Tamak atau
rakus dalam istilah psikologi bermakna keinginan eksesif (berlebihan) untuk
memperoleh atau memiliki harta kekayaan yang bukan haknya atau melebihi yang
dibutuhkan.
Pada
dasarnya, sifat tamak, dalam arti egois, sedikit atau banyak ada pada setiap
manusia. Siapapun dia. Sama seperti sifat-sifat yang lain, seperti kasih sayang
ataupun iri dengki. Semua sifat itu melekat pada semua makhluk yang bernama
manusia. karena manusia memang di ciptakan dengan dua potensi, yaitu potensi
kebaikan dan keburukan.
Yang
membedakan kualitas seseorang dengan yang lainnya adalah bagaimana cara dia
mengelola semua potensi tersebut. Untuk itu manusia di karuniai satu paket
perangkat lunak supaya dapat mengelolanya dengan baik, yaitu akal dan hati.
Sifat
tamak untuk sebagian besar maknanya tentu negatif. Karena ia adalah indikator
ketidakstabilan jiwa, namun sifat tamak itu bisa menjadi potensi yang sangat
dahsyat jika kita mau mengarahkannya pada jalur positif. Karena pada hakekatnya
ketamakan adalah rasa tidak puas terhadap apa yang sudah ada. jika kita arahkan
rasa tidak puas dan selalu ingin lebih itu pada hal yang positif, maka justru
akan menghasilkan sebuah produk karya yang sangat besar.
Ada dua
orang yang tamak dan masing-masing tidak akan kenyang. Pertama, orang tamak
untuk menuntut ilmu, dia tidak akan kenyang. Kedua, orang tamak memburu harta,
dia tidak akan kenyang.
Menurut
hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas ra di atas, ada dua
karakter orang tamak yang tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya
dan senantiasa berusaha untuk menambahnya. Namun, keduanya memiliki
karakteristik yang berbeda menurut sisi pandang Islam.
Adalah
terpuji jika ada seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti ini
senantiasa menginginkan derajat keilmuan, akhlak, amal kebajikan, dan usahanya
untuk meraih kemuliaan, yang akan mengetuk hatinya untuk menapaki tangga
kesempurnaan sebagai seorang Muslim. Ia selalu memanfaatkan segala kesempatan
untuk mengkaji Islam dalam memecahkan problem kehidupan manusia dengan hikmah.
Sabda
Rasulullah saw, ”Ilmu laksana hak milik seorang Mukmin yang hilang, di manapun
ia menjumpainya, di sana ia mengambilnya,” (HR Al Askari dari Anas ra).
Sedangkan
ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana
serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan
haknya. Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat
keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha.
Firman
Allah SWT: Katakanlah (hai Muhammad), jika seandainya kalian menguasai semua
perbendaharaan rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan
(simpan) karena takut menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang
sangat kikir. (QS Al Isra’: 100).
Rasulullah
saw bersabda, ”Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya
dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis,
apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai
kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk
kepentingan orang lain,” (HR Muslim).
Dalam
Islam, istilah “merugikan orang lain” tidak hanya terbatas pada korupsi,
menipu, memeras, mencuri atau membunuh. Istilah ini mencakup juga “keengganan
untuk menginfakkan sebagian harta kita pada yang berhak” (QS Ali Imran 3:180).
Allah menegaskan bahwa kesalihan itu adalah membagi sebagian harta dengan orang lain; bukan hanya ibadah ritual (QS Al Baqarah 2:177).
Seorang
Mukmin adalah orang yang meyakini bahwa rezeki telah ditentukan oleh Allah SWT.
Dia juga yakin bahwa setiap manusia tidak akan menemui ajalnya sebelum semua
rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah dicukupkan kepadanya. Ia merasa cukup
terhadap harta yang telah diperolehnya dan menyadari ada hak orang lain atas
kelebihan harta yang dimilikinya. Ia infakkan sebagian hartanya di jalan Allah
untuk membantu saudara-saudaranya yang dilanda kelaparan dan kekurangan.
Islam
selalu menekankan pentingnya kesalihan kolektif untuk mencapai masyarakat
madani, suatu masyarakat yang hidup damai dan sejahtera. Kesalihan kolektif
baru dapat dicapai apabila kalangan yang lebih beruntung secara ilmu dan
kekayaan berinisiatif untuk membagi apa yang dimilikinya dan membuang perilaku
tamak dan selfish.
Demikianlah
yang patut dilakukan seorang Muslim dan ia tidak lagi silau terhadap kekayaan
orang lain yang dihimpun karena ketamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar