Jalan
keselamatan dari bahaya hawa nafsu dan syahwat adalah dengan memperkuat rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana adzab-Nya yang amat
pedih, dan bahwasannya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Allah Subhanahu
wa Ta’ala mampu mengadzabnya secara tiba-tiba dalam keadaan ia tidur di
waktu malam atau bermain di waktu dhuha, Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah penduduk negeri itu merasa
aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu malam dalam keadaan mereka tidur?
Ataukah penduduk negeri itu merasa aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu dhuha
dalam keadaan mereka bermain? Apakah merasa aman dari makar Allah? Tidak ada
yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS.
Al-A’raaf : 97-99)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mampu untuk mencabut keberkahan hidupnya dan
menimpakan kepadanya berbagai macam malapetaka dan kesempitan hati. Jadilah dia
seorang yang kehilangan kebahagiaan dan ketenangan. Kenikmatan yang ia rasakan
hakikatnya adalah buah simalakama yang mengulurnya agar lebih bertambah
kesesatannya dan bertambah penderitaan batinnya yang berakhir dengan kebinasaan.
“Tatkala
mereka meninggalkan apa yang telah diperingatkan, Kami bukakan untuk mereka
pintu-pintu segala kesenangan, sehingga apabila mereka telah bergembira dengan
apa yang diberikan kepada mereka, tiba-tiba Kami adzab ia dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS.
Al-An’am: 44)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila
engkau melihat Allah memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba apa yang
ia sukai akibat maksiat-maksiatnya sesungguhnya ia adalah istidraj (penguluran
waktu agar lebih sesat) kemudian beliau membacakan ayat di atas.” (HR Ahmad
dan lainnya).[1]
Berjuang
Melawan Hawa Nafsu
Maka
hendaknya kita berjuang melawan hawa nafsu. Imerupakan jihad yang agung
sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Dan
jihad yang paling utama adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di
jalan Allah.” (HR Ibnu Nashr)[2]
Ibnu
Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa jihad melawan diri sendiri lebih
dikedepankan dari pada jihad melawan musuh, beliau mengatakan, ”Tatkala jihad
melawan musuh-musuh Allah adalah cabang dari jihad seorang hamba melawan
dirinya di jalan Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
“Mujahid adalah orang yang menjihadi dirinya dalam rangka menta’ati Allah,
dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.“ (HR
Ahmad)[3]
Maka
jihad melawan diri sendiri untuk menaati Allah lebih didahulukan dari pada
jihad melawan musuh, bahkan jihad ini merupakan inti jihad itu snediri. Orang
yang tidak mampu berjihad melawan dirinya sendiri untuk melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan, tidak mungkin ia mampu berjihad melawan musuh.
Bagaimana
ia mampu berjihad melawan musuh, sementara musuh yang ada pada dirinya sendiri
telah menguasai dirinya. ia tidak mampu berjihad melawannya di jalan Allah?!
Ia
pun tidak mungkin keluar melawan musuh sampai ia menaklukkan dirinya agar
berani keluar ke medan pertempuran.
Dua
musuh ini adalah sebagai ujian bagi seorang hamba. Selain itu, di antara dua
hal tersebut terdapat juga musuh yang ketiga bagi manusia. Tidak mungkin jihad
melawan dua musuh yang pertama kecuali menaklukkan musuh yang ketiga –yang
hakikatnya musuh yang utama- Musuh ini selalu menggembosi hamba untuk takluk
terhadap dirinya dan musuhnya, menakut-takuti hamba dan terus-menerus
membayang-bayangi seorang hamba dengan sesuatu yang amat berat, dimana ia akan
meninggalkan kesenangan, kelezatan dan syahwatnya.
Tidak
mungkin ia menjihadi diri dan musuhnya kecuali dengan menjihadi yang ketiga
ini, ia adalah pondasi untuk kedua jihad itu, musuh yang ketiga itu adalah setan,
Allah berfirman :
“Sesungguhnya
setan itu musuh untuk kalian, maka ambillah ia sebagai musuh.”
Perintah
untuk menjadikan setan sebagai musuh adalah sebagai peringatan untuk
mengeluarkan seluruh kemampuan kita dalam rangka memerangi dan menjihadinya. Ia
adalah musuh yang tak pernah lelah dan tidak pernah berkurang baik jumlah
maupun semangat mereka, untuk memerangi seorang hamba selagi nafas hamba
tersebut masih ada.“[4]
Namun
janganlah pembaca memahami bahwa perkataan di atas dianggap meniadakan jihad
melawan musuh, karena ini adalah konsekwensinya. Dan jihad melawan musuh tentu
telah ada aturannya dan telah dibicarakan oleh para ulama, namun pada
kesempatan ini kami tidak akan membahasnya.
Penulis:
Ustadz Badrusalam, Lc.
http://padistudio.wordpress.com/2012/03/30/takut-kepada-allah-dan-siksa-nya/
[1] Ahmad dalam
musnadnya no.17349 dari jalan Risydin bin Sa’ad Abul Hajjaj Al-Mahri dari
Harmalah bin Imran At-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menurutku, “Sanad ini dha’if
karena Risydin adalah perawi yang dha’if
sedangkan perawi lainnya tsiqah
(terpercaya). Namun ia di-mutaba’ah
oleh Abdullah bin Shalih Al-Mishri sebagaimana dikeluarkan oleh Ath-Thabrani
dalam Mu’jam Al-Kabir, no.913.
Abdullah ini adalah Katib Laits dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Fiihi liin (terdapat kelembekan)”.
Sehingga hadis ini naik menjadi hasan
ligharihi. Juga di-mutaba’ah
oleh Hajjaj bin Sulaiman Ar-Ra’ini dikeluarkan oleh Ad-Dulaabi dalam Al-Kuna no. 605 tahqiq Abu Qutaibah
Al-Faryani dan Hajjaj ini dikatakan oleh Abu Zur’ah munkarul hadis dan ibnu Hibban berkata, “Haditsnya mu’tabar (dianggap) bila ia
meriwayatkan dari tsiqah (orang
terpercaya).” Maka hadis ini menjadi semakin kuat dan hadis ini dishahihkan
oleh Syaikh Al-Bani dalam silsilah shahihah no.413.
[2] Lihat Silsilah Shahihah, no.1491.
[3] Al-Musnad, no.24004, dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Bani dalam Silsilah
Shahihah, no.549.
[4] Zadul Ma’ad 3:6 Tahqiq Syu’aib
Al-Arnauth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar