Selasa, 16 Juli 2013

Kajian Ramadhan : Puasa Tetapi Masih Terus Bermaksiat


Tidak sedikit yang berpuasa namun masih bermaksiat. Lihat saja para wanita ada yang sengaja membuka auratnya ketika puasa, padahal hal itu tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar. Namun pamer aurat itu masih terus dilakukan meskipun di bulan suci Ramadhan.

Sebagian ulama salaf berkata,
أهون الصيام ترك الشراب و الطعام
“Puasa yang jelek adalah jika saat puasa hanya meninggalkan minum dan makan saja.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 277).

Maksudnya, puasa yang dilakukan hanya menahan lapar dan dahaga, namun maksiat masih terus jalan.

Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata,

إذا صمت فليصم سمعك و بصرك و لسانك عن الكذب و المحارم و دع أذى الجار و ليكن عليك وقار و سكينة يوم صومك و لا تجعل يوم صومك و يوم فطرك سواء

“Jika engkau berpuasa, maka puasakanlah pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari dusta dan perkara yang diharamkan. Jangan sampai engkau menyakiti tetanggamu. Juga bersikap tenanglah di hari puasamu. Jangan jadikan puasamu seperti hari-hari biasa.” (Idem)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan shalat malam, hanya begadang di malam hari” (HR. Ahmad 2: 373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah[1] tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan keharaman. Barangsiapa yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqodho’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 277-278)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Menjauhi berbagai hal yang dapat membatalkan puasa, hukumnya wajib. Sedangkan menjauhi hal-hal selain itu yang tergolong maksiat termasuk penyempurna puasa.” (Fathul Bari, 4: 117)

Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).

Dalam Al Qur’an setelah Allah melarang dari makan dan minum di siang hari saat puasa, disebutkan pula setelah itu keharaman memakan harta orang lain tanpa lewat jalan yang benar. Padahal memakan harta orang lain dengan jalan keliru adalah terlarang di setiap waktu. Sedangkan larangan untuk makan dan minum hanyalah saat puasa. Ini adalah isyarat bahwa siapa yang mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhi makan dan minum, maka ia juga diharuskan untuk menjauhi memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Namun memakan harta seperti itu berlaku setiap waktu, bukan ketika Ramadhan saja atau waktu tertentu saja. Lihat penjelasan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoiful Ma’arif, hal. 278.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Puasa yang telah Allah syari’atkan adalah jalan yang Dia jadikan untuk kita belajar menjaga anggota badan dari perkara-perkara yang Dia haramkan dan hendaklah anggota tubuh ini digunakan hanya pada jalan ketaatan. Juga semoga hal ini semakin mengingatkan pada nikmat Allah.” 
Lihat Syarh Samahatusy Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Kitab Wazhoif Ramadhan, hal. 77.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
·         Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
·         Syarh Samahatusy Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Kitab Wazhoif Ramadhan (kitab ringkasan dari Lathoiful Ma’arif Ibnu Rajab dan tambahan dari ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim, terbitan Muassasah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Di pagi penuh berkah, 7 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Artikel Muslim.Or.Id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar