Selasa, 16 Juli 2013

Fiqih Puasa



Fikih Puasa (1): Syarat Wajib Puasa

Al Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Abi Syuja’ mengatakan: Ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa

 

Fikih Puasa (2): Rukun dan Niat Puasa


Sungguh, di bulan Ramadhan banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Pelajaran tersebut sulit didapati titik ujungnya. Pelajaran yang bisa kita ambil yang paling besar adalah pelajaran takwa. Bahkan setiap amalan yang ada di bulan Ramadhan bertujuan untuk meraih takwa.

Ketahuilah bahwa takwa adalah sebaik-baiknya bekal. Takwa adalah sebaik-baik pakaian yang dikenakan seorang muslim. Takwa inilah yang jadi wasiat orang terdahulu dan belakangan. Takwa itulah jalan keluar ketika seseorang berada dalam kesulitan. Takwa itulah sebab mendapatkan pertolongan ketika mati. Takwa itulah jalan menuju ketenangan.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Intinya, takwa adalah wasiat Allah pada seluruh makhluk-Nya. Takwa pun menjadi wasiat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, beliau pun menasehati mereka untuk bertakwa. Itu semua bertujuan supaya dengan takwa manusia meraih kebaikan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 404).

Lalu apa yang dimaksud takwa? Takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib rahimahullah,
التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa adalah engkau melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.” (Lihat Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 163 dan Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 400).

Kata Ibnu Rajab Al Hambali,
وأصلُ التقوى : أنْ يعلم العبدُ ما يُتَّقى ثم يتقي.
“Takwa asalnya adalah seseorang mengetahui apa yang mesti ia hindari lalu ia tinggalkan.”
‘Aun bin ‘Abdillah berkata,
تمامُ التقوى أنْ تبتغي علمَ ما لم يُعلم منها إلى ما عُلِمَ منها
“Takwa yang sebenarnya adalah jika seseorang ingin tahu sesuatu yang tidak ia ketahui hingga ia pun akhirnya jadi tahu.”
Ma’ruf Al Karkhi berkata, dari Bakr bin Khunais, ia berkata,
كيف يكون متقياً من لا يدري ما يَتَّقي ؟
“Bagaimana seseorang bisa dikatakan bertakwa sedangkan ia tidak mengetahui apa yang mesti dijauhi?”
Lalu Ma’ruf kemudian berkata,
إذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي أكلتَ الربا ، وإذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي لقيتكَ امرأةٌ فلم تَغُضَّ بصرك
“Jika engkau tidak baik dalam takwa, maka pasti engkau akan terjerumus dalam memakan riba. Kalau engkau tidak hati-hati dalam takwa, maka pasti engkau akan memandang seorang wanita lantas pandanganmu tidak kau tundukkan.” (Lihat Jaami’ ‘Ulum wal Hikam, 1: 402).
Ramadhan pun disebut oleh para ulama dengan bulan takwa. Sifat takwa inilah yang nanti akan diraih dari amalan puasa. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menyebutkan,
“Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat di atas mengenai hikmah disyari’atkan puasa yaitu agar kita bertakwa. Karena dalam puasa, kita mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Yang meliputi takwa dalam puasa adalah seorang muslim meninggalkan apa yang Allah haramkan saat itu yaitu makan, minum, hubungan intim sesama pasangan dan semacamnya. Padahal jiwa begitu terdorong untuk menikmatinya. Namun semua itu ditinggalkan karena ingin mendekatkan diri pada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Inilah yang disebut takwa.

Begitu pula orang yang berpuasa melatih dirinya untuk semakin dekat pada Allah. Ia mengekang hawa nafsunya padahal ia bisa saja menikmati berbagai macam kenikmatan. Ia tinggalkan itu semua karena ia tahu bahwa Allah selalu mengawasinya.
Begitu pula puasa semakin mengekang jalannya setan dalam saluran darah. Karena setan itu merasuki manusia pada saluran darahnya. Ketika puasa, saluran setan tersebut menyempit. Maksiatnya pun akhirnya berkurang.
Orang yang berpuasa pun semakin giat melakukan ketaatan, itulah umumnya yang terjadi. Ketaatan itu termasuk takwa.

Begitu pula ketika puasa, orang yang kaya akan merasakan lapar sebagaimana yang dirasakan fakir miskin. Ini pun bagian dari takwa.” Demikian perkataan Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86.

Semoga puasa kita semakin mendekatkan kita pada sifat takwa. Hanya Allah yang memberikan kemudahan dan taufik.
Referensi:
·         Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
·         Romadhon Durusun wa ‘Ibarun – Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
·         Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Fikih Puasa (3): Pembatal Puasa


Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, (4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila, (10) keluar dari Islam (murtad)

Fikih Puasa (4): Pembatal Puasa


Serial kali ini, kita akan melanjutkan mengenai pembatal puasa lainnya yang sebelumnya telah sampai pada pembatal keempat. Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib menyebutkan sebelumnya, Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, (4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila, (10) keluar dari Islam (murtad).

Fikih Puasa (5): Sunnah Puasa

Setelah sebelumnya dibahas mengenai syarat, rukun dan pembatal puasa, kali ini Muslim.Or.Id melanjutkan dengan pembahasan sunnah puasa atau hal-hal yang dianjurkan saat puasa. 

Fikih Puasa (6): Hari Dilarang Puasa


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa pada dua hari: Idul Fithri dan Idul ‘Adha. (HR. Muslim no. 1138)

Fikih Puasa (7): Akibat Hubungan Seks di Siang Hari Ramadhan


Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarah. Bentuk kafarah-nya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu sebesar 1 mud

Fikih Puasa (9): Yang Mendapat Keringanan Tidak Puasa


Orang yang sudah tua renta (sepuh) ketika tidak mampu berpuasa, maka ia tidak berpuasa. Setiap hari tidak puasa, hendaklah ia memberi makan (kepada orang miskin) seukuran satu mud. Adapun wanita hamil dan menyusui, jika mereka berdua khawatir pada dirinya, maka boleh tidak puasa dan mereka berdua punya kewajiban qodho’

Fikih Puasa (10): Amalan I’tikaf


Di antara yang disunnahkan di bulan Ramadhan adalah melakukan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan tujuan supaya bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Berikut keterangan Al Qodhi Abu Syuja’ mengenai i’tikaf. Kata Abu Syuja’ rahimahullah, “I’tikaf itu sunnah yang dianjurkan. Namun disebut i’tikaf jika memenuhi dua syarat yaitu (1) berniat, (2) berdiam di masjid.

Tidak boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau ada udzur semisal haidh atau sakit yang tidak mungkin berdiam di masjid.
I’tikaf itu batal dengan berhubungan intim (bersenggama).”


Pengertian I’tikaf

I’tikaf berarti tetap atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah berarti berdiam di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat khusus. (Lihat Al Iqna’, 1: 424).

Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf adalah sunnah muakkad dan dianjurkan dilakukan di setiap waktu di Ramadhan atau selain Ramadhan. Namun di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari hari lainnya karena dicarinya lailatul qadar pada malam tersebut. Lailatul qadar hendaklah dihidupkan dengan shalat, membaca Al Qur’an, dan memperbanyak do’a karena malam tersebut adalah malam yang utama dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ” (QS. Al Qadar: 3).
Maksudnya adalah amalan pada malam lailatul qadar lebih baik adari amalan di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. Sebagaimana kata Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, malam ini diperoleh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lihat pembahasan dalam Al Iqna’, 1: 424-425.

Syarat I’tikaf

Syarat i’tikaf sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ ada dua:
1- Niat
Niat cukup dalam hati sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat jika dengan niatan nadzar sunnah. Jika i’tikafnya mutlak, yaitu tidak dibatasi waktu
tertentu, maka cukup diniatkan.

2- Berdiam
Yang dimaksud di sini adalah i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu yang dikatakan thuma’ninah dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama.
Ditambahkan oleh Muhammad Al Khotib dalam Al Iqna’ yaitu syarat ketiga dan keempat.

3- Berdiam di masjid
Hal ini berdasarkan ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun ayat adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Masjid jami’ yang ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya lebih utama daripada masjid lainnya supaya yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid lainnya. Akan tetapi, jika seseorang sudah berniat i’tikaf di Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsho, maka tidak bisa diganti dengan masjid lainnya karena keutamaan besar dari masjid tersebut.

4- Syarat yang berkaitan dengan orang yang beri’tikaf yaitu Islam, berakal, suci dari hadits besar

Tidak Keluar dari Masjid Selama I’tikaf
Yang menjalani i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, atau i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu. Hanya boleh keluar dari masjid jika ada kebutuhan mendesak seperti kencing, buang hajat, dan keperluan lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Di antara udzur lagi adalah karena haidh -menurut ulama yang tidak membolehkan wanita haidh diam di masjid- dan orang yang sakit yang juga tidak bisa berdiam di masjid.

Pembatal I’tikaf
Yang membatalkan i’tikaf adalah dengan bersenggama atau bersetubuh. Dalilnya adalah ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
I’tikafnya jadi batal jika dilakukan dalam keadaan tahu dan ingat sedang beri’tikaf baik dilakukan di dalam atau di luar masjid. Adapun bercumbu (mubasyaroh) selain di kemaluan seperti saling menyentuh dan mencium bisa membatalkan i’tikaf jika keluar mani. Lihat Al Iqna’, 1: 427-428.
Selesai sudah kajian fikih dari kitab Matan Abi Syuja’. Semoga bermanfaat untuk amalan kita di bulan RamadhanHanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Referensi:
1.     Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428
2.    At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
3.    Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
4.    Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar