Tadi pagi
aku dapat pesan dari hujan. Katanya dia datang sebagai rahmat dari Tuhanku. Dia
akan menyirami rerumputan, pepohonan, ladang, sawah, dan pekarangan milik kami.
Karena akan sangat merepotkan jika kami harus menyirami seisi bumi. Jika hujan
tidak datang, bagaimana mungkin tanaman bisa tumbuh, daun-daun bisa silih
berganti muncul, biji-bijian bisa terisi, bunga-bunga bisa bermekaran, dan buah
bisa ranum menguning.
”Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa
sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diatur-Nya menjadi
sumber-sumber di bumi kemudian ditumbuhkannya-Nya dengan air itu
tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu Kami
melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang berakal”. (QS.Az-Zumar,39:21).
Siang ini aku juga dapat pesan dari hujan. Dan lagi-lagi dia bilang dia
diperintahkan datang sebagai rahmat dari Tuhanku. Sungai yang mulai mengering,
waduk yang mulai menyusut, sumur yang mulai menurun permukaannya kini kembali
terisi. Kami tak khawatir lagi tak bisa masak, minum, wudlu, mandi, dan
mencuci. Ternak kami pun bisa terus makan, minum dan menghasilkan.
”Dialah
yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi
minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat
tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air
hujan itu tanaman-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan.’‘ (An-Nahl, 10-11)
Malam inipun hujan belum beranjak pergi, dan dia masih setia mengirimkan
pesannya untukku. Pesan itu masih sama, dia turun sebagai rahmat dari Tuhanku.
Dia turun dengan butirannya yang tidak berat laksana bongkahan kerikil, dia
turun dengan kadar yang seharusnya. Tanpa menjadikan genting kami roboh, kepala
kami sakit dan tanah pijakan kami hancur. Tanpa menjadikannya terasa asin
sehingga tak bisa kami minum. Dia turun merata di sekeliling tanpa harus
menghalaunya dengan tangan kami, sehingga orang-orang di sekitar kami pun akan
merasakan rahmat ini.
”Tidaklah
kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Maka,
kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga)
menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan
awan, seperti) gunung-gunung. Maka, ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang
dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”
(Annur ayat 43)
”Maka
terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya
dari awan ataukah Kami yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, nisaya Kami
jadikan dia asin, maka mengapa kamu tidak bersyukur.” (Al Waaqi’ah,
68-70)
”Allah,
Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya
bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka
apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba
mereka menjadi gembira.”(Ar-Ruum, 48)
Lagi-lagi, hujan mengirim pesan kepadaku. Dia tak pernah diturunkan
untuk menjadi bencana. Dia hanyalah air yang turun dan terus mengalir ke bawah,
menjadikan akar pepohonan sebagai pegangan, mencari jalan yang lapang untuk
terus mengalir dan mencari muara di ujung perjalanannya. Lalu jika pegangan itu
hilang, tumpukan sampah menghalangi jalannya dan muara itu tak ada lagi,
bagaimana dia bisa melewatinya? Sedangkan dia hanya air yang terus ingin
mengalir. Jika akhirnya dia tak mampu tersimpan dan menumpahkannya di
tengah-tengah kami, apakah dia tak lagi menjadi rahmat?
Dan sekali lagi, hujan mengirim pesan kepadaku, katanya ”sampai kapanpun
aku adalah rahmat dari Tuhanmu, tapi dirimulah yang membuat rahmat itu
menghilang dan merubahnya menjadi bencana”.
Astaghfirullah- al-’adzîm al-ladzî lâ ilâha
illâ huwa al-hayyul-qayyûm wa atûbu ilaih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar