Minggu, 28 Juli 2013

WASIAT


Pengertian, Syarat dan Hukumnya 

(Kajian Normatif dengan pendekatan tekstual-literer)




Pendahuluan
Salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya adalah yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun alasannya, tidak mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari apa-apa yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka Al-Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat banyak sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.

Menurut ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan dengan harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain syari'at tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya syari'at Islam tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat merupakan hal yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah siap dengan sebuah konsep untuk menghadapi problema-problema dalam masyarakat, terutama yang bersangkutan dengan masalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Wasiat adalah satu dari bentuk-bentuk penyerahan atau pelepasan harta dalam syari'at Islam. Wasiat memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam syari'at Islam.


Pengertian Wasiat

Kata wasiat ( الوصية ) diambil dari وصيت الشيئ,أصيه  artinya : أوصلت (aku menyampaikan sesuatu). Maka orang yang berwasiat disebut al-Muushii. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berartimenetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144أم كنتم شهداء إذ وصاكم الله) ),memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14,  (ووصينا الإنسان بولديه) dan Maryam: 31 وأوصانى بالصلاة) , mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat 12 (وصية من الله).[1]

Berdasarkan kata-kata di atas dapat dipahami bahwa kata wasiat mengandung makna perintah yang harus dijalankan oleh pihak lain.

Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat.[2]

Dari pengertian-pengertian wasiat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnyawasiat ialah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya.


Syarat, Rukun, dan Hukum Wasiat

a. Syarat-Syarat Wasiat

Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai berikut[3]:
  1. Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk diurusi; menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
  2. Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
  3. Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, berwasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan uangnya untuk disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat hiburan, atau ke kemaksiatan.
       4.    Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat     tidak sah, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.

Sedangkan syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi disebutkan sebagai berikut:
  1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
  2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
  3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan cara pembunuhan; dan
  4. bukan ahli waris pemberi wasiat.

b. Rukun Wasiat

Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:
1. redaksi wasiat (shighat),
2. pemberi wasiat (mushiy),
3. penerima wasiat (mushan lahu),
4. barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

1. Redaksi Wasiat (shighat)

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan(qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

2. Pemberi Wasiat (mushiy)

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan.[4]
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional.

3. Penerima Wasiat (mushan lahu)

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah:


Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

4. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi)

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.

Hukum Wasiat
Wasiat disyari'atkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:

Artinya:
" Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian." (Al-Maidah: 106).

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri- sterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Melihat dari tekstualitas ayat di atas, kita dapat menarik kesimpuan bahwa wasiat tersebut wajib hukumnya bagi mayit yang berharta banyak, dan wasiat tersebut bagi kedua orang tua dan karib kerabat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan-menafsirkan ayat di atas- bahwa wasiat itu hukumnya wajib menurut dua pendapat.[5] Begitupula ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan juga-menafsirkan ayat di atas-bahwa wasiat itu adalah wajib hukumnya.[6]

Sebagian ulama lainnya juga berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah kewajiban berdasarkan ayat 180 surat al-Baqarah.


Penutup

                Dari uraian singkat tentang wasiat di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa wasiat adalah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia.

Wasiat itu merupakan salah satu sarana untuk bertaqarrub kepada Allah swt guna mendapatkan kebaikan di dunia dan pahala di akherat. Wasiat juga merupakan sarana untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, menguatkan silaturahim dan hubungan kekerabatan yang bukan ahli warisnya.

Hukum wasiat jika menilik surat al-Baqarah ayat 180 adalah wajib sesuai dengan tekstualitas ayat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 2003. Minhajul Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim,Penerj. Fadhli Bahri, Lc.). Jakarta: Darul Falah, cet. VI.
Ath-Thobari, Muhammad ibn Jarir, 2000. Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq: Muhammad Syakir). Riyad: Mu’assasah ar-Risalah cet. I.
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam Bidang Wasiat.Jakarta: Departemen Agama.
Ibnu Kastir, 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim juz 1( tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah). Riyad: Dar thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, cet. 2.


[1] Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam Bidang Wasiat. Jakarta: Departemen Agama, hal 49.
[2] Ibid
[3] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 2003. Minhajul Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim, Penerj. Fadhli Bahri, Lc.). Jakarta: Darul Falah, cet. VI, hal. 564.
[4] Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam ….., hal 88. (lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid III, Penerbit Maktabah Dar al Turas tanpa tahun, Kairo, hal. 415.
[5] Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim juz 1( tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah), (Riyad: Dar thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1999), cet. 2, hal. 492.
[6] Muhammad ibn Jarir th-Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq: Muhammad Syakir), (Riyad: Mu’assasah ar-Risalah, 2000) cet. I, hal. 396.

MUHAMMAD TAISIR  
Posted in: Artikel,Hukum Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar