Ketika
menjawab surat yang ditulis oleh muridnya, sang Hujjah al-Islam, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali menyelipkan kisah berupa pelajaran hidup yang
diperoleh oleh Hatim al-Asham.
Syahdan, Hatim al-Asham ditanya oleh sahabatnya
mengenai pelajaran penting apa yang telah didapat setelah bersahabat selama
tiga puluh tahun. Dikisahkan bahwa Hatim memperoleh delapan pokok pelajaran
yang dapat dipetik dalam perjalanan panjang hidupnya itu dan ia berharap dapat
menyelamatkannya.
Kedelapan pelajaran kehidupan tersebut adalah sebagai
berikut.
Pertama, Hatim melihat bahwa setiap
orang mempunyai orang yang dikasihi dan sebagian dari mereka menemani dan
mengantar sampai sakaratul maut, sebagian lagi sampai ke liang kubur. Namun
tidak ada yang mau mengantar dan menemani masuk dan menetap di kubur. Akhirnya,
Hatim pun merenung bahwa teman yang dapat mengantar dan menemani dalam kubur
hanya amal shalih. Akhirnya Hatim menjadikan amal shalih sebagai kekasihnya
karena ia akan selalu menghibur dan tidak akan meninggalkannya seorang diri
dalam kubur dan perjalanan selanjutnya.
Kedua, Hatim memperhatikan bahwa orang
selalu menuruti hawa nafsunya. Namun firman Allah menyatakan bahwa ‘Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal[-nya].’ QS.
An-Nazi’at 40-41. Karena sangat menyakini Al Qur’an adalah haq dan benar maka
Hatim senantiasa tidak mengikuti hawa nafsu, menempa, dan tidak menuruti
kesenangannya dan hanya menaati aturan Allah SWT.
Ketiga, Hatim melihat orang cenderung
menumpuk harta, menggenggam erat, padahal ada firman-Nya ‘Apa yang berada di
sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.’ QS. An-Nahl
96. Akhirnya ia membagi-bagi hartanya pada orang miskin, dan berharap justru
harta tersebut dapat menjadi bekalnya.
Keempat, banyak orang mengira bahwa
kehormatan dan kemuliaan terletak pada harta, pangkat, keturunan yang bisa
dibanggakan. Hal itu sering mendorong mereka memperoleh dengan segala cara,
misalnya mencuru, menzalimi orang lain. Padahal firman-Nya ‘Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu.’ QS. Al-Hujurat 13. Karena itu, Hatim memilih taqwa sebagai
perkara yang penting dan patut dikejar.
Kelima, Hatim melihat orang saling
mencela, memggunjing. Hal itu dipengaruhi dengki karena kedudukan, harta dan
pengetahuan. Padahal firman-Nya ‘Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.’ QS. Az-Zukhruf 32. Dari firmanAllah
tersebut, Hatim menyakini bahwa pembagian untuk setiap manusia sudah ditentukan
Allah sejak zaman azali.
Keenam, Hatim melihat manusia saling
memusuhi karena sebab tertentu. Padahal firman-Nya, ‘Sesungguhnya setan itu
adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh[mu]. QS. Fathir 6. Oleh karena itu
Hatim menyakini hanya setan yang boleh dimusuhi.
Ketujuh, Dilihatnya orang
sungguh-sungguh bahkan penuh kepayahan mencari sesuap nasi. Namun firman-Nya,
‘Dan tidak ada satupun binatang melata di bumi ini melainkan Allah-lah yang
menanggung atas rezekinya.’ QS. Hud 6. Maka Hatim pun memilih sibuk beribadah
daripada berharap pada selain-Nya.
Kedelapan, Banyak orang menggantungkan
diri pada makhluk, uang, harta, kekuasaan, profesi, industri atau pada sesame
makhluk. Namun firman Allah, ‘Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang[dikehendaki]-Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.’ QS
Ath-Thalaq 3.
Akhirnya Hatim pun bertawakkal hanya kepada Allah, karena Dia
yang mencukupi dan melindungi.
Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaqiq
mendengar penjelasan Hatim ini adalah ‘Semoga Allah menolongmu dengan
taufiq-Nya, aku telah mengkaji Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an dan inti
keempatnya mencakup delapan perkara tersebut.’ Bermakna, Hatim telah
mengamalkan kandungan empat kitab suci tersebut.
Sumber, buku Prinsip-prinsip menapaki
jalan spiritual Islam, Wasiat terakhir sang hujjatul Islam untuk murid
kesayangannya. Judul Asli Ayyuha al-walad, fi Nashihah al-Muta’allimiin wa
Mau’idhatihim Liya’lamu wa Yumayyizu ‘Ilman Nafi’an min Ghairihi, diterjemahkan
oleh Huhammad Hilal. Yogyakarta, Diamond. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar