Sabtu, 27 Juli 2013

KONSEP SUNNAH DALAM ISLAM




A. Pendahuluan

Umat Islam berpandangan bahwa hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Konsensus (Ijma’) dan Analogi (Qiyas). Maka dari itu,[1] sejak dari awal kemunculan dan perkembangan Islam, kaum muslimin bersepakat bahwa segala perkara mereka harus berpegang pada pedoman Kitab Suci utama, yakni Al-Qur’an. Namun sementara Al-Qur’an melengkapi dengan garis-garis besar pandangan etis dan satu dua memberi preskripsi konkrit, namun ia tidak mencakup rincian yang menyeluruh. Maka desakan kepada perlunya sistem pemikiran dan penjabaran hukum telah mendorong gerakan pemikiran keagamaan, yakni segi-segi legalnya.[2]

Hadits atau Sunnah al-Nabawiyah telah disepakati oleh ‘Ulama Salaf al-Salih sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Namun dalam penjabarannya, mendudukkan hadits pada posisi tersebut tidaklah semulus yang semestinya. Sejarah Islam mencatat, keraguan akan otentisitas hadits dan fungsi hadits pernah dipertanyakan dalam wacana pemikiran ulama di pertengahan abad ke-2 dan kembali diperdebatkan di awal abad ke-5.[3]

Yang pada akhirnya aktifitas pemikiran mengenai pemahaman dan kebenaran konsep sunnah menjadi lebih penting dengan tujuan mendapatkan kembali ide-ide dasar mengenai prinsip ajaran agama dan relevansinya dengan perkembangan serta tuntutan perkembangan masyarakat.

B. Konsep Sunnah menurut Imam Syafi’i

Imam Syafi’i bernama lengkap Muhammad bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syati’ bin Saib al-Qurasyi (150-204 H/767-812 M). Dari Imam Malik, Imam Syafi’i mengambil tentang sunnah. Justru Imam Syafi’i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas bahwa sunnah yang harus dipegang bukanlah setiap bentuk sunnah, akan tetapi hanya yang berasal langsung dari Nabi. Konsekuensinya adalah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi SAW, dan mana yang hanya klaim –sebagai dari Nabi sedangkan sebenarnya buatan alias palsu belaka.[4]

Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan antara pendukung hadits dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mencoba mengikuti sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan dengan prinsip menyetujui hanya yang benar yang bersumber pada Nabi. Baginya hadits bisa diterima atau tidak tergantung pada Isnad atau rangkaian pembawa cerita.[5]

Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits sebagai penentu hukum:[6] “Ta’atlah kepada Tuhan dan Rasul”,[7] “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, sebaliknya apa yang ia larang, tinggalkanlah”,[8] “Barangsiapa takut kepada Rasul berarti ta’at kepada Tuhan”.[9]

Allah telah mewajibkan manusia agar patuh kepada kitab dan sunnah sesuai dengan kewajiban patuh yang dituliskan ke dalam hukum-Nya, yakni bahwa manusia harus tunduk kepada kehendak-Nya tanpa ada yang kuasa mengubah hukum-Nya. Dengan sunnahnya, Rasulullah SAW telah menunjukkan arti yang tepat dari kitab Allah atau wahyu lain yang diperoleh daripada-Nya yang tak satupun dibiarkan tanpa keterangan dan wajib untuk menerima penjelasan-penjelasan Nabi SAW itu.[10]

Setelah Al-Qur’an, Syafi’i menekankan Sunnah Nabi. Ia mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an dapat di-nasakh oleh ayat Al-Qur’an yang lain, dan Al-Qur’an tidak dapat menasakh sunnah, begitu juga sebaliknya. Benar adanya, ia selalu berpendapat bahwa sunnah dapat diganti dengan ayat Al-Qur’an, namun selama sunnah tidak nasakh terlebih dahulu oleh sunnah yang lain yang telah disabdakan oleh Nabi.[11]

Teorinya tentang hadits paling baik dipahami melalui teks risalah:

Setiap hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dapat dipercaya yang bersumber pada Nabi adalah otoritatif dan dapat ditolak hanya jika ada hadits otoritatif lain dari Nabi yang menentangnya..........jika keduanya sama-sama dapat dipercaya maka yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabilah yang dipilih........ .[12]


C. Konsep Sunnah menurut Joseph Schacht

Joseph Schacht memang seorang intelektual yang luar biasa. Betapa tidak, orientalis yahudi kelahiran Silisie, Jerman pada tahun 1902 ini telah meraih gelar doktor dari Universitas Barslauw ketika ia berumur 21 tahun. Dan ketika berusia 27 tahun ia dikukuhkan menjadi Guru Besar di Universitas Fribourg.[13]

Kendati ia seorang pakar Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Namun karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang terbit pada tahun 1959, kemudian bukunya “An Introduction to Islamic Law” yang terbit pada tahun 1960. dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil kajiannya tentang hadits Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ‘Ulama abad kedua dan ketiga Hijriah.[14]

Dibanding dengan pendahulunya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht memiliki “keunggulan”, karena Ignaz Goldziher hanya sampai pada peringkat meragukan otentisitas hadits-hadits Nabawi, sedangkan Joseph Schacht sampai pada peringkat meyakinkan bahwa tidak ada hadits yang shahih terutama hadits-hadits Hukum.[15]

Sepanjang hidupnya ia mengabdikan dirinya kepada kajian historis pemikiran Hukum Islam awal.[16]Tidak mengherankan sama sekali bahwa kesimpulan Schacht dalam beberapa tahun sesudahnya telah cukup mengejutkan sebagian besar kaum muslim, terutama sekali pada pertama kali kesimpulan tersebut dilontarkannya, karena Schacht menunjukkan bahwa sebagian besar hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.[17]

Sunnah Nabi merupakan wilayah yang di dalamnya Schacht mengalamatkan penelitiannya. Salah satu dari kesimpulannya yang paling penting –sebuah kesimpulan yang menyakitkan seorang muslim yan saleh– adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa: “Rujukan kepada hadits-hadits dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua, dan teori tentang otoritas hadits-hadits dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi”.[18]

Bagian sentral thesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata Sunnah. Secara ringkas, dia berpendapat[19] bahwa:
Konsep awal sunnah adalah kebiasaan atau praktik yang disepakati secara umum, yang disebutnya “tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini di mengikuti D.S. Margoliouth dan mengutip Ibn al-Muqaffa’, yang menurutnya, mendapatkan istilah itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administratif pemerintahan Bani Umayyah.[20]
Konsep Sunnah Nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua.[21]
Bahkan penggunaan “Sunnah Nabi” tidak berarti Sunnah yang sebenarnya berasar dari Nabi SAW, ia sekedar “tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi SAW.[22]

Yang paling menyesatkan, selama Schacht bersandar pada Margoliuth berasal dari paruh pertama abad pertama. Jika Schacht menerima otentisitas referensi-referensi ini mestinya dia juga harus menerima fakta bahwa ungkapan “Sunnah Nabi” telah digunakan secara luas seratus tahun sebelum masa yang dia percayai.[23]

Ringkasnya, analisis historis yang diterapkan Schacht dalam thesisnya menunjukkan kelemahan thesis itu sendiri, yang mana Azami telah mengatakan bahwa khususnya akan disangkal penggunaan materi sumber secara sewenang-wenang yang cenderung terlalu menggeneralisir dan membiarkan inkonsistensi internal berada pada thesisnya.[24]

Yang akhirnya konsep Sunnah versi Schacht ini mendapat kecaman dan sanggahan dari para pemikir Islam, dan tidak menutup kemungkinan konsep sunnahnya Schacht ini menimbulkan semangat bangkitnya pemikiran dalam Dunia Islam untuk menggali lebih dalam konsep sunnah, khususnya dan konsep Islam pada umumnya, serta memperkokoh dan mempertahankan keaslian sumber-sumber ajaran Islam. Yaa Robb.

D. Konsep Sunnah menurut Fazlur Rahman

Rahman adalah seorang tokoh intelektual muslim yang memiliki latar belakang yang menarik. Ia memiliki latar belakang tradisi keilmuan yang bertentangan: keilmuan madrasah India-Pakistan yang tradisional dan keilmuan Barat yang liberal. Keduanya kuat berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya. Rahman lahir di Lahore, Pakistan tahun 1919 dan meninggal pada 26 Juni 1988.[25]

Kontroversinya dan gerakan oposisi semakin hebat dengan diterjemahkannya buku karya Rahman –Islam, 1966 yang mengandung beberapa penafsiran seorang modernis yang tidak dapat diterima oleh para pemimpin Islam tradisional.[26]

Evolusi historis dari Sunnah Nabi menjadi hadits digambarkan oleh Rahman sebagai berikut,[27] “Adalah suatu kenyataan bahwa Sunnah Nabi telah melewati proses yang panjang sebelum ia dibakukan menjadi riwayat-riwayat hadits. Pada saat itu yakni ketika hadits belum dibukukan, pada sahabat dan tabi’in, khususnya mereka yang berprofesi sebagai hakim, ahli hukum, teoretisi, politikus dan lain-lain, berusaha menjabarkan dan menafsirkan Sunnah Nabi demi kepentingan kaum muslimin pada saat itu. Hasil penjabaran dan pemahaman tersebut juga dianggap sebagai sunnah”.[28]

Sunnah Nabi menurut Rahman berarti “tingkah laku yang merupakan teladan”. Pengertian ini didasarkan pada kitab Jawharat karya Ibnu Duraid yang mengartikan Sunnah dengan “Shawwara” artinya “to fashion a thing or produce it as a model”.[29] Dengan pengertian sebagai praktik yang disepakati bersama atau “sunnah yang hidup”.

Tampaknya bahwa evolusi konsep sunnah Nabi menjadi “sunnah yang hidup” terjadi melalui interaksi ijtihad, yakni upaya penjabaran dan penafsiran sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup.[30]

Sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, Rahman tidak bersikeras menyangkal tesa-tesa yang dikemukakan oleh orientalis.[31] Dalam membedakan makna antara Sunnah dan Hadits, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa:

......... jika yang pertama (sunnah) merupakan suatu proses yang hidup dan berkelanjutan, maka yang kedua (hadits) bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan yang mutlak kepada sintesa dari sunnah yang hidup pada abad kesatu, kedua, dan ketiga Hijriah.[32]


E. Kesimpulan

Berangkat penjelasan dari tiga tokoh yang memiliki pemikiran dalam konsep sunnah diatas, nampak adanya keberagaman dan kreatifitas intelektual yang berlainan. Agaknya Rahman memandang bahwa inti permasalahan islam adalah permasalahan intelektualisme ( pemikiran ) yang paling berpengaruh dalam maju dan mundurnya islam, sehingga Rahman dengan teorinya dapat membuka cakrawala pemikiran tentang sunnah dan hadits.

Pencarian data historis sekitar sunnah nabi kepedulian dan jasa besar Rahman dalam menelaah eksistensi Sunnah nabi dari tantangan orientalis, yang mana mayoritas ahli usul fiqh zaman modern memandangnya secara apriori tanpa pernah berusaha menjawab tangtangan tersebut[33] sehingga kritiknya yang tajam terhadap sunnah telah membawanya pada orang yang dianggap sebagai ingkar al-sunnah.

Keteguhan Syafi’i memegang hadits nabi termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadits sama – sama mengikat dan jika dipertentangkan dengan dua atau lebih hadits yang jelas bertentangan maka perlu adanya interpretasi untuk mengharmoniskan dan tanpa adanya anggapan antara dua hadits saling bertentangan bila ada cara untuk menerima keduanya. Dan bila keduanya tidak dapat dikompromikan maka kita memilih yang paling sesuai dengan Al-Qur’an serta mempertahankan sunnah nabi yang tidak dipermasalahkan lagi.

Yang cukup mengejutkan sarjana muslim, Schacht terhadap pandangan sunnah syafi’i, adalah pendapatnya yang kontroversi menilai tugas – tugas nabi SAW dalam menetapkan hukum. Tuduhan Scchacht bahwa nabi pada waktu di madinah menjadi nabi sekaligus pembuat hukum. Hal itu bertentangan dengan pandangan Schacht sendiri yang mengatakan bahwa nabi di madinah tidak wewenang kekuasaan membuat hukum atau undang – undang.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, Charles C., “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965).

Azami, M.M., Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).

Fathullah, Ahmad Lutfi, Fenomena Sunnah al-Nabawiyyah: antara Kritik dan Penafsiran al-Salaf al-Salih dan Khalaf Liberal, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam, (Solo: UMS, 2004).

Khadduri, M., Islamic Jurisprudence, (Baltimore: Syafi’is Risala, 1961).

Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus & Universitas Islam as-Syafi’iyyah, 1992).

Mas’adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998).

Minhadji, Akh., Kontroversi Pembentukan Hukum Islam Kontribusi Joseph Schacht, terj: Ali Masrur, (Yogyakarta: VII Press, 2001).

Muslehuddin, M., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj: Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj: Anas Mahyuddin, (Bandung: PT. Pustaka, 1983).

Schacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence.

Syafi’i, Imam, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992).


[1] M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), XVII

[2] Nurcholis Madjid, Kata Pengantar ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus & Universitas Islam as-Syafi’iyyah, 1992), XII

[3] Ahmad Lutfi Fathullah, Fenomena Sunnah al-Nabawiyyah: antara Kritik dan Penafsiran al-Salaf al-Salih dan Khalaf Liberal, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam, (Solo: UMS, 2004), I

[4] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992), h. 128

[5] M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj: Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 60

[6] Ibid, h. 60

[7] Qur’an, 59 : 7

[8] Ibid, 4 : 80

[9] Ibid, 53 : 3-4

[10] Imam Syafi’i, Op. Cit., h. 128

[11] M. Khadduri, Islamic Jurisprudence, (Baltimore: Syafi’is Risala, 1961), h. 29-30

[12] M. Muslehuddin, Op. Cit., h. 61

[13] M.M. Azami, Op. Cit., V

[14] Ibid, V

[15] Ibid, V

[16] Lihat Akh. Minhadji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam Kontribusi Joseph Schacht, terj: Ali Masrur, (Yogyakarta: VII Press, 2001), h. 1-4

[17] Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965), h. 317

[18] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, h. 30

[19] M.M. Azami, Op. Cit., h. 45

[20] Joseph Schacht, Op. Cit., h. 58-59

[21] Ibid,

[22] M.M. Azami, Op. Cit., h. 45

[23] Ibid, h. 50

[24] Ibid, h. 104

[25] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 6

[26] Ibid, h. 27

[27] Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), h. 173

[28] Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., h. 89

[29] Ibid, h. 90

[30] Ibid,

[31] Ibid, h. 129

[32] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj: Anas Mahyuddin, (Bandung: PT. Pustaka, 1983), h. 14-16

[33] Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., h. 133




By MUHAMMAD TAISIR 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar