1. Jangan mengejar yang sudah ditetapkan
“Kesungguhan
mengejar apa yang sudah dijamin untukmu (oleh Allah) dan kelalaianmu
melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, itu merupakan tanda butanya bashirah
(mata batin).”
Note: Rezeki merupakan salah satu
perkara yang selalu dikejar-kejar padahal telah ditetapkan bagi seluruh
makhluk-Nya. Tugas hamba hanya bertawakal namun tetap mengerjakan dengan
sebaik-baiknya.
2. Tertundanya pengabulan doa
“Terlambatnya
pemberian Allah, walaupun dimohon berkali-kali, jangan membuat putus asa. Dia
telah menjamin untuk men gabulkan permintaanmu seperti apa yang Dia pilihkan
bukan menurut pilihanmu. Dia tetapkan waktunya bukan waktu yang engkau
inginkan.”
3. Allah lebih dekat
“Alangkah mengherankan, bagaimana
mungkin keberadaan sesuatu yang pasti ada (Allah) bisa terhalang oleh sesuatu
yang (sebelumnya) tidak ada (makhluk)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru
(makhluk) dapat bersama dengan Zat yang memiliki sifat Qidam (tidak
berpermulaan)?”
4. Dosa, di antara keadilan dan karunia-Nya
“Tidak ada dosa kecil apabila
dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar apabila dihadapkan pada
karunia-Nya.”
Note: hati-hati dengan dosa kecil
apalagi kalau dilakukan terus-menerus, karena Allah yang maha adil, segera
berhenti dan bertaubat. Dosa yang besar bisa jadi diampunkan karena keagungan
karunia-Nya.
5. Ta'at karena karunia-Nya
“Janganlah ketaatanmu kepada Allah
membuatmu gembira karena merasa mampu melakukannya. Tetapi bergembiralah
kepada-Nya karena ketaatan itu terjadi karena karunia Allah kepadamu.
Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya
itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58)”.
6. Kesempitan dan kelapangan, Allah yang mengatur
“Allah
melapangkan keadaanmu, agar engkau tidak selalu dalam kesempitan. Dan Allah
menyempitkan keadaanmu, agar engkau tidak selalu dalam kelapangan. Dan Dia
melepaskanmu dari keduanya, agar engkau tidak bergantung dari selain-Nya.”
7. Balasan utamanya di akherat
“Sesungguh
Allah menjadikan negeri akherat sebagai tempat untuk membalas para hamba-Nya
yang beriman, karena negeri ini (dunia) tidak mampu menampung apa yang hendak
Dia berikan kepada mereka, karena Allah hendak memuliakan mereka dengan tidak
memberikan balasan di dunia yang tidak kekal.”
8. Hikmah pemberian dan Penolakan Allah
“Bisa jadi Allah memberimu, padahal itu
menolakmu. Dan bisa jadi pula Dia menolakmu, padahal dia memberimu.’
Note; Apabila Allah ta’ala menolak permohonanmu, maka sesungguhnya dia telah memberimu, itu bila bila kita memahami makna pemberian Allah. Pemberian yang lebih besar maknanya dari sekedar yang kita minta adalah dapat mengenal-Nya dan mengetahui serta merasakan hikmah. Maknanya, semua yang dapat menambah ma’rifat bagi seorang salik merupakan pemberian yang sangat berharga.
9. Peran nafsu kala lapang dan sempit
“Dikala lapang, nafsu bisa mengambil
peranan melalui rasa gembira. Sedangkan dikala sempit nafsu tidak mampu
berperan apa-apa.’
10. Permohonan hamba dan Keputusan Allah
“Bagaimana mungkin permohonanmu yang
datang belakangan menjadi sebab bagi pemberian Allah yang telah jauh hari
diputuskan?”
11. Jangan merasa tawadhu’
“Siapa yang merasa dirinya tawadhu’,
berarti ia orang yang takabur. Sebab anggapan diri tawadhu’ tidak akan muncul
kecuali dari sikap tinggi hati. Maka, saat engkau menyandang keagungan (tinggi
hati) itu pada diri, berarti engkau benar-benar orang yang sombong.”
12. Bergantung hanya kepada Allah semata
“Salah satu tanda bergantungnya seseorang pada
amalnya adalah kurangnya raja’ (harapan pada rahmat Allah) tatkala ia mengalami
kegagalan (dosa).”
Note:
Seberapa baik dan banyaknya amalan yang dilakukan seseorang, tidak sepantasnya
ia bergantung pada apa yang telah dilakukannya itu karena sejatinya amalan itu
juga berlaku karena kehendakNya. Bagaimanapun juga amalan itu masih tetap belum
mampu memenuhi apa yang menjadi hak Allah. Oleh karena itu seseorang disarankan
tetap raja’.
Sumber:
Judul terjemahan Kitab Al Hikam,
Petuah-petuah agung sang guru.
penerjemah Dr. Ismail Ba’adillah.
Jakarta,
Katulistiwa press, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar