DALAM menjalani
kehidupan tentu tidak semua berjalan sesuai dengan pikiran, keinginan dan
standar-standar akan baik-buruk, pantas-tidak pantas yang kita anut atau
yakini.
Ketika yang terjadi tidak sinergis dengan harapan dan pikiran kita, yang kita bangun berdasarkan standar-standar pribadi kita itu, kita rentan untuk jadi kecewa, bahkan marah.
Dalam keadaan tidak nyaman seperti ini, justru sebenarnya Allah sedang membentangkan jalan atau kesempatan bagi kita untuk menanam kebajikan. Yakni dengan mengelola rasa marah dan kecewa tersebut dengan jalan/cara yang Ia ridai.
Mengelola dengan baik rasa tak nyaman, marah ataupun kecewa, adalah salah satu bentuk kebajikan yang disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an. Firman-Nya:
Artinya, “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah Mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 3:134).
Jika kita merasa senang menjadi orang yang disukai atasan kita, orang-orang penting dan mulia di sekitar kita, maka tentu kita pun juga akan sangat senang dan bahagia menjadi orang yang disukai, bahkan dicintai Rabb semesta alam.
Kita menjadi lebih mudah sabar dan berpikir positif ketika kita berhadapan dengan mereka yang kita posisikan berada di atas kita. Sebaliknya, kita lebih mudah jadi kecewa dan marah terhadap orang-orang yang –sadar atau tidak- kita posisikan di bawah kita. Saat menghadapi orang-orang yang ‘di bawah’, maka Allah memberi tuntunan,
Artinya, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Menghadapi ‘orang-orang yang bodoh’, yang dalam bahasa lain mungkin bisa diterjemahkan sebagai mereka yang tak paham standar-standar berpikir, bersikap dan berperilaku lebih baik, Allah tidak mengajari kita untuk melampiaskan kemarahan pada mereka, namun dukup berpaling dari mereka.
Teladan Rasulullah
Bentuk kemenangan bagi diri kita adalah didatangkannya rasa tentram dan damai karena bisa memaafkan dan merelakan sikap-sikap roang yang tak sesuai dengan standar-standar kita. Adapun kemenangan relasi dengan mereka adalah bahwa kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan di masa yang akan datang karena kita tidak membuka konflik yang belum perlu kita buka.
Adapun jika kita melampiaskan kemarahan dan kekecewaan kita, maka rasa tak nyaman di dalam hati kita malah akan semakin besar, karena sifatnya nafsu jika dipenuhi maka ia juga akan minta pemenuhan yang lebih besar lagi. Adapun hubungan kita dengan orang lain, maka akan semakin jauh dan semakin susah untuk membangun hubungan positif di masa yang akan datang.
Firman Allah,
Artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
Sifat-sifat/tuntunan bersikap santun dan sabar juga telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam perikehidupan beliau. Telah akrab di telinga kita tentang orang-orang bodoh dari kalangan kafirun yang mengintimidasi beliau dengan aneka ragam siksaan, baik itu fisik maupun psikis. Beliau dituduh sebagai ahli sihir, orang yang sesat, hingga ditaburi kotoran di pundaknya saat sujud dalam salat, dilempari batu hingga berdarah, bahkan terancam nyawanya dalam peperangan. Tapi itu semua tidak membuat beliau melampiaskan emosi dan kemarahan, bahkan di saat penaklukan Makkah, beliau malah memuliakan orang yang banyak menyakitinya. Orang itu adalah Abu Sofyan, yang masih termasuk paman beliau sendiri, yang selama rentang hampir 20 tahun memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Pada hari kemenangan Islam, hari ditaklukkannya Makkah, Rasulullah malah memuliakan Abu Sofyan dengan menjadikan rumah Abu Sofyah sebagai rumah tempat mencari keamanan dan perlindungan bagi orang-orang yang menginginkannya.
Setelah itu, Abu Sofyan yang sebelumnya sangat besar permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, berbalik menjadi sangat cinta dan setia. Bahkan, ia refleks memasang dirinya sebagai temeng bagi Rasulullah yang terjepit dalam perang Hunain.
Demikianlah teladan yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam mengelola rasa tak nyaman terhadap orang-orang yang dengannya ada perselisihan.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., beliau berkisah, “Ada seorang Badui kencing di dalam masjid, kemudian orang-orang bangkit untuk memukulnya, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam melarang mereka dan bersabda, ‘Biarkan dia, tungkanlah pada kencing itu setimba air. Sesungguhnya aku diutus untuk mempermudah, bukan mempersulit.” (HR. Bukhari).
Juga dalam hadits yang diriwayatkan Anas ra., ia berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam waktu itu, beliau membawa selimut Najran yang tebal pinggirnya, dan bertemu dengan seorang Badui, kemudian ia menarik-narik selendang beliau dengan kuat. Aku melihat leher beliau terdapat bekas ujung selimut, karena kerasnya tarikan orang Badui itu. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku harta Allah yang ada padamu!’ Beliau menoleh kepada orang Badui itu, sambil tersenyum beliau menyuruh untuk memenuhi permintaan orang Badui itu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Sungguh dalam sabda beliau, “Yang dinamakan orang kuat adalah bukan orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang dapat menendalikan hawa nafsunya pada waktu marah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ketika yang terjadi tidak sinergis dengan harapan dan pikiran kita, yang kita bangun berdasarkan standar-standar pribadi kita itu, kita rentan untuk jadi kecewa, bahkan marah.
Dalam keadaan tidak nyaman seperti ini, justru sebenarnya Allah sedang membentangkan jalan atau kesempatan bagi kita untuk menanam kebajikan. Yakni dengan mengelola rasa marah dan kecewa tersebut dengan jalan/cara yang Ia ridai.
Mengelola dengan baik rasa tak nyaman, marah ataupun kecewa, adalah salah satu bentuk kebajikan yang disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an. Firman-Nya:
Artinya, “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah Mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 3:134).
Jika kita merasa senang menjadi orang yang disukai atasan kita, orang-orang penting dan mulia di sekitar kita, maka tentu kita pun juga akan sangat senang dan bahagia menjadi orang yang disukai, bahkan dicintai Rabb semesta alam.
Kita menjadi lebih mudah sabar dan berpikir positif ketika kita berhadapan dengan mereka yang kita posisikan berada di atas kita. Sebaliknya, kita lebih mudah jadi kecewa dan marah terhadap orang-orang yang –sadar atau tidak- kita posisikan di bawah kita. Saat menghadapi orang-orang yang ‘di bawah’, maka Allah memberi tuntunan,
Artinya, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Menghadapi ‘orang-orang yang bodoh’, yang dalam bahasa lain mungkin bisa diterjemahkan sebagai mereka yang tak paham standar-standar berpikir, bersikap dan berperilaku lebih baik, Allah tidak mengajari kita untuk melampiaskan kemarahan pada mereka, namun dukup berpaling dari mereka.
Teladan Rasulullah
Bentuk kemenangan bagi diri kita adalah didatangkannya rasa tentram dan damai karena bisa memaafkan dan merelakan sikap-sikap roang yang tak sesuai dengan standar-standar kita. Adapun kemenangan relasi dengan mereka adalah bahwa kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan di masa yang akan datang karena kita tidak membuka konflik yang belum perlu kita buka.
Adapun jika kita melampiaskan kemarahan dan kekecewaan kita, maka rasa tak nyaman di dalam hati kita malah akan semakin besar, karena sifatnya nafsu jika dipenuhi maka ia juga akan minta pemenuhan yang lebih besar lagi. Adapun hubungan kita dengan orang lain, maka akan semakin jauh dan semakin susah untuk membangun hubungan positif di masa yang akan datang.
Firman Allah,
Artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
Sifat-sifat/tuntunan bersikap santun dan sabar juga telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam perikehidupan beliau. Telah akrab di telinga kita tentang orang-orang bodoh dari kalangan kafirun yang mengintimidasi beliau dengan aneka ragam siksaan, baik itu fisik maupun psikis. Beliau dituduh sebagai ahli sihir, orang yang sesat, hingga ditaburi kotoran di pundaknya saat sujud dalam salat, dilempari batu hingga berdarah, bahkan terancam nyawanya dalam peperangan. Tapi itu semua tidak membuat beliau melampiaskan emosi dan kemarahan, bahkan di saat penaklukan Makkah, beliau malah memuliakan orang yang banyak menyakitinya. Orang itu adalah Abu Sofyan, yang masih termasuk paman beliau sendiri, yang selama rentang hampir 20 tahun memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Pada hari kemenangan Islam, hari ditaklukkannya Makkah, Rasulullah malah memuliakan Abu Sofyan dengan menjadikan rumah Abu Sofyah sebagai rumah tempat mencari keamanan dan perlindungan bagi orang-orang yang menginginkannya.
Setelah itu, Abu Sofyan yang sebelumnya sangat besar permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, berbalik menjadi sangat cinta dan setia. Bahkan, ia refleks memasang dirinya sebagai temeng bagi Rasulullah yang terjepit dalam perang Hunain.
Demikianlah teladan yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam mengelola rasa tak nyaman terhadap orang-orang yang dengannya ada perselisihan.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., beliau berkisah, “Ada seorang Badui kencing di dalam masjid, kemudian orang-orang bangkit untuk memukulnya, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam melarang mereka dan bersabda, ‘Biarkan dia, tungkanlah pada kencing itu setimba air. Sesungguhnya aku diutus untuk mempermudah, bukan mempersulit.” (HR. Bukhari).
Juga dalam hadits yang diriwayatkan Anas ra., ia berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam waktu itu, beliau membawa selimut Najran yang tebal pinggirnya, dan bertemu dengan seorang Badui, kemudian ia menarik-narik selendang beliau dengan kuat. Aku melihat leher beliau terdapat bekas ujung selimut, karena kerasnya tarikan orang Badui itu. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku harta Allah yang ada padamu!’ Beliau menoleh kepada orang Badui itu, sambil tersenyum beliau menyuruh untuk memenuhi permintaan orang Badui itu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Sungguh dalam sabda beliau, “Yang dinamakan orang kuat adalah bukan orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang dapat menendalikan hawa nafsunya pada waktu marah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Nesia
Andriana, STIU Darul Hikmah – Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar