Penempaan
jiwa lewat dzikir yang kontinyu dapat menghasilkan pribadi yang tangguh dalam
menghadapi berbagai persoalan, tidak mudah putus asa, tidak bangga atas apa
yang ia dapatkan dari karunia Allah.
Pelaksanaan
dzikir, sholat, membaca Al-Quran di setiap moment pengajian adalah dalam rangka
meningkatkan keimanan, membangun kualitas aqidah, sehingga ketika ia menjalani
aktivitas kehidupan benar-benar dalam kendali atau bimbingan Allah SWT. Ia
terhindar dari kondisi error (stress kejiwaan) yang menyebabkan ia keluar dari
aturan main yang Allah dan Rasul tetapkan.
Ibadah manusia berbeda dengan ibadah para malaikat. Ibadah para malaikat bersifat monoton (tertentu). Ada malaikat yang bertugas memikul (menggendong) ‘arasy, sejak diciptakan hingga sekarang tetap demikian. Tidak ada program lainnya. Ada malaikat yang bertugas menurunkan hujan, tidak akan menghadapi problem seperti yang dihadapi oleh manusia.
Ketaatan manusia dalam beribadah diuji oleh Allah dalam kehidupan ini. Allah hamparkan serba-serbi kehidupan di hadapan manusia agar dapat dilihat sejauh mana ketaatannya kepada-Nya. Ada rencana atau cita-cita manusia ke depan yang sudah dirancang begitu matang, tapi statusnya tetap abu-abu (belum pasti) dan tidak ada dalam genggamannya. Dengan problem yang bervariasi inilah manusia dengan segala godaan dituntut mewujudkan ketaatannya kepada Allah.
Jadi, tidak ada prinsip bahwa jika seseorang sudah menjadi murid atau jama’ah Al-Idrisiyyah ia akan mendapatkan kehidupan yang tenang, rizki datang dengan mudahnya seperti air mengalir, urusan keluarga mudah diatur. Justru kita akan semakin diuji oleh Allah jika kita semakin dekat kepada-Nya.
Kita perhatikan
bagaimana para Nabi terdahulu diuji dengan problematika hidup yang luar biasa
hebatnya.
Bagaimana seorang Nabi Ibrahim yang diberi gelar Khalilullah disuruh meninggalkan istrinya. Padahal ketika itu istrinya yang bernama siti Hajar baru saja melahirkan. Kedua istri Nabi Ibrahim ini terlihat kurang akur. Siti Sarah di Palestin, sedangkan Siti Hajar di Mekah. Beliau meninggalkan keduanya karena masalah yang ada pada keduanya. Bukankah dengan posisinya sebagai Nabi yang biasa menerima wahyu, Beliau bisa memohon agar ia dapat terhindar dari masalah itu? Atau mengharapkan ‘Kun Fayakun’ Allah atas apa yang dideritanya?
Bagaimana seorang Nabi Ibrahim yang diberi gelar Khalilullah disuruh meninggalkan istrinya. Padahal ketika itu istrinya yang bernama siti Hajar baru saja melahirkan. Kedua istri Nabi Ibrahim ini terlihat kurang akur. Siti Sarah di Palestin, sedangkan Siti Hajar di Mekah. Beliau meninggalkan keduanya karena masalah yang ada pada keduanya. Bukankah dengan posisinya sebagai Nabi yang biasa menerima wahyu, Beliau bisa memohon agar ia dapat terhindar dari masalah itu? Atau mengharapkan ‘Kun Fayakun’ Allah atas apa yang dideritanya?
Itulah
ibadah seorang manusia. Dan ini merupakan sebuah renungan bagi kita semua. Nabi
Ibrahim yang menerima wahyu saja diberikan problem kehidupan yang mesti Beliau
hadapi sendiri. Maka, sebagai seorang murid yang sedang belajar mendirikan
ibadah kepada Allah janganlah mengharapkan keajaiban atau sesuatu hal yang
aneh-aneh atas apa yang ia amalkan.
Nama Mekkah diambil
dari kata ‘Bakkah’, sebagaimana diungkap dalam Al-Quran istilah ini,
“Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” . (Q.S. Qli Imran [3]:
96)
Waktu itu ketika Siti
Hajar selesai melahirkan, ia memanggil-manggil suaminya. Namun Nabi Ibrahim
(karena perintah Allah) meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi itu.
Beliau memiliki perasan yang sama sebagai manusia, bagaimana bisa menahan air
mata menyaksikan istri yang ia sangat sayangi memanggil-manggil dan anak yang
ia nanti-nanti kemunculannya ia tinggalkan. Derai air mata yang meliputi
suasana haru dan duka di antara keduanya tersebut melahirkan istilah ‘Bakkah’
yakni tempat tangisan.
Kalau sekarang, orang
berhaji dan umrah sudah merasa nyaman, tersedia penginapan, makanan dan minuman
yang cukup, bahkan sudah ada AC pendingin ruangan. Kalau dahulu, Nabi Ibrahim
meninggalkan Siti Hajar dan anaknya di suatu lembah yang tandus (biwaadin
ghoyr zar’in) tanpa ada makanan dan minuman sedikitpun. Bagaimana tega
seorang suami meninggalkan anak dan istri tanpa perbekalan? Dan bagaimana
menderitanya Siti Hajar yang ditinggalkan suaminya di saat-saat ia sedang
membutuhkannya?
Siti Hajar saat
berada di antara bukit Shafa dan Marwa mencari air di saat terik matahari yang
begitu panas. Saat itu ia begitu was-was karena ia memperhatikan bayinya yang
sedang kehausan. Sebentar-sebentar ia tengok anaknya. Dilihatnya seperti ada
air yang menggenang di kejauhan. Begitu didatangi ternyata tidak ada, hanya
fatamorgana. Lalu ia kembali lagi kepada bayinya. Ia begitu panik dengan
kondisi seperti itu.
Sepintas
Allah seperti menyiksa, padahal tidak. Allah ingin melihat sejauh mana ibadah
manusia dengan berbagai bentuk ujian yang telah Allah persiapkan melalui media
kehidupan ini.[1] Yang ingin Allah lihat atas manusia itu
adalah ketundukan dan kepasrahannya kepada perintah-Nya. Lika-liku kehidupan
yang dihadapi itulah yang akan menjadi penilaian-Nya. Jadi, Allah ingin melihat
apakah manusia itu tunduk, ridha atau belajar sabar atas perintah-Nya.
Kita
lihat pelajaran dari kehidupan para Nabi, mereka tidak memanfaatkan
mukjizat untuk jalan pintas berbagai masalah, agar istrinya jadi tunduk,
rizki tiba-tiba ada, segala masalah jadi beres, dsb.
Selama
hidup di dunia ini Allah senantiasa menguji hamba dengan hidup dan kehidupan.
Maka kita jalani hidup ini dengan kendali yang ditetapkan-Nya.
Kita
belajar mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak dzikir, tadarus,
melaksanakan sholat-sholat sunnat. Kita sisihkan waktu kita untuk bertaqarub
kepada-Nya. Capeknya kita bergelut dengan makhluk, keluarga, kawan bisnis
selama beberapa hari yang lalu semoga menjadi amal ibadah di sisi-Nya.
Dengan
sholat dan dzikir pada malam Ahad (Jakarta) atau malam Jum’at (Tasikmalaya)
kita bangun komunikasi dengan Allah. Allah Yang Indah sebagai sandaran
cita-cita, Allah Yang Kaya sebagai sandaran keinginan. Dia-lah tempat kita
bergantung, memohon, mengadu berbagai persoalan.
Sebagai
manusia kita mesti memaksimalkan usaha di samping do’a. Karena demikianlah yang
Allah janjikan kepada para kekasih-Nya, Nabi dan Shalihin. Mereka menemukan
jalan setelah mengalami kesulitan.
Bagaimana
terpuruknya kondisi orang-orang yang tidak berada di dalam bimbingan Allah
mengatur kehidupan yang semakin rumit saat ini. Mulai dari mengurus anak,
mencari rizki, hidup bermasyarakat, berumah tangga, dan sebagainya. Hidup saat
ini akan terasa jelimet (rumit) dan membuat capek berbagai urusan.
Jika
kita tidak dibimbing oleh Allah maka nasib kita akan sama. Kita dilindas oleh waktu.
Umur kita tidak terasa berkurangnya. Tahu-tahu sudah berumur 45, 60 atau 70
tahun. Kalau umur kita sudah 45 tahun, berapa sisa umur kita? Kalau kita tengok
masa lalu, sepertinya baru kemarin kita bermain layang-layang, masih segar
ingatan saat kita masih kecil, sekolah, dan lainnya.
Jika
jatah umur tinggal 18 tahun lagi target dunia apa lagi yang mau kita raih. Jika
usia sudah 62 tahun tapi target kehidupan belum tercapai, jangan-jangan kita
sudah keburu dipanggil (Allah). Atau di usia 62 tahun target dunia sudah
tercapai, berarti jika usia kita ditetapkan 63 tahun, hanya satu tahun saja
kita menikmatinya.
Jika
kita tidak dijanjikan oleh Allah akan ada hari pembalasan, negeri yang abadi,
maka hidup itu terasa rugi sekali. Karena umur kita pendek, dan problem semakin
menumpuk. Belum tercapai taget sudah meninggal, sudah tercapai target satu atau
dua tahun sudahmeninggal. Dan banyak pula orang yang sudah meninggal sebelum
tercapai target duniawinya.
Kalau
boleh memohon, lebih baik tidak terlahir ke dunia ini kalau kenyataan hidup
hanya seperti itu. Kalau hidupnya 1.000 tahun mungkin lebih terasa lama
menikmatinya. Tapi usia manusia di zaman sekarang pendek-pendek. Belum lagi
ditambah dengan banyaknya penyakit baru.
Ada
yang masih muda sudah terkena penyakit kronis, seperti jantung, paru, diabetes,
stroke. Maka kesempatan mewujudkan target duniawi dan menikmati hasilnya pun
semakin berkurang.
Oleh
karenanya Allah dan Rasul-Nya mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah permainan
dan bersifat sementara saja. Maka timbullah semangat lagi dan harapan
yang besar atas apa yang sedang dijalaninya.
Di
sinilah pentingnya membangun keimanan agar menimbulkan semangat baru untuk
mengharapkan kehidupan yang abadi. Supaya apa yang diusahakannya di dunia ini
menjadi ibadah. Allah melihat apa yang kita usahakan. Allah menghitung tetes
keringat dan jerih payah yang kita upayakan. Maka semangat kita termotivasi
kembali.
Kita
mesti mendapatkan semangat dan harapan yang sebenarnya dalam hidup ini. Titik
kulminasi kehidupan dunia yang sementara ini tidak bisa diharapkan, yang ada
adalah titik balik kemunduran, penyusutan dan kehancuran. Yang kita fokuskan
adalah kehidupan akhirat.
Jika
tidak mau memandang Hari akhir, maka lihatlah pemiliknya, Allah ‘Azza wa
Jalla. Apalah syurga, yang penting Allah! Begitulah yang diungkapkan
Rabi’ah al-Adawiyyah. Suatu saat nanti syurga tidak akan dilirik ketika Wajah
Allah ditampakkan kepada ahli syurga. Seperti tirai yang dibuka. Yang terhijab
selama hidup di dunia menjadi nyata, seperti kita baru bangun dari tidur. Pada
saat tirai dibuka ruhani kita sudah dipersiapkan agar mampu melihat-Nya.
Para
Wali Allah sudah tidak memikirkan syurga, tapi mereka rindu dan mendamba bersua
dengan Pemilik-Nya yakni Allah ‘Azza wa Jalla. Bagi yang awam, syurga masih
merupakan iming-iming baginya.
Allah
mengilustrasikan kenikmatan syurga dengan hiasan fasilitas keindahan berupa
sungai mengalir, kebun-kebun atau taman-taman. Sebab orang-orang Arab
menyenangi suasana demikian karena kondisi alamnya gersang. Sehingga ketika
mendengarnya mereka tersentuh dan merasa tertarik. Tapi bagi orang-orang yang
berdiam di daerah yang subur, seperti kebanyakan daerah di Indonesia, uraian
sungai dan kebun itu kita dengar biasa-biasa saja. Itulah sekedar motivasi yang
Allah berikan kepada manusia.
Coba
kita tanya diri kita masing-masing apakah masih butuh dan betah hidup di dunia?
Apakah ada yang ingin lebih dahulu meninggalkan dunia ini? Jika kita masih
betah di dunia berarti hal itu sudah menjadi bukti bahwa kita masih cenderung
kepada makhluk-Nya, belum cinta kepada Allah. Maka Allah memberikan iming-iming
dengan makhluk-Nya pula. Sehingga pada pikiran manusia muncul angan-angan
syurga, syurga, dan syurga.
Kalau
kita masih cenderung kepada makhluk-Nya maka bagi para Wali Allah semuanya
sudah tidak kelihatan lagi. Yang dilihat adalah Allah. Itulah orang yang
menyatu kecintaannya dengan Allah.
Bayangkan
orang-orang yang tidak iman kepada Allah, mereka benar-benar akan menjadi gila
menghadapi kehidupan yang rumit seperti sekarang ini. Suasana macet di sana
sini, persoalan semakin bertambah. Namun demikian banyak orang yang masih
memperebutkan jabatan yang menjadi bertambahnya masalah kehidupan. Coba
perhatikan, seorang Presiden yang hidupnya banyak diliputi kritik tajam,
kegiatannya diatur melalui sistem protokoler, istirahatnya dijatah karena
jadwalnya yang padat. Yang menurut kita adalah nyaman, indah, hebat, enak jika
jadi Presiden atau jabatan lain ternyata tidak demikian apabila kita
menjadi orang yang merasakannya itu.
Orang
yang menjalani kehidupan ini tanpa keimanan kepada Allah dan Hari Akhir
benar-benar bersikap konyol karena apa yang didambakannya akan hilang
(fatamorgana saja).
Marilah
kita bangun keimanan kepada Allah, apalagi disebutkan bahwa orang yang beriman
teramat cinta kepada Allah (Asyaddu hubballillaah). Dengan mencurahkan
ibadah dzikir, membaca Quran, shalat sunnah di malam dan hari Ahad kita refresh
(perbaharui) keimanan dan keyakinan kita kepada Allah agar di hari berikutnya
kita bekerja dengan power dan semangat baru, dilandasi keyakinan bahwa apa yang
kita lakukan semata-mata ibadah dan mengharap Ridha Allah.
LQ,
6 November 2010
[1] Firman Allah: (Dia) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Yang Perkasa lagi Pengampun, (Q.S. al-Mulk [67]:2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar