menyebut-Ku. Jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku menyebutnya dalam
diri-Ku. Ketika ia menyebut-Ku ditengah-tengah sekelompok orang, maka Aku
menyebutnya ditengah-tengah kelompok yang lebih baik dari mereka (kelompok
malaikat).”
(H.R.Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim,
At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya
Allah swt. berfirman: Aku bersama hamba-Ku selama ia mengingat-Ku, dan selama
kedua bibirnya masih bergerak menyebut nama-Ku.” (H.R. Ahmad,
Bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
Dzikir jangan diartikan sempit ( sekedar dengan
lisan ), tapi juga harus tercermin dalam perbuatan. Kalau kita berbisnis,
bekerja, belajar, dll. dengan berpegang teguh pada nilai-nilai kebanaran dan
kejujuran, ini juga disebut dzikir. Allah swt. menyebutkan ciri-ciri orang yang
dincintai-Nya, “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk,
dalam keadaan berbaring…” (QS. Ali Imran [3] : 191).
Ini yang dimaksud dzikir dalam perbuatan atau
aktivitas.
Apabila ketiga hal di atas dilaksanakan, yakni
memahami Qur’an, meningkatkan amaliah wajib dan sunah, serta selalu dzikir
dengan ucapan dan perbuatan, insya Allah kita akan menjadi kekasih-Nya,
dan kita akan rindu bertemu dengan-Nya, “Barangsiapa yang mendambakan
bertemu dengan Allah, Allah pun mendambakan bertemu dengannya. Dan barangsiapa
yang benci bertemu dengan Allah, Allah pun akan merasa benci bertemu
dengannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Ad-Darimi, dan Nasa’i).
Realisasikan cinta dan rindu kita kepada-Nya
dengan cara mengerjakan apa yang Allah cintai, meskipun diri kita sangat
membenci dan menolak perbuatan tersebut, serta tinggalkan apa yang Allah benci,
meski sebenarnya kita sangat mencintai dan menginginkannya. Semoga kita diberi
kekuatan untuk bisa meraih cinta-Nya. Amiin.Wallahu A’lam ■
Oleh : Ustadz Aam Amiruddin
Sumber : Bedah Masalah,
Majalah Percikan Iman, No. 5 Th. II Mei 2001 / Shafar 1422H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar